Oleh: Herry Kabut
Labuan Bajo telah ditetapkan menjadi salah satu dari 10 Bali Baru oleh Presiden Jokowi. Penetapan ini disampaikan oleh pemerintah pada saat pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia pada tahun 2018 bertempat di Nusa Dua, Bali. Labuan Bajo dipilih dan ditetapkan sebagai salah satu Bali Baru karena selain memiliki binatang langka Komodo, kawasan ini juga menawarkan balutan panorama laut biru dengan bukit-bukit hijau.
Penetapan Labuan Bajo sebagai salah satu Bali Baru menegaskan bahwa geliat perkembangan sektor pariwisata di Labuan Bajo cukup signifikan. Karenannya, tidak mengherankan kalau sektor pariwisata menjadi salah satu hal yang paling serius dikerjakan oleh Pemerintahan Joko Widodo. Sebab pariwisata dapat menjadi kekuatan ekonomi baru di tengah pelambatan ekonomi dunia.
Komitmen pemerintah untuk mengembangkan sektor pariwisata merupakan langkah yang bagus dalam mengoptimalkan potensi yang ada di Indonesia. Dengan adanya komitmen semacam ini, daerah-daerah yang selama ini belum melirik sektor pariwisata sebagai hal yang perlu dikembangkan dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat termotivasi untuk menjadikan daerahnya sebagai destinasi wisata.
Namun, geliat perkembangan sektor pariwisata ini tidak serta merta meninggalkan kesan yang baik. Sebab geliat pariwisata rentan dengan konflik. Hal itu dapat dilihat dari berbagai polemik yang terjadi di Labuan Baju seperti pro kontra kehadiran Badan Otoritas Pariwisata dan pro kontra kehadiran Grab.
Desa dan Hegemoni Negara
Tanpa bermaksud mengabaikan polemik tentang BOP serta Grab, tulisan ini bermaksud untuk melihat implikasi penetapan Labuan Bajo sebagai salah satu dari 10 Bali Baru terhadap nasib dan dinamika desa-desa yang ada di Kawasan Taman Nasional Komodo. Sebab selama ini kita mengalami kealpaan dalam memasukkan desa sebagai dalil utama dalam memperjuangkan Kawasan Taman Nasional Komodo dari intervensi dan hegemoni negara. Oleh karena itu, seluruh tulisan ini berbicara soal nasib desa-desa yang berada di Kawasan Taman Nasional Komodo berhadapan dengan hegemoni negara.
Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan satu kawasan yang terdiri dari pulau-pulau, baik yang berpenghuni ataupun tidak berpenghuni. Pulau yang berpenghini adalah Pulau Komodo yang di dalamnya terdapat Desa Komodo, Pulau Rinca yang di dalamnya terdapat Desa Pasir Panjang, dan Pulau Papagarang yang di dalamnya terdapat Desa Papagarang.
Ketiga pulau ini masuk ke dalam Kawasan Taman Nasional Komodo. Taman Nasional Komodo merupakan Kawasan konservasi guna melindungi binatang Komodo (Varanus Komodoensis). Bahkan sebelum ditetapkan menjadi kawasan taman nasional, orang-orang di tiga desa ini telah hidup jauh sebelum Indonesia merdeka (Floresa, 9 Oktober 2019).
Oleh karena itu, keberadaan desa di Kawasan Taman Nasional Komodo mesti dihormati dan diakui oleh negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan babak baru pengakuan dan penghormatan negara tehadap desa. Desa telah memiliki payung pengaturan tersendiri yang terpisah dengan pemerintah daerah. Kedudukan desa bukan lagi sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota (local state government), namun sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara self-governing community dan local-self government.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa membawa semangat menuju berkembangnya kemandirian desa atau desa mandiri dan memperkuat desa sebagai subyek pembangunan. Dari sisi arena politik, desa menjadi arena bagi warga untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemeberdayaan dan kemasyarakatan.
Dari sisi kewenangan, desa mempunyai kewenagan asal-usul; desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berskala lokal yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sisi posisi pembangunan, desa merupakan subyek pemberi manfaat yang mampu menjalankan emansipasi lokal dalam pelayanan publik dan pengembangan asset lokal.
Dari sisi keuangan, negara melakukan redistribusi anggaran kepada desa yang bersumber dari APBN dan APBD untuk penyelenggaraan kewenangan desa dengan jumlah signifikan yang mendorong desa melakukan pendekatan fasilitasi, emansipasi, konsolidasi (Sutoro Eko, 2014: iv).
Dalam pengantar buku “Desa Berdaulat Negara Kuat”, Sutoro Eko, mengatakan (menyitir Clifford Geertz (1980)) bahwa “desa menciptakan negara, negara menciptakan desa”. Dari Aristoteles, kita dapat tahu bahwa manusia secara alamiah membentuk asosiasi mulai dari keluarga, masyarakat, desa dan kemudian negara. Kemunculan negara (negara-kota, negara-raja, negara-bangsa modern) dalam sejarah telah menghadirkan ketegangan antara desa dan negara, meskipun kedua asosiasi manusia ini saling menciptakan.
Desa menyediakan wilayah, tanah, penduduk, dan masyarakat untuk membentuk negara, baik secara sukarela maupun secara paksa. Bahkan desa juga memberi makan kepada raja dan keluarga sebagai pemilik negara-kerajaan. Ketika berdiri tegak, negara mengusik kehidupan desa dengan cara memiliki, menguasai, mengatur, menata, mengendalikan, menyuruh tenaga kerja, dan menarik pajak dari desa, selain negara juga melindungi keamanan desa (Harumi Befu, 1967 dalam Sutoro Eko, 2019: vii).
Sebagai desa yang berada di Kawasan Taman Nasional Komodo, Desa Komodo, Desa Pasir Panjang, dan Desa Papagarang sangat rentan dengan konflik vertikal. Hal itu terbukti dari polemik yang terjadi antara desa dengan pemerintah supra desa. Berbagai kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah pusat hampir pasti tidak pernah memihak kepada desa. Bahkan kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah pusat seringkali mengabaikan hak dan kewenangan desa. Dengan kata lain, hak dan kewenangan desa semacam dikebiri oleh oleh pemerintah pusat (negara).
Sejak Pemerintahan Joko Widodo memutuskan Labuan Bajo sebagai salah satu dari 10 Bali Baru serta salah satu dari “4 destinasi super-prioritas”, pemerintah tampaknya hendak merubah model pengelolaan Taman Nasional Komodo dari kawasan konservasi satwa langka Komodo dan ekosistemnya menjadi lahan investasi pariwisata. Hal ini dapat dilihat dari proses pengurusan izin kepada sejumlah perusahaan pariwisata alam.
Dasar pemberian izin ini adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Berdasarkan Permen ini, IPPA mencakup Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPSWA) dan Izin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPSWA). IUPJWA adalah izin usaha yang diberikan untuk penyedia jasa wisata alam pada kegiatan pariwista alam. IUPJWA mencakup: usaha jasa informasi pariwisata, usaha jasa pramuwisata, usaha jasa transportasi, usaha jasa perjalanan wisata, usaha jasa cinderamata, dan usaha jasa makanan dan minuman.
Sedangkan Izin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPSWA) mencakup: wisata tirta, akomodasi, transportasi dan wisata petualangan. Menurut ketentuan pertauran ini, semua usaha ini hanya hanya dapat dilaksanakan pada areal usaha pada zona atau blok pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Floresa, 4 November 2019). Selain itu, Pemerintahan Presiden Joko Wido membawa masuk sejumlah perusahaan swasta untuk membuka resort/hotel dan sarana wisata lain ke dalam kawasan konservasi Komodo.
Dengan demikian, kebijakan Pemerintahan Jokowi membawa masuk perusahaan-perusahaan untuk mendirikan bangunan berupa resort dalam Kawasan Taman Nasional Komodo, menegasakan bahwa negara tidak mempunyai penghormatan kepada desa yang ada di dalam Kawasan Taman Nasional Komodo.
Negara menjadi seperti leviathan yang menjarah dan merampas otonomi desa. Desa yang sebelumnya memiliki otonomi sebagai badan hukum, pemerintahan lokal dan otoritas tradisional dilenyapkan oleh negara, yang tersisa hanya nama, pemukiman dan komunitas lokal (Jerome Belum, 1971). Formasi barunya adalah negara dan warga negara, tidak ada lagi desa sebagai satuan pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Diskusrsus dan imajinasi desa (village) berubah menjadi perdesaan (rural) yang kelak melahirkan rural development (Sarah Neal, 2009, Michael Woods, 2011 dalam Sutoro Eko, 2019: viii).
Membela Desa
Kehadiran negara dan pihak swasta di Kawasan Taman Nasional Komodo telah menjarah dan merampas otonomi desa. Akibatnya, desa-desa yang berada dalam Kawasan Taman Nasional menjadi tidak berdaya. Alih-alih mengakui dan menghomati keberadaan dan kewenangan desa, negara justru berubah menjadi seperti leviathan yang mengusik ketenangan desa dengan cara memiliki, menguasai, mengatur, menata, mengendalikan, menyuruh tenaga kerja dari desa, dan mengambil pajak dari desa. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa negara memperalat dan melemahkan desa. Padahal, desalah yang membentuk negara.
Berhadapan dengan situasi ini, kitapun dituntut untuk membela desa dari intervensi dan hegemoni negara. Langkah yang dapat kita tempuh dalam melawan hegemoni negara adalah dengan memperkuat kualitas pembangunan manusia di desa. Pembangunan manusia dapat dilakukan melalui peningkatan sumberdaya manusia untuk mendorong transformasi dan pembebasan desa-desa di Kawasan Taman Nasional Komodo dari hegemoni dan intervensi negara.
*Penulis adalah anggota Kelompok Studi Tentang Desa, sedang belajar di Yogyakarta