Oleh: Wilibaldus Kuntam
Tenaga Ahli DPR RI periode 2019-2024
Awal tahun baru ini publik disuguhkan berbagai persoalan korupsi. Korupsi memang bukan persoalan baru. Namun, kali ini pelakunya ada yang baru, yakni komisioner KPU bernama wahyu Setiawan. Ia tak seorang diri menjarah uang rakyat. Setiawan membisniskan kewenangannya sebagai komisioner KPU dengan politisi parpol atas nama Harun Masiku. Mereka saling tukar kepentingan untuk memuluskan pergantian Anggota Dewan Antarwaktu PDIP (Koran Tempo, 13-19/2020).
Korupsi Setiawan membenarkan dugaan selama ini bahwa penyelenggara pemilu tidak luput dari korupsi. Dengan kasus korupsi pula, kita kehilangan lembaga publik yang menjadi panutan dan rujukan moral. Bisa dibilang terjadi erosi moral yang besar, bahkan ketiadaan moralitas sama sekali. Padahal integritas kelembagaan, termasuk KPU, menyangkut kualitas moral pribadi dan institusi.
Dalam kasus Setiawan, pertanyaan perlu diajukan di sini: apakah pelaku korupsi hanya komisioner KPU pusat saja? Ataukah komisioner di daerah tak bebas dari kasus yang sama? Tentu banyak spekulasi tentang ini.
Saya pun berspekulasi kurang lebih begini: komisioner pusat saja melakukan korupsi maka komisioner daerah sangat mungkin melakukan yang sama. Mengapa? Karena komisioner pusat itu ibarat kepala ikan. Ia busuk mulai dari kepalanya. Kalau kepala sudah busuk, bagian yang lain tinggal mengikuti saja. Masih ada alasan lainnya. Saya melihat pengawasan penegak hukum atas komisioner pusat begitu ketat, sementara komisioner daerah tak begitu ketat. Yang ketat saja ada “celah korupsi” apalagi yang tak ketat pengawasannya.
Kasus korupsi Setiawan membuat lembaga KPU tak lagi berintegritas. Padahal KPU sendiri mengusung semboyan “pemilu berintegritas”. Bila dilihat lebih jauh, ini bermula dari ketergantungan dan campur tangan orang lain atas lembaga KPU. Entah itu dari politisi perorangan ataupun partai politik tertentu.
Sejatinya, penyelenggara pemilu harus independen. Begitu idealnya. Kenyataannya, independensi itu sulit terjadi karena lembaga yang menguji komisioner KPU saat dilakukan uji kepantasan dan kelayakan adalah lembaga politik. Karenanya, ada kepentingan politik tertentu. Itu alasannya, setiap kali pesta demokrasi, independensi penyelenggara pemilu digugat banyak pihak.
Saya ambil contoh sengketa pilpres tahun lalu. Pemohon menduga penyelenggara pemilu kala itu mendukung kandidat tertentu. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan pemohon seolah menepis dugaan itu. Namun, keputusan MK bukan berarti penyelenggara pemilu mulai dari pusat hingga daerah tidak korupsi.
Efek Domino
Kasus korupsi Setiawan mempengaruhi komisioner tingkat yang di bawahnya. Karena komisioner pusat sudah tak dipercaya, komisioner daerah juga demikian. Ada selentingan yang berkembang selama ini. Selentingan itu kurang lebih begini: komisioner KPU merupakan titipan politisi dari berbagai partai. Titipan berarti ada kepentingan tertentu di dalamnya. Karenanya, tukar guling kepentingan dengan politisi sangat mungkin terjadi.
Kalau selentingan ini tak benar, mesti dimaklumi saja karena namanya selentingan. Tapi bila selentingan ini benar, maka publik terus menduga-duga: siapa komisioner titipan itu? Titipan partai politik apa dan bagaimana tukar guling kepentingannya? Salah satu yang bisa terjadi adalah pihak komisioner menjual otoritas kepada politisi. Sebaliknya, politisi memberikan sejumlah uang kepada mereka. Bila ini yang terjadi, Setiawan yang baru akan muncul di berbagai daerah. Ini harus diwaspadai secara baik mengingat sebentar lagi beberapa daerah akan melakukan pemilukada serentak untuk beberapa kabupaten/kota.
Penyebab korupsi tentu banyak. Hemat saya, sisi politisi sebagai pelaku merupakan sebab yang tak boleh luput dari diskursus publik. Yang saya maksudkan adalah politisi narsistik.
Politisi Narsistik
Politisi narsistik merupakan penyakit sosial masa kini. Dikatakan penyakit karena memuji diri secara berlebihan. Memuji diri sebagai orang yang bermoral. Pada saat yang sama menuduh yang lain sebagai pelaku korupsi. Ini bukan mengada-ada. Ambillah contoh kasus Wahyu Setiawan. Saat ia diuji kepantasan dan kelayakannya oleh anggota dewan sewaktu menjadi calon komisioner KPU, tampilan Setiawan sangat menawan dan mampu menghipnotis anggota dewan yang mengujinya kala itu.
Watak narsistik politisi terpelihara berkat jalinan hubungan intim dengan politisi yang lain, termasuk politisi yang bercokol di parpol yang berkuasa. Mereka mudah bertahan karena ditopang pencitraan. Saya berani menyebut mereka yang masuk kategori ini sebagai politisi kelas citra. Politisi kelas citra memanipulasi kenyataan. Korupsi berubah menjadi tidak korupsi. Dari dependen menjadi independen, dan seterusnya.
Semuanya itu bermula dari kekuasaan. Kekuasaan dipakai sebagai alat memenuhi kepentingan diri dan kelompok. Tak peduli apakah itu merugikan diri sendiri, lembaga, bahkan negara. Fenomena semacam ini sudah terjadi juga beberapa abad lalu. Abad ke-15, Niccolo Machiavelli pernah memfoto kenyataan politik di Italia. Ia memfoto kenyataan politik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.
Bagaimana dengan NTT? Ini pertanyaan perlu diajukan karena sebentar lagi melakukan pemilukada serentak untuk beberapa kabupaten. Sebagai aktor demokrasi, kita segera mengontrol komisioner KPUD. Hal yang sama juga dilakukan terhadap politisi yang berwatak narsistik. Kontrol yang paling penting adalah pengawasan penegak hukum demi mencapai mimpi NTT yang berintegritas.