Oleh: Marsel Robot
Dosen, Kepala Pusat Studi Kebudayaan Lembaga Penelitian Undana
“Surga Kecil yang Tercabik” (Media Indonesia 30 Desember 2019), demikian judul yang ditulis Gaudensius Suhardi untuk mengumpamakan Papua yang remuk akibat konflik horisontal yang akut dan memagut nyawa warga di tanah terjanji itu.
Konflik sosial yang mengakibatkan eksodus kolosal masyarakat pendatang. Dua beban yang dipikul oleh pengungsi. Beban pertama adalah barang bawaan seadanya yang dipikul di pundak, dan beban kedua yang paling berat adalah ketidakpahaman mereka atas sebab-musebab konflik itu. Beban ini dipikul dengan pikiran.
Gaudensius Suhardi mengafirmasi tentang pembangunan yang terlalu dimoderatori oleh perspektif Jakarta (Jakarta Oriented). Ia mengatakan, persoalan utama di Papua ialah pembangunan berdasarkan persepsi Jakarta.
Ia mengelaborasi pendapatnya dengan mengutip pernyataan PBB 6 Agustus 2006 tentang penyediaan ruang bagi penduduk asli guna menentukan kemajuan mereka secara bebas berdasarkan nilai-nilai dan sistem budaya mereka.
Persepsi Jakarta tak lain adalah persepsi the ousider (orang luar) bersifat generalisasi dan reduktif adalah bentuk imperialisasi kognitif dalam pembangunan masyarakat. Bagaimana perspektif Jakarta memerosokkan masyarakat ke dalam narasi kebahagiaan-hedonistik dan mitos-mitos kekayaan pragmatis dan keadilan yang narsistik.
Tak kalah, elit lokal jauh lebih suntuk menganut generalisasi Jakarta. Nilai kemajuan, keadilan, dan norma diberikan kerangka acuan dari luar. Pada konteks itu, daerah terkesan sekadar pasien. Sementara elit-elit birokrasi daerah menjadikan Jakarta sebagai pentil susu untuk menghidupkan pembangunan di daerahnya.
Robert Cammbers benar ketika mengatakan, kebanyakan “orang luar” lebih menyukai pendekatan diagnose (penyebab) dan pengobatan(solusi) yang memberi kepuasan bagi mereka. Mereka sangat tertarik yang kegiatannya langsung dan hasilnya segera tampak dalam menanggulangi kelemahan fisik.
Golongan elit di perkotaan dengan senang hati akan membantu rumah sakit mata (di mana orang-orang buta dapat melihat kembali) dan program dapur umum (yang memberikan makanan tambahan kepada anak-anak yang kekurangan gizi). Namun, mereka hanya menghilangkan gejala-gejalanya bukan penyebabnya.”
Pada suatu orde pembangunan misalnya, taraf kemiskinan masyarakat diukur dari apa yang ada di atas piring. Makan nasi menjadi ikonitas kesejahteraan. Orang Papua yang makanan utamanya ubi, orang Ambon makanan utamanya Sagu, orang Timor yang makanan utamanya jagung, dan orang Rote yang makanan utamanya justru minuman (gula lontar) dengan mudah direduksi sebagai orang miskin.
Karena itu, dibuatkan program raskin (beras miskin) sebuah istilah yang menyakitkan secara psikologis dan ketergantungan dari segi pragmatisme. Dari sana pulah masyarakat tergantung pada beras raskin, meski alam menyediakan lain yang selama ini mereka akrabi. Akibatnya, kemiskinan itu seakan diciptakan dan gejpo;ak sosial menyertainya.
Pandangan “Jakarta” tentang orang Papua atau orang Indonesia Timur sering menyesatkan. Setiap upaya untuk memahami orang daerah mesti belajar dari kearifan lokal, pandangan dunia, nilai, norma, konsep keadilan, bahkan konsep miskin dan kaya menurut mereka.
Pada pihak lain, kebudayaan itu sendiri berisikan sistem ide dan perspektif untuk menilai dan bergaul dengan lingkungan alam dan sosial. Bukankah rasa lapar, cara merindu, cara membenci dan cara memutus cinta, cara berkonflik, dan cara mengatasi konflik adalah konstruksi budaya?
Di sebuah etnik di Flores Barat (Manggarai misalnya) konflik ditandai oleh tidak saling mengunjungi rumah. Meski di halaman, atau di tempat lain, mereka bisa saling bercanda. Rumah yang tertutup adalah bagian dari sikap rasa kikir dan tertutup. Kemajuan dan keadilan juga dikonstruksi secara budaya. Suku Boti di Timor tidak menerima benda atau barang apapun yang sifatnya sumbangan. Haram bagi mereka menerima barang yang bukan hasil kerjanya.
Demikian jika ada orang yang mencuri ayam, maka seluruh warga kampung akan menyumbangkan ayam kepada pencuri. Artinya, perspektif pembangunan harus dimulai dari kebudayaan mereka, (rencana pembangunan yang etnografis) sehingga mereka terlibat dan merasa memiliki buah-buah pembangunan. Kebudayaan memberi pedoman bagi masyarakat dalam hal bersikap dan berprilaku atas kontaknya dengan lingkungan alam dan sosial dimana mereka berada.
Abu Hamid (2006) misalnya mengatakan, betapapun modal sosial, dikendali oleh sistem pengetahuan, modal budaya yang dimiliki oleh masyarakat merupakan kekuatan abstrak yang mampu memaksa dan mengarahkan penduduknya untuk berperilaku atas kontaknya dengan lingkungan alam dan sosial di mana mereka berada. Pembangunan dengan demikian adalah proses budaya yang dialektik.
Ekses Pendekatan Kesejahteraan
Jakarta acap memandang bahwa urusan yang bersifat kesejahteraan hanya dilihat sebagai sesuatu yang menyangkut ekonomi, khususnya dari sudut material dan biaya riil. Karena itu, pendekatan kesejahteraan dengan menekan ekonomi pragmatis dipandang dapat meningkatkan taraf hidup dan efek domino pada aspek lain seperti keamanan, keadilan sosial, dan kesejahteraan. Selama pendekatan kesejahteraan tidak berbasis pada kebudayaan lokal, maka masyarakat Indonesia Timur hanya bagian dari pemiskinan.
Ekses negatif yang paling getir ialah proses masyarakat mengalami kegalauan yang oleh Victor Turner disebut masyarakat beralih status liminalitas.
Dalam fase itu masyarakat yang mengalami perubahan sebenarnya belum meninggalkan status lamanya secara keseluruhan dan belum pula menginjak status barunya dengan seutuhnya (Sairin, 2002: 196). Sebuah daratan perbatasan antara masa lalu yang belum sepenuhnya ia tinggalkan menuju masyarakat modern yang tidak sepenuhnya ia dekap.
Di sana terjadi mobilitas nilai dan pengganyangan keadaan dari sosialitas menuju pragmatisme yang diikuti perangai lain seperti konsumtif dan koruptif. Kadang muncul konflik-konflik yang tidak banyak dipahami oleh pusat (Jakarta).
Kita harus bersikap lebih cermat untuk tidak mudah menerima pembenaran-pembenaran atas kemakmuran yang dipersepsi oleh “orang luar” (Jakarta). Memahami kemiskinan di daerah harus dalam konteks mereka.
Menata surga kecil yang tercabik dengan batu bata sendiri berarti pula fondasi pembangunan hendaknya mempertimbangkan pengetahuan dan persepektif mereka. Rogers mewanti “pembangunan adalah suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat…” Artinya, pembangunan harus memerdekakan masyarakat dari persepektif orang luar yang cenderung reduktif, spekulatif, dan memandang bodoh orang desa.
Dalam konteks itulah, pembangunan hendaknya berbasis pada kearifan lokal dan keadaban sosial masyarakat setempat. Mereka tidak menjadi anak tiri di kampung halaman sendiri. Konflik-konflik sosial terkadang secara sporadik muncul karena orang luar begitu mudah menggunting harapan dan memasung perspektif masyarakat lokal hidup dan menghidupkan mereka.