Atambua, Vox NTT- Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2019 masih tergolong tinggi.
Demikian diakui Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Belu Theresia M Saik ketika ditemui VoxNtt.com di ruang kerjanya, Jumat siang (14/02/2020).
Dari data resmi yang dirilis DP3A Kabupaten Belu, sepanjang tahun 2019 terdapat 26 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sementara kasus kekerasan terhadap anak perempuan terdapat sebanyak 31 kasus, di mana didominasi kasus perkosaan yakni sebanyak 12 kasus.
Angka ini, aku Theresia, hanya terjadi penurunan sebanyak enam kasus dari tahun 2019 yakni 37 kasus.
Selain itu, data yang dimiliki Dinas DP3A Kabupaten Belu ini merupakan data kasus yang dilaporkan dan ditangani pihak berwajib.
Belum diketahui berapa banyak kasus yang tidak dilaporkan. Sebab, kasus kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan terhadap anak sering tidak diselesaikan di pihak berwajib, karena sikap korban dan keluarga yang terkesan tertutup.
“Pada tahun 2018, kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak terdapat 82,5% angka kasus kekerasan. Sedangkan pada tahun 2019 terjadi penurunan yakni terdapat 54,5% angka kasus. Artinya kalau berdasarkan presentasi kasus yang ada, pada tahun 2019 dibanding 2018, terjadi penurunan,” jelas Theresia.
Meski terjadi penurunan, Theresia mengatakan angka tersebut masih termasuk kategori tinggi.
Ia beralasan masih banyak kasus kekerasan yang belum terdata karena tidak dilaporkan pada pihak yang berwajib.
Untuk mendapatkan informasi tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Belu, Theresia mengaku pihaknya terus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak terkait.
Koordinasi itu dilakukan guna memperoleh informasi dan data terkait kasus kekerasan, baik kekerasan fisik, non fisik maupun kekerasan seksual.
“Saya sudah katakan kepada teman-teman untuk mencoba, tidak hanya menangani kekerasan yang sudah terjadi, tetapi langkah pencegahan menjadi lebih penting agar tidak terjadi kekerasan dan itu membutuhkan kerja sama dari semua pihak,” ungkap Theresia.
Lanjut Theresia, selain masih tingginya kasus pemerkosaan, salah satu isu yang menjadi perhatian serius pihaknya saat ini adalah perkawinan anak di bawah umur.
Meski tidak menyebutkan angka riil, Theresia mengaku, fenomena perkawinan anak di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Belu masih termasuk tinggi.
Untuk mengefektifkan pencegahan dan penanganan kasus terhadap perempuan dan anak, saat ini pihaknya sementara mengembangkan jaringan kerja sama hingga tingkat desa.
Saat ini terdapat 15 desa di Kabupaten Belu yang sudah memiliki Layanan Berbasis Komunitas(LBK) pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selanjutnya, pihaknya akan melakukan kajian di desa-desa lain untuk mengembangkan jaringan advokasi.
Namun, sebelum menetapkan desa mana yang akan dilibatkan, Theresia mengatakan akan menunggu hasil kajian yang dilakukan Dinas P3A Kabupaten Belu.
Diakuinya bahwa 15 desa yang saat ini menjadi mitra DP3A Kabupaten Belu dalam urusan penanganan kasus ditentukan berdasarkan sejumlah indikator, termasuk salah satunya masih tingginya angka kekerasan.
Theresia mengakui, masih tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Belu karena disebabkan oleh rendahnya pendidikan dan minimnya infromasi dari Dinas P3A Kabupaten Belu dan dari semua stakeholder terkait.
Selain itu, faktor budaya juga ikut menjadi penyebab utama, di mana perempuan yang menjadi korban biasanya merasa minder dan enggan untuk berbicara.
Mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu ini mengaku bahwa tantangan terbesar dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di kabupaten Belu ada lima faktor yakni;
1). Seringkali kasus kekerasan yang sudah ditangani dan dilimpahkan ke Kepolisian, dalam perjalanan, korban dan keluarga menarik kembali laporan. 2). Sulitnya alat bukti untuk menjerat pelaku terutama kasus ingkar janji karena dan kasus hamil di luar nikah membutuhkan tes DNA.3). Banyak kasus KDRT setelah ditelusuri pasangan tersebut belum menikah secara sah dan tercatat resmi sebagai pasangan suami istri, sehingga menyulitkan dan menghambat proses penyelesaian kasus. 4). Masih banyak korban yang belum memiliki Indentitas Kependudukan (KTP). 5). Masih minimnya sarana dan prasarana penanganan kasus kekerasan.
Kadis Theresia menambahkan, pihaknya akan terus berusaha bekerja maksimal dengan memanfaatkan alokasi anggaran yang ada. Meski memang diakuinya anggarannya sangat terbatas.
Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan APBD adalah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat melalui Kementerian terkait.
Penulis: Marcel Manek
Editor: Ardy Abba