Oleh: Prof. Fransiskus Bustan*
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu miniatur kemajemukan bangsa Indonesia karena penduduk NTT terbentuk sejumlah kelompok etnik yang tersebar di lima pulau besar termasuk Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, dan sejumlah pulau kecil yang tersebar mengitari kelima pulau besar tersebut.
Mengingat setiap kelompok etnik tersebut terikat kesadaran akan pemilikan kesatuan kebudayaan yang sama sebagai lambang identitas internal dan lambang identitas ekstenal, maka provinsi NTT tidak hanya disemat predikat provinsi multietnik tetapi juga provinsi multikultural.
Dalam tautan dengan keberadaannya sebagai provinsi multikultural, tidak heran pengembangan pariwisata budaya menjadi salah satu sasaran perhatian dalam rancangan program pembangunan masyarakat di provinsi NTT.
Meski demikian, pengembangan pariwisata budaya di provinsi NTT memerlukan suatu proses panjang karena sejak awal berbagai hambatan mesti dihadapi.
Tulisan ini bertujuan memaparkan beberapa faktor penghambat dalam pengembangan pariwisata budaya di provinsi NTT.
Diharapkan tulisan ini bermanfaat sebagai salah satu sumber rujukan bagi pemerintah provinsi NTT dalam meracik dan mengemas program pengembangan pariwisata budaya yang lebih sistematis dan testruktur demi menunjang upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat yang bersumber dari sektor pariwisata budaya.
Berdasarkan hasil amatan penulis dan rangkuman cakap semuka dengan sejumlah pelaku pariwisata dan kelompok pemerhati masalah pariwisata di wilayah provinsi NTT, beberapa faktor penghambat dalam pengembangan pariwisata budaya di provinsi NTT adalah sebagai berikut: (1) kurangnya pemahaman masyarakat tentang hakikat budaya, (2) kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kebermaknaan budaya sebagai aset pariwisata, dan (3) kurangnya apresiasi masyarakat terhadap budaya sendiri.
Kurangnya Pemahaman Masyarakat Tentang Hakikat Budaya
Budaya atau kebudayaan adalah salah satu kata atau istilah yang hampir selalu dipakai dalam konteks kehidupan manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Meski demikian, ketika diajukan pertanyaan, ‘Apa itu budaya?’, jawaban yang seringkali diberikan cenderung menunjuk secara khusus pada seni pertunjukan, termasuk seni musik, seni tari, seni teater, dan seni lukis.
Hal itu merupakan evidensi yang menggambarkan kurangnya pemahaman mereka tentang hakikat budaya karena kata atau istilah budaya hanya menunjuk secara khusus pada produk dan praktek budaya yang mengandung keindahan bentuk dan mengundang kenikmatan inderawi ketika dilihat dan disimak.
Masalah itu ditemukan pula dalam tatanan kehidupan masyarakat NTT sehingga ketika memperbincangkan pengembangan pariwisata budaya, sasaran perhatian tertuju pada seni pertunjukan.
Pemahaman demikian bertentangan dengan fakta karena kata atau istilah budaya bersifat ‘omnibus-amorf’, memiliki definisi dan signifikansi beragam. Fakta tersebut merupakan evidensi yang menggambarkan sempitnya ruang pemahaman masyarakat NTT tentang hakikat budaya yang memiliki definisi dan signifikansi budaya begitu luas dengan kerangka makna beragam.
Terlepas dari keberagaman definisi dan signifikansi tersebut, budaya dapat diartikan sebagai suatu proses dan sekaligus hasil berupa hasil cipta, karsa, dan rasa manusia dalam konteks kehidupannya sebagai anggota suatu masyarakat atau secara lebih khusus lagi sebagai anggota suatu etnik atau kelompok etnik.
Budaya sebagai produk hasil cipta, karsa, dan rasa manusia sebagai anggota suatu masyarakat dapat dibedakan secara umum atas produk yang dapat disentuh (tangible product) dan produk yang tidak dapat disentuh (intangible product).
Karena itu, curahan perhatian dalam pengembangan pariwisata budaya di suatu wilayah, tidak terkecuali di wilayah provinsi NTT, mesti disasarkan pada kedua jenis produk budaya tersebut sebagai sumber daya potensial pariwisata.
Bersamaan dengan itu, budaya dipahami pula sebagai sebuah entitas yang bersifat statis sehingga tidak boleh dikembangkan dengan sisipan berdimensi baru sebagai improvisasi. Kerangka pemahaman ini cenderung masih terpatri dalam peta kognitif kelompok generasi tua yang tinggal di wilayah pedesaan sehingga berbagai produk dan praktek budaya warisan leluhur dianggapnya sebagai sesuatu yang berbentuk baku (fixed form) dan berbentuk beku (frozen form).
Sesuai konseptualisasi yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat NTT, merubah produk budaya warisan leluhur dalam wujud baru dapat merusak keselarasan hubungan transendental dengan roh leluhur sebagai pengasal pertama produk budaya tersebut.
Seandainya produk budaya warisan leluhurnya diubah dengan sentuhan nuansa baru sesuai tuntutan masa kini, diyakini roh leluhur akan gusar dan mereka akan terkena sangsi adikodrati atau adimanusiawi berupa penyakit dan kematian.
Hal ini menyebabkan mereka takut merubah produk budaya warisan leluhur agar terhindar dari petaka sebagai sangsi adikodrati atau adimanusiawi.
Kerangka pemahaman itu memang tidak berterima secara rasional karena budaya sebagai salah satu aspek kehidupan manusia bersifat dinamis sehingga budaya niscaya tidak imun dari sentuhan perubahan.
Kerangka pemahaman yang terpatri dalam peta kognitif kalangan generasi tua tersebut sulit digusur dan digeser karena sudah menyatu dalam satu kesatuan dengan nafas kehidupan mereka sehari-hari yang masih diselimuti pola pikir dan perilaku magis.
Hal itu menyebabkan produk budaya warisan leluhur yang sedianya dapat menjadi aset pariwisata budaya bernilai ekonomis tidak dapat dikemas dalam nuansa baru sesuai selera budaya kontemporer.
Kurangnya Pemahaman Masyarakat Tentang Kebermaknaan Budaya
Kurangnya pemahaman masyarakat tentang kebermaknaan budaya sebagai aset pariwisata budaya bernilai ekonomis adalah salah satu faktor penghambat yang merintangi pengembangan pariwisata budaya di provinsi NTT.
Hal itu menyebabkan masyarakat tidak berpartisipasi secara aktif dalam menunjang pencapaian tujuan dan sasaran program pengembangan pariwisata budaya yang dicanangkan dan dilaksanakan pemerintah.
Sebagai dampak lebih lanjut, arah dan muara program pengembangan pariwisata budaya di provinsi NTT guna meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat melalui upaya pemberdayaan masyarakat hanya merupakan wacana.
Karena pemberdayaan masyarakat merupakan arah dan muara capaiannya, maka kerja bersama masyarakat merupakan prinsip dasar yang menjadi roh program pengembangan pariwisata.
Pengaruh kurangnya pemahaman masyarakat tentang kebermaknaan budaya sebagai aset pariwisata bernilai ekonomis menyebabkan masyarakat cenderung bersikap apatis menyambut program pengembangan pariwisata budaya yang disampaikan pemerintah kepada mereka.
Pada sisi lain, pengembangan pariwisata budaya yang dicanangkan dan dilaksanakan pemerintah dipahami masyarakat sebagai proyek sehingga orientasi berpikir mereka dalam memahami program tersebut sebagai proyek (project oriented).
Dengan demikian, mereka enggan berpartisipasi aktif bekerja bersama pemerintah karena pemerintah bekerja untuk masyarakat. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar pemberdayaan, yakni bekerja bersama masyarakat dan bukan bekerja untuk masyarakat.
Hal ini menyebabkan pengembangan pariwisata budaya di provinsi NTT tidak berjalan lancar sebagaimana mestinya karena masyarakat cenderung menunggu inisiatif dan aksi pihak pemerintah.
Kurangnya Apresiasi Masyarakat Terhadap Budaya Sendiri
Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap budaya sendiri adalah salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata budaya di provinsi NTT.
Masalah ini berhubungan secara dialektis dengan pandangan masyarakat bahwa produk budaya tetesan sejarah masa lalu atau warisan leluhur tidak boleh dirubah dalam bentuk baru.
Terkait dengan itu, masyarakat tidak memberi apresiasi sepenuhnya terhadap budaya sendiri yang ditandai dengan kurangnya perhatian mereka dalam merawat berbagai produk budaya warisan leluhur.
Penutup
Pengembangan program pariwisata budaya di provinsi NTT memerlukan suatu proses panjang karena berbagai hambatan yang mesti dihadapi sejak awal.
Beberapa hambatan dalam pengembangan pariwisata budaya di provinsi NTT adalah (1) kurangnya pemahaman masyarakat tentang hakikat budaya karena budaya dipahami sebatasa kesenian, (2) kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kebermaknaan budaya sebagai aset pariwisata yang bernilai ekonomis sehingga mereka enggan melakukan perubahan karena dihantui rasa takut terkena sangsi magis dari roh leluhur, dan (3) kurangnya apresiasi masyarakat terhadap budayanya sendiri sehingga banyak produk budaya warisan leluhur terancam punah karena tidak dirawat masyarakatnya sendiri.
Semoga paparan beberapa tantangan ini, bisa menjadi rujukan bagi pemerintah untuk menata kembali konsep pariwisata budaya di NTT. Semoga.
*Penulis adalah Guru Besar Linguistik Universitas Nusa Cendana