Oleh: Victoria Djuria
Guru SDI Nggorang, Labuan Bajo
Minggu sore (3 Mei 2020), sementara keluarga dan saya sedang santai, tiba-tiba salah seorang murid mendatangi rumah saya. Ia ingin mengecek apakah ada tugas untuk dia dan kawan kawannya.
Saya terkejut sebab dia mengakui bahwa tugas yang sudah saya kirim lewat WhatsApp Group (WAG) sama sekali belum dia terima.
Untuk memperjelas percakapan kami, saya mengawali refleksi saya ini dengan sengaja menulis petikan percakapan saya dengan murid tersebut.
Murid: Selamat sore bu guru.
Guru: Selamat sore juga nona. Apa kabarmu?
Murid: Kabar baik, bu guru. Bu, saya mau minta soal yang ibu janjikan untuk kami kerja di rumah.
Guru: Ohhh … nona pintar. Ibu sudah kirim soal-soal itu seminggu yang lalu lewat WA GROUP kelas kita.
Murid: Bu, saya tidak punyai nomor WA. Kami di rumah tidak ada WA. Kami hnya punya HP Gimbot Nokia Jadul.
Guru: Hehehe (merasa lucu sendiri). O ya, tidak apa-apa, Nak. Nanti Ibu beri soal untuk nona kerja di rumah ya? Jika ada soal yang kurang dipahami, ade miscall saja. Ibu yang akan kontak ade kembali.
Murid: Baik, ibu. Terima kasih. Saya pulang dulu, Bu, Selamat sore.
Guru: Baik, de. Selamat menyelesaikan tugasmu, tetap jaga jarak, dan jaga kesehatan. Jika keluar seperlunya saja, dan jangan lupa mengenakan masker. Salam untuk orangtua.
Demikian sepenggal obrolan saya dengan murid tersebut. Obrolan ini terjadi di rumah saya. Apa boleh buat, kehadirannya terpaksa saya terima sekalipun saat ini masih dilarang untuk saling berkunjung. Namun, saat kami bertemu di teras rumah, tidak ada jabat tangan. Kami tetap duduk berjauhan sekitar satu meter lebih.
Kedatangannya ke rumah saya ialah untuk meminta soal yang harus dia kerjakan di rumahnya. Selain meminta soal, ia menceritakan banyak hal yang dilakukannya selama masa belajar di rumah.
Tapi inti dari percakapan kami sebenarnya ialah ia tidak mempunyai HP Android untuk mengakses soal yang saya kirim lewat WA group kelas kami. Karena itu, dia datang mengambil soal sendiri di rumah. Beruntung, saya sudah kemas soal-soal tersebut dalam beberapa jepitan.
Krisis Baru
Tak dapat dielakkan lagi bahwa saat ini dunia sedang digoncang oleh situasi Pandemi Covid-19, termasuk Indonesia. Pandemi ini menimbulkan banyak krisis baru yang terjadi dimana-mana dan di setiap aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari krisis relasi face to face, kebersamaan dalam beribadah, relasi sosial, perekonomian, proses pembelajaran dan berbagai krisis lainnya.
Pendidikan di Indonesia pun turut tergoncang akibat Pandemi Covid-19 yang mewabah dunia. Pembelajaran tatap muka, yang diandalkan selama ini, serentak lumpuh total selama hampir dua bulan lebih.
Para penghuni lembaga seakan-akan tenggelam dalam persembunyian jauh. Mereka berusaha mencari perlindungan dan berjuang menyelamatkan nyawanya dari kejaran musuh tak tampak ini. Yang tersisa hanyalah sederatan bangku, kursi, meja, papan tulis dan fasilitas lainnya. Semua ini berdiri kaku memenuhi ruang kosong.
Di luar kelas terlihat rumput liar merambah bebas di halaman. Pemandangan ini seakan-akan diawasi pepohonan hijau, yang berdiri tegap dan seolah-olah menjadi Satpam bisu di kompleks sekolah. Sekolah sepi.
Menghadapi krisis ini, para pemangku pendidikan berinisiatif dan menginstruksikan para pelaku pendidikan di lapangan, seperti guru dan/atau dosen untuk tetap berakses dan berinteraksi dengan murid-muridnya dalam pembelajaran dengan menggunakan berbagai strategi dan pendekatan sesuai situasi dan kondisi setempat. Pembelajaran pun mulai berjalan lagi dengan menggunakan berbagai strategi, mulai dari metode pemberian tugas manual, sampai pada pembelajaran jarak jauh (PPJ) dalam daring online.
Curhat Memilukan
Seperti terungkap dari obrolan kami di atas, curhatan tersebut dimulai dari ada HP tapi bukan Android, jaringan lelet, tinggal di wilayah tak ada jaringan Internet, kehabisan pulsa data, tugas menumpuk, dan masih banyak celotehan lainnya. Belum lagi curhatan orangtua yang pusing mendampingi dan melayani kebutuhan belajar dan sosial anak-anaknya di rumah.
Dua hari terakhir ini, Mendikbud terkejut karena masih ada sekolah yang tidak mempunyai jaringan listrik. Ini juga sangat berbahaya dan menggangu PJJ yang mengandalkan handphone sebagai satu-satu sarana komunikasi.
Tak bisa dibayangkan jika semua orang tua dan/atau anaknya mempunyai HP Android namun tidak bisa mengecas baterei HP karena tidak ada listrik.
Untuk mengecas baterei HP, mereka terpaksa berusaha ke wilayah yang memiliki jaringan listrik yang memadai atau mencari sumber listrik alternatif lainnya, seperti jenset. Tentu saja, mereka membutuhkan waktu dan tenaga untuk menjangkau listrik.
Krisis pembelajaran jarak jauh ini mulai terancam. Lalu, menghadapi realitas ini, apa yang harus dilakukan guru?
Tetap diakui bahwa Pandemi Covid-19 memaksa penerapan pembelajaran jarak jauh yang membuat guru dan siswa sama-sama berjuang menyesuaikan diri. Di satu sisi, harus diakui bahwa ada langkah maju dalam strategi pendekatan pembelajaran.
Namun, di sisi lain, pengalaman juga membuktikan betapa mundurnya pengetahuan siswa/i selama masa pandemi ini. Mereka tidak lagi bisa mendengar penjelasan gurunya secara detail terhadap materi pembelajaran.
Sebaliknya, mereka dipaksa untuk mempelajari materi pembelajaran tersebut dan berusaha untuk mengerjakan soal-soal, yang sebenarnya cukup sederhana, namun dianggap sulit karena mereka terbiasa dengan metode pembelajaran tata muka.
Bagi siswa-siswi yang berasal dari kondisi ekonomi mapan, cukup mudah menyesuaikan diri dengan PJJ. Akan tetapi, siswa/i yang berasal dari keluarga berekonomi sangat sederhana, ini benar-benar sebuah kelumpuhan sosial. Mereka sulit membagi rupiahnya di luar jatah “makan dan minum” yang wajib mereka penuhi.
Ketrampilan Calistung
Kelumpuhan ini juga menimpa murid-murid SD, terutama kelas rendah yang sangat susah menyesuaikan diri. Bahkan mungkin mereka tidak bisa menyesuaikan dengan PJJ daring online ini.
Pengalaman membuktikan bahwa lebih dari 90% kemampuan Calistung (yaitu suatu metode dasar anak bisa mengenal huruf dan angka) mereka hanya dicapai melalui Pembelajaran Tatap Muka (PTM).
Sebagaimana kita ketahui bersama, keterampilan Calistung membaca menulis berhitung bisa dikenalkan pada anak dimulai ketika anak berusia lima tahun. Usia-usia ini adalah usia emas yang harus diberi stimulus secara maksimal. Semua pelajaran yang didapat oleh anak pada usia ini akan berpengaruh pada kehidupannya ketika dewasa kelak.
Saat menulis refleksi ini, saya memikirkan bagaimana nasib anak-anak bangsa dalam menempuh cita-cita mereka jika pandemi ini masih berkelana lebih lama lagi di bumi pertiwi ini. Tetap diakui bahwa strategi mode daring internet akan berkembang dalam strategi pembelajaran pada masa-masa seperti ini dan masa mendatang.
Menurut saya, strategi ini terlihat sudah sesuai dengan perkembangan dunia modern. Namun, akankah masyarakat mampu menyesuaikan diri dengan pendekatan ini, yang di sisi lain kehidupan perekonomian mereka sangat merosot?
Semoga curhatan ini dapat didengar oleh para pemangku kepentingan sembari menyusun sebuah kebijakan yang tepat dalam menerapkan strategi pembelajaran semasa pandemi ini.