Oleh: Kristianus Antonius Saputra
Mahasiswa Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta
Tulisan ini hendak mengomentari opini Bung Nurkholis, yang katanya Sekertaris Jenderal Satgas Anti Mafia Tanah, di media Online Sorotntt pada tanggal 13/05/2020.
Dalam opininya berjudul “Meluruskan Kelirumologi Peneliti tentang Plan Pabrik Semen di Manggarai Timur”, Nurkholis dengan penuh percaya diri mengkritisi bangunan argumentasi peneliti Alpha Risest Institut, Ferdy Hasiman.
Ferdy sebelumnya menulis sebuah kritik berjudul “Meluruskan Logika Palsu Tuan Gubernur” di media berbeda, Voxntt.com pada tanggal 10/05/2020. Menurut Nurkholis kritik Ferdy pada rencana pembangunan pabrik semen dan tambang gamping di Manggarai Timur merupakan merupakan sebuah kekeliruan, karena tidak berdasarkan data dan fakta yang cukup.
Analisis Ferdy juga dianggab terlalu lemah untuk menjadi konsumsi publik, karena terasa kurang meyakinkan bagi seorang Nurkholis. Ferdy jelas memposisikan diri sebagai penolak tambang dan pabrik semen.
Sementara posisi Nurkholis entah ada di mana. Kenyataan tentang seorang Sekjend Satgas Anti Mafia Tanah, yang pro-relokasi warga untuk kepentingan tambang, hampir sulit diterima. Saya tak tahu pasti posisi Nurkholis ada di sisi mana dalam pro-kontra pabrik semen dan tambang.
Posisi “abu-abu” Nurkholis menjadikan adu gagasan ini kurang menarik. Saya yakin, Ferdy tak tertarik merespon kritik dari “bunglon” seperti ini. Karena itu saya mencoba membenturkan argumentasi keduanya, dalam rangka mencari kebenaran.
Dalam konteks adu gagasan, Nurkholis mengabaikan beberapa hal penting yang semestinya diketahui dan dipahami, sebelum berani membangun narasi kritik terhadap gagasan atau tulisan orang lain.
Mengutip istilah Nurkholis, sebagai sesama civitas akal, sudah sepatutnya argumentasi beralaskan fakta, data serta analisis jujur lah yang ditampilkan. Mari membandingkan kebenaran Ferdy atau kebenaran Nurkholis yang sungguh berdasarkan analisis yang jujur, tepat dan benar.
Fakta Conch Cemen
Nurkholis mengawali kritik atas tulisan Ferdy dengan membeberkan fakta perihal eksistensi Conch semen di Nusa Tenggara Timur. Menurutnya tidak pernah ada Conch Semen di NTT.
Namun, berdasarkan rilis terbaru peta industri semen nasional per tahun 2018 oleh Indocement.tbk, Conch semen telah ikut serta menjadi produsen dan pemasok semen bagi NTT dan wilayah Indonesia timur lainya.
Artinya, memperhitungkan hasil produksi Conch semen dalam analisis demand and suplay kebutuhan semen NTT, sebagaimana dilakukan Ferdy, adalah sebuah keharusan.
Ferdy sepertinya mencoba agar tak hanya fokus pada PT. Semen Kupang Indonesia yang memang telah cukup lama eksis di NTT. Yang coba disampaikan Ferdy adalah fakta perihal korporasi mana saja yang telah menopang kebutuhan semen NTT selama ini. Korporasi semen itu tak mesti ada di wilayah NTT.
Dengan demikian, perhitungan defisit semen di NTT dan urgensi pembangunan pabrik semen baru, akan lebih tepat dan masuk akal.
Menuduh analisis Ferdy sebagai sebuah kekeliruan karena basis serta sumber data yang berbeda, adalah sebuah bentuk kesombongan intelektual. Nurkholis dengan sengaja mengabaikan poin pokok dalam adu gagasan ini yakni soal urgensi pembangunan pabrik semen dan manfaat kehadiran tambang.
Kritik yang diajukan Nurkholis lebih sebagai bentuk Appeal to Emotion yaitu sebuah bangunan argumentasi yang diberikan dengan sengaja tidak terarah kepada persoalan yang sesungguhnya tetapi dibuat sedemikian rupa untuk menarik respon emosi si lawan bicara. Respon emosi bisa berupa rasa malu, takut, bangga, atau sebagainya. Ini adalah salah satu bentuk kesesatan dalam ilmu logika, silahkan pembaca cari tahu sendiri.
Ketika memperdebatkan soal basis data, semestinya Nurkholis juga menyertakan data atau informasi pembanding yang kuat. Sayangnya, informasi dan data tidak disertakan Nurkholis dalam kritiknya atas tulisan Ferdy. Sangat mencemaskan bila bangunan argumentasi kritiknya berbasis pada Google Search. Sebab, bila mencari tahu keberadaan Conch Semen di NTT melalui mesin pencari tersebut, informasinya tidak akan tersedia.
Konstruksi Hukum
Mari mencermati konstruksi argumentasi hukum yang telah dibangun Nurkholis dan Ferdy.
Pertama soal peran aktif Bupati Agas dalam proses pemebebasan lahan milik warga. Ferdy menjadikan Undang-undang No 2/2012 tentang Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagai rujukan. Jelas bahwa urusan tambang atau pembangunan pabrik semen bukan bagian dari urusan untuk kepentingan umum sesuai amanat UU.
Anehnya, Nurkholis malah menggunakan peraturan menteri agraria untuk membantah argument Ferdy. Padahal sejauh pengetahuan saya, dalam hierarki peraturan perundang-undangan, posisi UU selalu lebih tinggi dari peraturan menteri. Semestinya Nurkholis paham tata urutan dan hierarki peraturan perundang-undang. Ada yang namanya asas lex superior derogat legi inferior yang artinya bahwa hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah. Ini asas-asas dasar yang diajarkan dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Jadi jangan asal comot aturan, demi mencari pembenaran.
Satu lagi logika sesat Nurkholis, adalah Ia melihat persoalan pengadaan tanah dalam rangka pembangunan pabrik semen dan tambang gamping sebagai sebuah Sengketa Hak Ulayat. Padahal, tidak ada sengketa ulayat yang terjadi di Luwuk-Lengkololok. Yang terjadi adalah sebuah proses negosiasi pembebasan/pengadaan tanah antara korporasi (PT.IMM dan PT.SM) dengan warga lokasi bakal pabrik semen dan tambang. Proses negosiasi ini masih berada dalam wilayah hukum privat, antara badan hukum dengan orang per orang. Ia akan masuk ranah hukum publik bila berkaitan dengan AMDAL dan ijin usaha Pabrik atau urusan lain yang melibatkan Negara. Pertanyaannya, mengapa Bupati terlibat di negosiasi privat seperti ini?
Kemudian soal TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Nurkholis mencoba mencari pembenaran atas keikutsertaan Bupati dalam proses negosiasi dengan menggunakan Ketetapan MPR. Padahal, ia seharusnya paham bahwa ketetapan MPR hanya sebagai landasan etik dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, tidak ada akibat hukum yang timbul karena pelanggaran terhadap amanat ketetapan MPR. Menggunakan ini sebagai dasar hukum bagi keikutsertaan Bupati, terasa aneh bagi saya.
Setelah membaca TAP MPR di atas, tak satu pun perintah langsung bagi Bupati untuk campur tangan dalam negosiasi perjanjian Korporasi dengan Warga pemilik tanah di lokasi bakal tambang atau pabrik semen. Isi TAP MPR ini hanya tentang Arah kebijakan pembaruan Agraria dan Arah Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bahkan, masih banyak poin yang belum dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Lembaga Perwakilan Rakyat saat ini.
Menurut Nurkholis, keterlibatan Bupati secara aktif dalam membantu menyelesaikan proses pelepasan hak tanah warga kepada investor adalah bentuk kehadiran Negara melindungi rakyatnya. Pernyataan model ini terasa akrab, sering keluar dari mulut pejabat Negara ketika ditanya maksud dari campur tangan pemerintah atau tujuan sebuah proyek pembangunan. Jawabannya pasti adalah bentuk hadirnya Negara melindungi rakyatnya. Pada bagian ini, Nurkholis terdengar lebih seperti pejabat bagian ke-humas-an di lingkup Pemda Matim.
Negara sebenarnya telah hadir dalam proses negosiasi antara para pihak dalam perjanjian awal (Korporasi & warga Luwuk-Lengkololok). Kehadiran Negara adalah lewat hadirnya perangkat desa atau camat sebagai saksi dalam perjanjian awal antara para pihak. Selain itu, wujud hadirnya negara juga lewat perangkat daerah terkait, misalnya kehadiran dinas lingkungan hidup guna mensosialisasikan dampak lingkungan kehadiran tambang gamping atau pabrik semen kepada masyarakat. Bupati sebagai kepala daerah tak perlu terlibat langsung dalam negosiasi ini.
Patut dipahami bahwa kehadiran Negara dapat lewat banyak bentuk dan cara. Kehadiran Negara juga semestinya terasa lewat wakil-wakil rakyat daerah yang dipilih untuk mengamankan kepentingan rakyat. Persoalan lainnya adalah tak banyak wakil rakyat yang berani bicara soal polemik ini.
Kedua soal tafsiran Pasal 135 UU No. 4 tahun 2006 tentang Minerba. Nurkholis beranggapan bahwa Pasal tersebut memiliki celah. Menurutnya UU tersebut membiarkan masyarakat hukum adat berhadapan langsung dengan korporasi. Katanya UU ini berpotensi merugikan masyarakat hukum adat. Berikut bunyi pasal 135:
“Pemegang IUP Ekplorasi atau IUPK Ekplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah”.
Saya tak dapat menemukan celah yang dimaksud Nurkholis. Saya pun kebingungan mencerna tafsir Nurkholis atas bunyi pasal ini. Setahu saya, Pasal ini justru mengamankan kepentingan masyarakayat dari potensi “penetrasi paksa” korporasi karena dukungan mayoritas pemilik lahan. Meminjam istilah Nurkholis, telah terjadi kelirumologi dalam cara tafsirnya sendiri atas bunyi pasal ini.
Pasal ini menegaskan bahwa aktifitas eksplorasi baru boleh digelar, setelah semua urusan berkaitan dengan pengadaan tanah selesai. Seluruh masyarakat di lokasi bakal tambang, mesti setuju dulu, baru aktivitas eksplorasi dapat dimulai. Artinya, meskipun mayoritas masyarakat telah mendukung dan mengikatkan diri dalam perjanjian, korporasi tetap dilarang untuk memulai kegiatan. Pasal ini melindungi kepentingan kelompok kecil yang tetap menolak kehadiran tambang pun pabrik semen di atas tanahnya.
Gagal Paham Soal Investasi
Nurkholis sebaiknya tak usah bicara soal investasi. Pendapatnya mencerminkan posisi keberpihakan pada kepentingan investor dan ketidaktahuannya soal Investasi. Simak kritiknya terhadap gagasan Ferdy Hasiman berikut :
“Saudara peneliti mestinya memahami dengan utuh spirit Presiden Jokowi yang disampaikan dalam rapat kordinasi bersama kepala daerah se-Indonesia belum lama ini bahwa jika ada investor yang ingin menanamkan modal usahanya di daerah yang berorientasi ekspor, maka harus segera diteken izinnya secepat-cepatnya”
Bagi Nurkholis yang paling utama adalah investor nyaman, tenteram dan aman. Menurutnya itu sesuai dengan spirit Presiden Jokowi soal investasi. Urusan perizinannya pun harus diteken secepat-cepatnya. Menurutnya Ferdy tak paham apa-apa soal investasi.
Sayangnya, Nurkholis lupa bahwa investasi yang dimaksud Presiden Joko Widodo, bukan hanya soal urusan tambang atau pabrik semen. Investasi berorientasi ekspor yang dimaksud presiden Jokowi juga termasuk investasi sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pariwisata, pendidikan dan berbagai bentuk investasi ramah lingkungan lainnya. Adalah tugas pemimpin daerah untuk memilah-milah, investasi sektor mana yang sesuai dengan potensi daerah masing-masing.
Perlu disadari juga bahwa semenggiurkan apapun tawaran investasi bagi sebuah daerah, Pemda wajib terlebih dahulu melihat asas kemanfaatannya bagi rakyat di daerah. Jangan sampai kehadiran investasi lebih banyak meghasilkan “air mata” derita bagi masyarakat. Selain itu, Negara wajib melindungi hak-hak dasar warga Negara. Jangan sampai kehadiran investasi justru merampas hak dasar warga Negara.
Semoga, Bung Nurkholis benar-benar melawan segala bentuk mafia tanah. Terutama, praktik mafia tanah yang melibatkan elit dan pejabat lokal sebagai aktor utama. Sesuai dengan Jabatan Bung Nurkholis sebagai sekertaris Jenderal Satgas Anti Mafia Tanah. Semoga.
“Saya cuma mahasiswa biasa, yang kebetulan belajar di fakultas hukum. Saya tertarik ikut berkomentar karena merasa tak nyaman bila adu gagasan dan kritik disajikan berdasarkan fakta dan kebenaran yang kabur atau sengaja ditutupi.”
“Soal mendukung atau menolak pembangunan pabrik semen ada di tangan masyarakat Luwuk-Lengkololok sendiri. Tanggung jawab kita semua adalah memastikan informasi yang diterima masyarakat perihal dampak pembangunan pabrik semen dan tambang adalah benar, jujur dan adil. Salam Hormat.”