Oleh: Febry Suryanto
(Sebuah Pembacaan atas Polemik Tambang di Manggarai Timur-NTT)
Ekologi merupakan tatanan relasi antara manusia dan alam ciptaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ekologi merupakan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam di sekitarnya (lingkungannya).
Keutuhan ekologi menjadi begitu penting untuk dijaga dan dilestarikan karena eksistensinya yang langsung berhubungan dengan hajat hidup manusia.
Wacana ekologi pun menjadi topik yang dipergunjingkan akhir-akhir ini karena manusia tidak lagi peduli pada keseimbangan ekosistem. Hal ini berdampak pada masalah-masalah yang merugikan manusia sendiri seperti bencana alam, musim yang tidak lagi menentu, wabah dan lain sebagainya.
Dampak-dampak tersebut di atas menjadi fakta yang tak dapat lagi disangkal. Hal ini berpengaruh pada keutuhan ekologis sehingga tepatlah apa yang dikatakan Charles Reich, dari semua perubahan yang terjadi pada manusia, yang paling menyedihkan adalah manusia telah kehilangan tanah, udara, tetumbuhan, dan pengetahuan tentang tubuhnya sendiri yang berasal dari alam.
Keserakahan manusia telah mengakibatkan semesta menuju kehancuran. Kehancuran tatanan ekologi, sebenarnya merupakan akumulasi krisis multi-perspektif, yang tak pernah sanggup diatasi oleh manusia. Barangkali inilah yang disebut kecelakaan peradaban.
Eksploitasi sumber daya alam demi pemenuhan hasrat hidup manusia telah menimbulkan kerusakan ekologi global. Pengembangan sains yang tidak disertai wawasan spiritual karena cenderung materialistis menyebabkan malapetaka berupa rusaknya keseimbangan alam.
Salah satu masalah yang menyebabkan kerusakan ekologi adalah tambang. Di NTT masalah tambang merupakan fakta yang tak pernah berakhir. Saat ini, masyarakat NTT tengah berjuang untuk menolak izin usaha pertambangan semen dan batu gamping di Kabupaten Manggarai Timur. Hingga saat ini, rencana perizinan itu menuai polemik di tengah masyarakat.
Polemik Tambang di Manggarai Timur
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat seperti yang dilansir VoxNtt (27/4/2020) mengatakan bahwa saat ini pembangunan di Provinsi NTT sedang membutuhkan semen, karena menurutnya NTT hanya mampu menghasilkan 250 ribu ton/tahun sementara kebutuhan semen per tahun mencapai 1,2 juta ton.
Oleh karena itu ia akan memberikan izin pertambangan semen di Manggarai Timur mengingat produksi semen di Kupang hanya mencapai 250 ton/ tahun. Menurut Gubernur pabrik semen di Manggarai Timur bertujuan untuk memenuhi kebutuhan lokal apalagi saat ini pulau Flores sedang melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Selain itu, ia berjanji untuk tidak memberikan izin pertambangan yang lain selain pertambangan semen. Bahkan ia menyakini bahwa pertambangan tersebut tidak akan merugikan warga setempat. Terkait hal ini, maka ia meminta Bupati Manggarai Timur untuk mengizinkan pembangunan pabrik semen tersebut.
Rencana pemerintah baik provinsi maupun kabupaten untuk memberikan izin pertambangan semen dan batu gamping di kampung Luwuk dan Lengko Lolok, Manggarai Timur masih menuai polemik di tengah merebaknya pandemi Covid-19.
Menurut wacana, kegiatan pertambangan ini diserahkan kepada PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Singa Merah yang akan berinvestasi di tanah seluas 505 hektar.
Salah satu alasan penolakan disampaikan Ferdy Hasiman dalam diskusi online bersama PERMAS NTT. Menurut beliau, investasi tambang pabrik semen di Kabupaten Manggarai Timur bukanlah investasi yang membawa keuntungan melainkan investasi yang membawa kematian (Vox NTT, 9/5/2020).
Jika ditelisik lebih jauh, pernyataan ini bukan tanpa alasan. Kita mesti melihat kegiatan pertambangan dalam konsep jangka panjang bahwa anak cucu dan generasi muda akan menderita krisis ekologis pada waktu yang akan datang. Adalah sebuah kesesatan berpikir, misalnya Vinsensius Kasmin (PosKupang.com, 10/5/2020), salah seorang warga pendukung hadirnya pabrik semen ini mengemukakan alasan bahwa kegiatan pertambangan akan membawa perubahan bagi masyarakat setempat.
Keberadaan statusnya sebagai seorang petani yang notabene tergolong dalam kelas ekonomi kurang mampu; maka tesisnya cukup masuk akal bahwa kehadiran tambang mampu mengubah status sosialnya serta berguna bagi generasi yang akan datang. Aktivitas tambang disinyalir dapat menambah penghasilan lantaran mempekerjakan masyarakat sekitar.
Namun, hal ini punya dampak yang buruk bagi masyarakat lingkar tambang. Masyarakat terancam kehilangan lahan produksi pasca pabrik tersebut tutup. Apalagi mengingat investasi tambang dan penambangan bahan baku semen hanya berumur pendek. Jika bahan bakunya habis dikeruk, maka tamatlah usia pabrik tersebut sembari meninggalkan dampak lingkungan bagi generasi mendatang.
Keuntungan ini mungkin dapat diraih saat sekarang namun tidaklah demikan bagi generasi mendatang.
Matinya Etika dan Sikap Kritis
Menanggapi berbagai polemik tersebut, penulis membaca ada pembodohan publik oleh karena minimnya nalar kritis dan kurang sosialisasi mengenai dampak-dampak kerusakan tambang.
Hal ini juga disebabkan matinya etika dan sikap kritis manusia. Kurangnya etika dan sikap kritis ini cenderung membawa masyarakat pada apa yang pernah ditulis Murray Bookchin, bahwa kita terbelenggu oleh rutinitas yang menindas, represi yang melumpuhkan dan ketidakamanan, dari beban kerja keras dan kebutuhan palsu, dari tipu daya otoritas dan paksaan irasional (Bookchin, 2018:34).
Bookchin menegaskan fakta visioner, bahwa kita perlu melihat jauh ke depan; bukan memakai logika kapitalis yang bertendensi eksploitatif.
Kita boleh sangat bangga dengan kemajuan peradaban manusia modern yang telah menciptakan revolusi sains dan teknologi super canggih. Betapa pun pesatnya pencapaian ini, selalu ada ketimpangan ekologis yang tak kalah dahsyatnya.
Akibat penggunaan teknologi dan sains yang agresif atas nama kemajuan, manusia justru mengalienasi lestarinya sumber daya bumi dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Manusia menjadi serakah dan menganggap diri sebagai tuan atas bumi, tanpa rasa tanggung jawab.
Perubahan perspektif manusia dalam memahami nilai instrisik lingkungan hidup turut membidani lahirnya berbagai krisis ekologi saat ini. Semestinya manusia dan lingkungan hidup semakin membaik karena peradaban telah maju dan ditopang oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin maju. Ironisnya, kemajuan teknologi tidak menjadikan manusia bertanggung jawab melainkan bertindak serakah.
Aldo Leopold (Bambang Sugiharto dan Agus Rahmat,2000: 70) mengatakan bahwa etika ekologis merupakan pembatasan tindakan manusia demi alasan keberlangsungan hidup.
Etika ini bertumpu pada asumsi bahwa individu adalah anggota dari satu komunitas yang terdiri atas bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling tergantung.
Di satu sisi, naluri manusia menuntutnya untuk berkompetisi demi meraih posisi dalam komunitas, tapi di sisi lain hal itu mendesaknya untuk turut bekerja sama supaya ada tempat baginya untuk berkompetisi.
Ajaran etika lingkungan hidup membuka wawasan etis kita bahwa, jika kita tidak bertoleransi kepada sesama warga negara bumi, misalnya dengan melakukan eksploitasi berlebihan terhadap tanah atau menggusur habitat satwa secara berlebihan, kerukunan antar-warga bumi akan terkoyak. Hal ini berimplikasi pada lahirnya konflik antarwarga, krisis lingkungan, dan bencana alam yang bertubi-tubi menerpa hidup manusia.
Fenomena ini menjadi realitas kritis yang melahirkan krisis pada manusia dan alam. Krisis ini berpengaruh pada seluruh tatanan hidup manusia. Eksistensi alam yang rusak tidak lagi menjanjikan potensi, sumber daya alam yang memadai. Manusia akan semakin getol mengeksploitasi alam dan kenyataan ini akan semakin memicu timbulnya krisis multi dimensi.
Alam yang rusak akan merusak tatanan hidup manusia dan manusia akan saling “serang” satu sama lain karena bertolak dari eksistensi alam yang tidak lagi seimbang. Inilah krisis multi dimensi yang turut merusak tatanan relasi antar manusia, manusia dapat menjadi “macan” bagi sesamanya sendiri.
Thomas Hobbes pernah mengatakan homo homini lupus yang berarti “Manusia adalah serigala bagi sesamanya”. Hobbes memunculkan teori ini karena secara alamiah manusia punya naluri kekerasan. Menurutnya kekerasan terjadi karena tidak tersalurnya naluriah yang berlebihan.
Menurut Hobbes manusia pada dasarnya hanya memikirkan tentang kepentingan diri sendiri. Secara implisit ungkapan ini menggambarkan sifat manusia yang suatu waktu dapat menjadi pemangsa bagi sesamanya tanpa kenal rasa sosial, empati dan kasih sayang yang menjadi sifat makhluk hidup yang paling tinggi di antara makhluk yang lain.
Hemat penulis, ungkapan homo homini lupus memang sangat tepat untuk digunakan pada situasi di Manggarai Timur saat ini. Para pemangku kepentingan telah menjadi serigala bagi sesamanya. Mereka mengambil keputusan tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Mereka tidak sungguh-sungguh menepati janji kampanye mereka.
Kiranya masih segar dalam ingatan kita bahwa Gubernur, Viktor Bungtilu Laiskodat dalam kampanyenya tahun 2017 silam, berjanji menolak segala bentuk pertambangan termasuk tambang semen dan batu gamping yang sekarang ini menjadi polemik di tengah masyarakat Manggarai.
Kita melihat para pemimpin (baca: gubernur dan bupati) mempraktikkan bisnis tanpa memperhatikan aturan main lingkungan. Seandainya pun mereka mengikuti prosedur, ujung-ujungnya tersembunyi kepentingan dan konspirasi jangka pendek yang merusak.
Mereka tidak lebih sebagai “tukang stempel” perusak lingkungan dan sumber daya alam. Banalitas kekuasaan menyebabkan meraka berpikir instan demi pengejaran kekuasaan dan perolehan kesenangan material.
Satu Kata Saja: Lawan
Untuk itu, penulis hendak memberikan tiga catatan kritis untuk melawan karakteristik banal yang sedang berproses dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
Pertama, “mematikan atau membunuh” sikap egosentris yang senantiasa membuat manusia konsisten pada kepentingan individu. Bahkan acapkali mengklaim, apa yang baik bagi individu adalah juga baik bagi masyarakat.
Paradigma ini, memperoleh pendasaran filosofis pada pemikiran Thomas Hobbes. Sikap egosentris ini didasarkan pada asumsi, manusia semestinya memperlakukan alam menurut insting natural.
Kedua, sikap manusia yang mendasarkan diri pada kepentingan masyarakat. Klaim utama sikap ini bahwa model pendekatan pelaku ekologi niscaya melindungi kesejahteraan masyarakat.
Namun, sikap ini mengarah dan membawa manusia pada pengurasan sumber daya alam dengan dalih kepentingan umum. Maka, masyarakat harus melawan dengan pendasaran bahwa demokrasi sejatinya adalah milik rakyat.
Ketiga, sikap manusia yang mendasarkan diri pada bumi. Lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Terlebih karena keniscayaan bahwa, tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem, lantaran seperti halnya manusia, semua benda dalam kosmos mempunyai tanggung jawab moral. Maka, etika tanggung jawab moral sebaiknya dijaga dan dirawat supaya lingkungan atau alam tetap utuh dan terciptanya keseimbangan.
Hemat penulis, jika ketiga sikap di atas tumbuh subur diri manusia maka dapat melahirkan konflik kepentingan antara kelompok masyarakat, investor, dan negara. Oleh karena itu, mekanisme kepentingan dengan alur yang banal ini harus cepat dihindari serentak ditolak. Satu kata saja, lawan!
Tujuannya, kita tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan lestarinya tatanan ekologis dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Bumi adalah ibu kita bersama, maka sudah selayaknya bumi dicintai dan ungkapan cinta yang paling konkret itu diwujudkan dengan aksi-aksi pro lingkungan hidup dan tindakan-tindakan yang bertanggung jawab untuk memelihara alam ciptaan Tuhan ini.