Oleh: Kristianus Antonius Saputra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Rencana Pembangunan Pabrik Semen dan Tambang Batu Gamping di Luwuk-Lengkololok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur patut dicermati dengan saksama.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan proses negosiasi, perjanjian dan perizinan wajib hukumnya mengedepankan prinsip dan asas-asas dasar seperti; keterbukaan informasi, musyawarah, itikad baik atau good faith, kejujuran, kebebasan berkontrak dan memberikan rasa keadilan bagi para pihak.
Dalam proses menuju pembangunan Pabrik semen dan pengoperasian tambangan gamping pihak korporasi telah mengajukan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (“MoU”) atau dalam bahasa hukum disebut pra-kontrak.
Sebagian besar masyarakat Luwuk-Lengkololok telah “menandatangani kesepakatan” itu. Kesepakatan berbasis MoU tak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia. Namun, dalam perjanjian dagang kesepakatan MoU sudah dianggap lazim.
MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lain akan sesuatu yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. MoU merupakan perjanjian pendahuluan.
Dalam MoU mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak dikemudian hari.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan MoU sebagai bentuk Letter of Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:
“A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a noncommittal writing preliminary to a contract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a commitment has been made…”
Terjemahannya kurang lebih seperti ini; “Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen atau tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya tidak terikat dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati.”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut:
(1) MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
(2) Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;
(3) Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;
(4) MoU biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
(5) Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.
Kronologi “Jebakan Korporasi”
(Hasil Research dan Wawancara dengan Warga Luwuk-Lengkololok)
Korporasi telah melakukan penetrasi kepentingan dan hadir di Luwuk-Lengkololok sejak 2018. (Baca; Laporan PT Singah Merah, 2020) Korporasi mendekati masyarakat dengan bermacam cara agar pelan-pelan tergantung kepada korporasi. Segala urusan warga kampung semisal acara adat hingga urusan sekolah dibantu.
Korporasi pelan-pelan mempelajari siapa saja tokoh adat, tokoh masyarakat hingga kelompok pemuda yang dapat dimanfaatkan untuk memuluskan kepentingannya. Strategi pendekatan model ini sudah lumrah dan biasa dalam praktik pendekatan korporasi.
Korporasi pasti paham, bahwa segala urusan akan menjadi lebih mudah bila mengikutsertakan pimimpin daerah atau ‘orang kuat’ lokal dalam proses lobby pengadaan tanah. Disitulah peran Bupati Agas menjadi penting dalam proses ini.
Dalam rangka memuluskan rencana tersebut, Bupati mengundang perwakilan masyarakat membicarakan rencana pembangunan pabrik semen dan tambang.
Tercatat dua pertemuan telah digagas Bupati untuk menghadirkan perwakilan masyarakat. Dua pertemuan ini bertempat di kediaman pribadi bupati di Kampung Cekalikang.
Pertemuan pertama dengan Agas di Cekalikang berlangsung tanggal 14 Maret, 2020 yang dihadiri tiga orang perwakilan masyarakat Lingko Lolok. Sedangkan pertemuan kedua berlangsung tanggal 22 Maret, 2020 dan dihadiri 34 orang perwakilan masyarakat.
Menurut pengakuan masyarakat, pertemuan itu berdasarkan undangan dari Bupati sendiri. Selain informasi tentang sopir pribadi yang menjemput mereka, ada juga peran oknum wartawan surat kabar online lokal yang menjadi penghubung.
Informasi seputar keinginan Bupati bertemu perwakilan warga, disampaikan oleh oknum-oknum ini. Setelah muncul polemik, mereka tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di Kampung Luwuk-Lengkololok. Selama pertemuan tersebut tidak pernah dibahas urusan relokasi kampung. Menurut pengakuan masyarakat yang hadir dalam pertemuan, yang dibicarakan adalah rencana renovasi bukan relokasi. Baik pertemuan pertama dan kedua bersama Bupati, masyarakat telah menegaskan tak akan setuju bila ada “pindah beo” atau relokasi. (Baca : https://voxntt.com/2020/04/27/terkait-pertemuan-di-cekalikang-warga-lingko-lolok-bantah-pengakuan-bupati-agas/61952/) Pertemuan ini juga menghadirkan perwakilan Korporasi.
Bos besar pemilik salah satu perusahaan turut hadir dalam proses itu, berdasarkan pengakuan warga.
Klausul relokasi tiba-tiba muncul dalam surat perjanjian awal atau MoU yang ditandatangani saat menerima uang Down Payment (DP) di Reo pada 26 Maret 2020.
Saat menerima uang DP, masyarakat hanya diminta menandatangani kwitansi. Informasi soal relokasi diketahui warga setelah salah seorang di antara mereka membawa pulang kwitansi dan lembaran perjanjian awal.
Karena uang yang ia terima belum cukup atau kurang, barulah masyarakat mengetahui akan ada relokasi akibat dari perjanjian awal dalam rangka pembangunan pabrik semen. Belakangan muncul pemberitaan perihal saran dari Bupati agar masyarakat sepakat untuk direlokasi ke daerah lain dekat Satar Teu.
Kecurangan dan Iktikad Buruk
Setelah mencermati perjanjian awal (MoU) yang dibuat antara Korporasi dan Perwakilan masyarakat Luwuk-Lengkololok, ditemukan beberapa fakta yang mengindikasikan adanya kecurangan sistematis dan Itikad buruk/niatan buruk dalam MoU ini.
Perjanjian awal tersebut digagas oleh Korporasi dan masyarakat ditawari untuk mengikatkan dirinya (sepakat) ke dalam nota kesepahaman itu. Sayangnya, isi keseluruhan MoU lebih seperti perjanjian yang sesungguhnya dan bukan MoU. Mengapa demikian?
Perjanjian awal yang dibuat korporasi ini, bukanlah perjanjian awal yang semestinya. Perjanjian ini, hemat saya penuh dengan “Jebakan Hukum”, yang sengaja didesain oleh pihak korporasi.
Di dalamnya terdapat sejumlah klausul yang tidak patut terdapat dalam sebuah MoU. Klausul-klausul itu, seperti perihal relokasi, Nilai Ganti Kerugian atas tanah dan bangunan, Uang kompensasi, dan metode Pembayaran (Ada uang DP Rp10Jt). Warga beranggapan, poin-poin tersebut justru mempersulit pembatalan MoU. Padahal, ciri pokok MoU salah satunya adalah mudah untuk dibatalkan.
Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu hubungan hukum, karena baru merupakan kesepahaman prinsip yang dituangkan secara tertulis. Dapat ditarik kesimpulan, MoU baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian.
Sementara, dalam Perjanjian awal yang dibuat korporasi, keseluruhan isinya adalah perjanjian pokok. Judul perjanjian “Kesepakatan Awal” hanyalah penamaan, agar tampak sebagai kesepakatan awal/MoU. Namun, ternyata tidak demikian.
Karena bukan lagi MoU melainkan perjanjian pokok, maka para pihak terpaksa tunduk dan terikat dalam perjanjian tersebut. Ruang untuk tawar menawar yang seharusnya dimungkinkan setelah sebuah MoU diteken, tidak terbuka lagi.
Jika MoU ini bukan sebuah jebakan, masyarakat seharusnya masih dapat melakukan negosiasi atau membatalkan MoU dengan korporasi. Faktanya, masyarakat telah terlanjur terikat dalam “MoU jebakan” ini.
Ada akibat hukum yang ditanggung masyarakat apabila ingkar janji terhadap kesepakatan dalam MoU. Kondisi ini mengindikasikan adanya unsur iktikad buruk dan praktik yang curang.
Mari kita cermati satu per satu klausul tersebut.
Perihal klausul relokasi mendadak muncul dalam MoU. Menurut sejumlah warga yang akhirnya berubah sikap dan menolak kehadiran pabrik semen dan tambang, klausul ini tak pernah dibahas dalam pertemuan bersama Korporasi dan Bupati Matim di Cekalikang (yang dijanjikan adalah renovasi bukan relokasi).
Artinya, sebagian besar masyarakat tidak tahu, bahwa dengan mengikatkan diri dalam perjanjian ini, mereka akan direlokasi. Padahal, mereka tidak sepakat soal relokasi. Informasi perihal relokasi baru diketahui lama setelah ada MoU. Prinsip keterbukaan informasi telah dengan sengaja diabaikan. (baca : http://www.beritaflores.com/2020/05/13/merasa-terhina-suku-lantar-welek-lengko-lolok-tolak-relokasi-hunian/ )
Maka, patut dicurigai, sejak awal Korporasi telah merencanakan relokasi masyarakat. Klausul relokasi kemudian dimasukan dalam perjanjian kesepakatan awal tanpa sepengetahuan masyarakat. Besar kemungkinan, Bupati telah mengetahui rencana relokasi ini sejak awal.
Buktinya, Bupati tak keberatan masyarakat direlokasi. Beliau bahkan menyarankan alternatif lokasi hunian baru bagi masyarakat.(Baca : https://www.floresa.co/2020/04/26/bupati-agas-lebih-bagus-jika-warga-lingko-lolok-relokasi-di-dekat-satar-teu/)
Perjanjian tersebut jelas dapat dibatalkan karena tidak memenuhi poin pertama dari syarat sahnya sebuah perjanjian, yaitu, adanya kesepakatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Artinya Para pihak mesti sepakat terlebih dahulu baru perjanjian tersebut sah. Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengikatkan diri orang tersebut. Dalam konteks kasus ini, masyarakat tak pernah sepakat soal klausul relokasi.
Kemudian Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafatan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Lebih lanjut Pasal 1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dilakukan oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Dalam konteks kasus ini, tanpa ada unsur “tipu-tipu”, masyarakat tak mungkin sepakat soal relokasi.
Perjanjian ini bukan lagi hanya dapat dibatalkan tetapi menjadi batal demi hukum, karena bertentangan dengan poin ke 4 dari Pasal 1320 KUH Perdata tentang kausa yang halal.
Unsur curang dan itikad buruk adalah hal yang tidak boleh dilakukan dalam merumuskan sebuah perjanjian. Logika yang memaksakan perjanjian awal ini sah karena masyarakat telah menandatangani perjanjian awal dan menerima uang muka adalah logika sesat dan pro kepentingan korporasi.
Kemudian Soal Ganti Kerugian. Nilai ganti kerugian dalam kesepakatan awal antara para pihak sangat tidak adil. Tanah dengan kandungan bahan tambang di dalamnya hanya ditaksir senilai Rp 12.000,00/m2 untuk tanah non-sertifikat dan Rp 14.000,00/m2 untuk tanah bersetifikat.
Tidak ada penjelasan mengenai metode perhitungan dan alasan angka tersebut masuk dalam perjanjian. Tanaman masyarakat yang ditaksir kerugiannya pun hanya dua jenis tanaman, yaitu pohon mete dan pohon jati.
Tanaman produktif seperti pohon mete hanya dinilai sebesar Rp.500.000,00 per pohon. Padahal besaran keuntungan hasil menjual mete dari satu pohon bisa jauh lebih besar dari angka yang ditaksir korporasi.
Nilai paling tinggi untuk satu pohon jati pun hanya Rp. 500.000,00 sesuai ukuran dan kualitas pohon. Angka ini juga tak masuk akal bila membandingkan harga kayu jati di pasaran.
Berdasarkan update informasi harga kayu jati per 2020 dari portal infoharga.id harga kayu jati gelondongan dipatok Rp. 2.300.000,00/batang. Kayu Jati Kelas A4 dengan ukuran 40 cm-49 cm adalah Rp. 7.000.000/M3; Kayu Jati Kelas A3 30 cm-39 cm Rp. 5.000.000/M3; Kayu Jati Kelas A2 20 cm -29 cm Rp. 3.000.000/M3. Kayu Jati Kelas A1 11 cm-19 cm Rp. 2.000.000/M3. Nilai tersebut jauh dengan nilai yang dipatok korporasi dalam MoU. (Baca : https://infoharga.id/harga-kayu-jati/ )
Kemudian soal uang kompensasi. Besaran uang kompensasi per-KK hanya sebesar Rp.150.000.000,00. Nilai tersebut tak sebanding dengan sejumlah aspek imateril yang semestinya juga diperhitungkan. Misalnya nilai historis dari kampung adat; rasa aman dan kebersamaan dalam hidup harian; keberlangsungan hidup generasi luwuk-lengkololok di masa datang; juga tentang rasa bahagia yang mungkin saja hilang karena kehadiran pabrik semen dan tambang di Luwuk-Lengko lolok.
Dari Soal Perdata ke Masalah Pidana
Perihal rencana relokasi sebagaimana disebutkan di atas dapat beralih dari hanya persoalan keperdataan dan pembatalan perjanjian ke persoalan pidana. Unsur kecurangan dalam perjanjian dapat menjadi dasar bagi masyarakat yang merasa dibohongi atau ditipu oleh kesepakatan awal ini.
Masyarakat dapat melaporkan korporasi, serta seluruh pihak yang dianggab terlibat dalam rangkaian kebohongan sistematis ini kepada penegak hukum.
Tentang Penipuan diatur dalam ketentuan Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang. Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUH Pidana adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu ; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
(1)Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
(2)Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
(3)Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan).
Bila unsur-unsur tindak pidana penipuan terpenuhi, maka sejumlah pihak yang terkait dalam perbuatan curang yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat Luwuk-Lengkololok wajib bertanggung jawab.
Sementara untuk urusan keperdataan, Masyarakat Luwuk-Lengkololok yang merasa hak dan kepentingannya dicurangi dalam perjanjian dan mengakibatkan kerugian, dapat mengajukan gugaatan perdata ke Pengadilan.
Gugatan ini menurut saya, tidak lagi bertujuan untuk membatalkan perjanjian. Sebab perjanjiannya telah batal demi hukum sebagaimana dijelaskan di atas.
Masyarakat dapat mengajukan gugatan dalam rangka menuntut ganti kerugian karena unsur Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) oleh pihak Korporasi yang menyebabkan sejumlah kerugian bagi masyarakat.
Mereka yang dapat mengajukan gugatan adalah orang per orang atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan haknya oleh kesepakatan awal ini. Penjelasan mengenai unsur PMH dalam kasus ini, akan saya jabarkan kemudian.
Bersambung…