Oleh: Anselmus Sahan
Dosen Universitas Timor, Kefamenanu, Timor, NTT
Usai Manggarai dimekarkan menjadi tiga kabupaten (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur), roda pembangunan terasa digerakkan dengan begitu mudah.
Jika dulu, selagi satu Manggarai, perputaran rodanya agak tersendat-sendat karena tantangan geografis dan topografis yang buka main sulitnya, kini, gerakannya mulai agak ringan.
Sekalipun, di mana-mana masih terdengar suara sumbang, toh itu sebuah fakta pembangunan. Suara itu sebenarnya menandakan kekecewaan masyarakat karena di saat Manggarai diperkecil, masih ada wilayah yang belum disentuh ‘tangan’ pemerintah. Jika suaranya makin pilu, tentu tanah kelahiran kita itu ‘kuni agu kalo’ patut menangis.
Salah satu tangisan masyarakat yang memilukan hati ialah rencana Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Pemkab Matim) untuk membangun sebuah pabrik semen di kampung Luwuk.
Sejak awal tahun 2020, Pemkab Matim bersama rekanannya, yaitu perusahaan pabrik semen, giat meyakinkan masyarakat dengan sejumlah janji manis seperti pabrik semen akan menyejahterakan masyarakat di sekitarnya, meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Matim, mengurangi pengangguran di Matim dan mengelola lingkungan sekitar pabrik sesuai standar AMDAL.
Isu ini terus-menerus bersuara di berbagai media sosial dan media cetak, yang mendukung rencana tersebut. Sebaliknya, sekelompok masyarakat yang menolak pabrik semen berargumentasi bahwa pabrik itu akan merusak lingkungan hidup masyarakat, alam dan tatanan kehidupan masyarakat sekitar lokasi.
Asal Kita
Mencermarti rencana Pemkab untuk membangun pabrik semen, saya boleh berpendapat bahwa rencana itu sangat luar biasa. Namun, Pemkab perlu menyadari bahwa lokasi pabrik semen itu dibangun di atas ‘luka lama’, Luwuk, yang sampai kini belum dikonservasi. Dengan membangun di atas lokasi lama dan mengandalkan Lingko Lolok sebagai pasokan bahan semen, itu tidak lebih dari upaya untuk menghilangkan sejarah kehidupan masyarakat di sana.
Kita semua orang Manggarai. Kita tentu tahu persis dan setiap saat mengucapkan salah satu kearifan lokal kita “kuni agu kalo’, yaitu tanah kelahiran kita. Setiap orang Manggarai sangat memahami dirinya sebagai citra alam yang membentuk dirinya, membesarkan namanya, memberinya rezeki berlimpah dan umur yang panjang.
Semua ini merupakan barokah dari alam yang telah melahirkan dia, yang orang Manggarai sering sebut ‘kuni agu agu’. Konsep ini menggambarkan lokus kelahiran seorang manusia Manggarai. Dirinya dimeterai melalui proses kelahiran dari rahim seorang ibu yang ditandai dengan pemotongan tali pusatnya, untuk memisahkan pusat dengan ari-air atau ‘mbau’.
Sebelum dikubur, ari-ari itu dicampur dengan abu dapur lalu ditanam di sekitar rumah dan ditanami dengan beberapa jenis pohon, yang memberikan makna berbeda-beda tentang masa depan anak tersebut.
Frans Borgias (2016) dalam blogspotnya ichanchandra2015 menjelaskan bahwa go’et atau ungkapan kuni (ari-ari seorang anak yang telah dibungkus) dan kalo/haju kalo (pohon dadap) adalah tanah di mana ari-ari atau kuni-mu digantung atau ditanam atau dikubur dan di atasnya ditanam pohon kalo atau mungkin jenis pohon lainnya. Tanah kelahiran adalah tanah dimana seseorang dilahirkan atau tanah asal.
Apa makna terdalam dari ungkapan tersebut? Pertama, kuni agu kalo adalah kesatuan integral antara jiwa dan raga orang Manggarai. Kesatuan ini selalu menghubungkan manusia Manggarai dengan alam (tanah) kelahiranya dan karena itu, wajib dijunjung tinggi dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Maka muncullah ungkapan penyertaannya ialah jangan abaikan tanah asalmu “neka oke kuni agu kalo” sebagai perintah sosial pertama.
Kedua, karena integralitasnya sangat kuat, sepertinya dosa asal jika setiap orang Manggarai mengabaikan tanahnya. Efek sosialnya ialah kerenggangan kohesi sosial. Ini akan melahirkan generasi yang bukan saja mengeluarkan dirinya dari tanah kelahiranya tetapi terlebih, menghapus tanah asalnya dari dirinya. Maka, lahirlah perintah sosial kedua, jangan lupa tanah asalmu “neka hemong kuni agu kalo”.
Konteks ini amat cocok bagi perantau. Di saat reuni bersama keluarga Manggarai di perantuan, salah satu aktivitas yang dilakukan ialah misa atau acara. Di dalam kegiatan itu, banyak warga Manggarai hadir dan mereka saling bernostalgia tentang tanah asalnya.
Ketiga, setiap orang Manggarai wajib menjaga tanah asalnya. Entah di rantauan atau di Manggarai, orang Manggarai memiliki kewajiban sosial untuk merawat, memupuk dan mengabadikan tanah asalnya. Hal itu dapat dilihat dari begitu banyaknya kegiatan adat, seperti penti, caci, sanda, dendek atau danding dan mbata. Maka terbentuklah perintah sosial ketiga untuk menjaga tanah asalmu “kapu neka pa’u, pola neka gomal ‘kuni agu kalo’”.
Keempat, setiap orang Manggarai, tidak saja cukup pada kemampuan menjaga, tetapi lebi dari itu, merawat, memelihara dan memupuknya agar tanah asalnya itu menjadi kenangan indah bagi generasi berikutnya yang sulit dilupakan.
Maka lahirlah perintah sosial keempat yaitu “pinga di’a, riang di’a o tana ge – ‘kuni agu kalo’”. Perintah ini terus membakar semangat generasi Manggarai yang menyadari bahwa tanah kelahirannya adalah sumber susu dan madu yang telah membesarkan mereka.
Dan kelima, efek dari terpatrinya cinta tanah Manggarai yang mengkristal dari perintah sosial pertama hingga keempat ialah secara nyata dan berlaku di dalam kehidupan bersama sebuah persaudaraan antarsesama orang Manggarai, yang tidak terpisah oleh wilayah administrasi kepemrintahan, Timur, Tengah dan Barat.
Tetapi sebuah persaudaraan yang membuat mereka bisa saling tegur sapa (ole …..) saat berpapasan atau bertemu, saling mendengar (io …) di saat mereka sedang duduk bersama dan saling mendukung (mau ta …, eng ta … toem co’on ta) di saat ada pro-kontra di antara mereka.
Persaudaraan itulah yang menjadi sebuah seni persaudaraan yang begitu akrab, indah-harmonis dan simpatik, yang orang Manggarai sering dendangkan ‘ae lawe lenggong a, e woko leloy, manik laing o tana ge’ (Ah persatuan itu, saat dilihat, indah sekali tanahku). Ia menjadi perintah sosial kelima, yang mengikat secara lahiriah dan batiniah dan saling menopang dalam kehidupan bersama.
Pembangunan Berada: SEBER
Jika kita mampu menata dan menjaga kita punya ‘kuni agu kalo’, di mana saja kita tinggal sekarang, itu sama maknanya dengan membangun sebuah lingkungan yang telah lama saling kenal. Makna ini, tentu saja, sejalan dengan pesan filosofi pendahulu orang Manggarai yaitu jangan abaikan tanah kelahirannya ‘neka oke kuni agu kalo’.
Memaknai pesan filosofis dari adagium di atas kertas sangat mudah. Namun, dalam prakteknya, ia membutuhkan pemahaman dan praktek hidup yang sama. Untuk itulah, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Bupati dan Wakil Bupati terpilih Matim, periode 2019-2024, Agas Andreas – Jaghur Stefanus, mengedepankan visi “SEBER”.
Menurut ‘kitab suci’ Matim itu, SEBER merupakan sebuah akronim dari Sejahtera, Berdaya dan Berbudaya. Dalam bahasa Manggarai, kata SEBER diartikan sebagai rajin dan ulet. SEBER juga mengandung makna budaya kerja dan etos kerja.
Pemerintah bersama masyarakat didorong untuk memiliki budaya kerja yang berorientasi pada hasil maksimal dan unggul. Maksimal dan unggul bermakna pembangunan yang adil dan merata serta terpenuhnya hak-hak dasar bagi segenap warga masyarakat Manggarai Timur.
Selanjutnya, SEBER adalah singkatan dari tiga suku kata yaitu Sejahtera, BERbudaya, dan BERdaya. Sejahtera adalah harapan setiap manusia yang memiliki keterpenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Berbudaya mengacu kepada harkat dan martabat manusia yang mengandung nilai-nilai budaya Manggarai sebagai penuntun tingkah laku bagi setiap masyarakat untuk menjadi penyelaras kehidupan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah dan menumbuhkan jati diri dan kepribadian bangsa.
Berdaya memuat kemampuan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih baik untuk maju dan menggunakan potensi dan kompetensi yang ada dalam diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, untuk meyakinkan diri sehingga pantas dan layak melakukan sesuatu.
Visi SEBER di atas sudah jelas menggambarkan bahwa pembangunan Matim yang ‘beradab’, yang tentu saja sejalan dengan harapan membangun ‘kuni agu kalo’. Ia mengandung satu kata sifat ‘Sejahtera’ dan dua kata kerja ‘Berbudaya’ dan ‘Berdaya’.
Ketiganya harus saling menopang untuk membangun Matim menuju ke situasi SEBER, di mana masyarakatnya rajin bekerja untuk menyejahterakan dirinya atas dasar nilai-nilai sosial Matim dan dengan menggunakan daya wilayahnya akan bisa menghidupkan mereka selama ini. Tetapi, Pemerintah perlu mendampingi kegiatan masyarakatnya agar benar-benar menggunakan waktu dan tenaga tepat sasaran demi memperoleh hasil yang berdayaguna bagi kesejahteraan hidup mereka.
“Jual” Tanah Kelahiran
Terlepas dari makna bernas dari filosofi ‘kuni agu kalo’ dan SEBER, dalam praksisnya, Pemkab Matim mungkin masih memikul beban orang lain sehingga nyaris tidak memiliki sikap yang tegas untuk mencapai visinya.
Sebagai contoh, kasus perbatasan antara Matim dengan Ngada yang diam-diam diselesaikan dan dilego di Kupang. Publik hanya disodorkan dengan berita bahwa tanah kita sudah diserahkan kepada Ngada. DPRD Matim yang diharapkan bersuara lantang dalam memperjuangan hak ulayat nenek moyangnya, juga tanpa suara. Ia mengiayakan keputusan tersebut, yang jelas sekali merugikan kita.
Sebagai mantan Wakil Bupati Matim 10 tahun, Agas tahu jika masyarakat Luwuk telah mengalami kehancuran oleh tambang mangan. Lalu, apakah mereka sudah sejahtera? Semua orang bisa menjawabnya dengan enteng. Keadaan masyarakat di sana tidak ubahnya dengan sebelum tambang mengobrak-abrik kawasan pertanian mereka. Jika dulu dijanjikan jadi karyawan, saat ini, usai tambang tinggalkan mereka tanpa kesan, mereka kembali menjadi petani, ke habitat asli mereka, yang telah melahirkan dan membesarkan mereka.
Lalu, kita masih ingat, bersama Yosef Tote, mantan Bupati 10 tahun Matim, Agas juga mengerti bahwa sampai saat ini, bekas galian marmer masih menyisahkan sejumlah kerusakan lingkungan. Wilayah itu tidak mungkin digunakan sebagai lahan pertanain atau usaha apa saja. Makanya, banyak yang menilai bahwa batu gamping sisa tambang bisa menjadi bahan baku semen. Jika ini terjadi, untuk kedua kali wilayah Luwuk dicabik demi kepentingan perusahaan.
Bukan rahasia lagi, saat ini, kita sedang dihadapkan dengan rencana Pemkab Matim, di bawah kepemimpinan Agas Andreas – Jaghur Stefanus, untuk membangun Pabrik Semen di Luwuk. Berbagai media memberitakan bahwa Pemkab sendiri yang sibuk memuluskan rencana pembangunan Pabrik Semen.
Tampaknya, proses pembangunan pabrik semen itu sudah hampir final. Jika pabrik ini jadi dibangun, tentu ini, untuk kedua kalinya, Pemkab Matim ‘menjual’ ‘kuni agu kalo’. Tanah masyarakat kita akan dikelola pihak lain dan pemilik tanahnya harus direlokasi.
Jika pabrik tersebut beroperasi selama 50 tahun lebih, masyarakat tidak perlu bermimpi untuk kembali lagi ke “Yerusalem’ lama mereka. Nostalgia mereka akan sirna. Tidak akan ada lagi cerita tentang kampung Luwuk dan Lingko Lolok.
Kepada mereka, telah disediakan ‘tanah terjanji’ baru, di tempat yang sangat asing bagi mereka. Tanah itu mungkin bukan milik mereka. Syukur jika tanah tersebut diserahkan secara ikhlas oleh kampung di sekitarnya. Namun, sejarah kelam selalu mencatat bahwa seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pemilik tanah, suatu saat, akan mengklaim tanah tersebut.
Lalu, kemanakah mereka harus pergi? Apakah mereka harus memanggil Pemkab Matim untuk mencari tanah baru lagi buat mereka atau video call perusahaan agar mengembalikan mereka ke lokasi bekas pabrik?
Menurut saya, tanah Matim terlalu kaya. Tinggal saja Pemkab menampingi masyarakat agar tanah yang dimiliki bisa diberdayakan untuk menanam berbagai jenis tanaman pertanian dan usaha-usaha pertanian, perkebunan, kelautan, dan mengembangkan pariwisata, yang terkesan masih perawan.
Cukup sudah mengandalkan pabrik atau tambang, yang disertai dengan mimpi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Matim, mengurangi pengangguran dan mengembangkan usaha-usaha ekonomi produktif di sekitar kawasan tambang atau pabrik.
Cukup sudah ‘menggadaikan ’tanah kita kepada pabrik atau perusahaan apa saja yang mengumbar janji-janji manisnya. Itu tidak akan mungkin terjadi 100%. Itu cuma rayuan ‘surgawi’ untuk memuluskan rencanamya. Sebab, tidak ada perusahaan (besar) yang membangun usahanya tanpa profit.
Demi mencapai keuntungan, sebuah perusahaan melakukan berbagai cara dn upaya, termasuk menghancurkan sebuah sistem peradaban kemasyarakatan, untuk menggapainya.