Oleh: Toni Mbukut
Alumnus STKF Ledalero
Masa Sekolah Dasar (SD), bagi saya adalah masa yang penuh kenangan. Ada banyak cerita indah yang terukir selama enam tahun masa berseragam merah putih itu. Saya yakin kalau diceritakan semua, biar kita duduk baku cerita sambil naik travel Gunung Mas dari Ruteng ke Maumere pun, ceritanya tidak akan selesai. Pokoknya ceritanya pasti panjang dan seru serta penuh gelak tawa karena kita baru menyadari betapa konyolnya kita dahulu.
Namun demikian, dalam tulisan ini, saya ingin bercerita suatu hal yang bagi saya sangat menarik dan berkesan. Dulu waktu masih SD, kami biasanya berbaris di depan kelas terlebih dahulu sebelum masuk ke kelas masing-masing. Staf kelas biasanya memimpin barisan.
Mereka akan mengatur semua anggota kelas agar berbaris rapi dan saling memperhatikan jarak. Setelah ia menilai bahwa barisan sudah rapi, ia akan menentukan seorang anggota kelas untuk memipin lagu-lagu nasional. Kami biasanya menyanyikan lagu-lagu itu dengan penuh semangat.
Salah satu lagu yang sampai sekarang membuat saya terkesan dan membangkitkan semangat yang berapi-api adalah lagu “Disiplin Pancasila”. Saya harap kita masih ingat lagu ini. Kalau sudah tidak ingat atau kalau belum pernah dengar sama sekali, silahkan tanya ke mekas google. Mekas google pasti akan jawab dan menunjukkan lagu itu.
Permenungan
Sejak dahulu, saya menyayikan lagu itu begitu saja tanpa berusaha memahami maknanya secara mendalam. Waktu SD, saya hanya memahami kalau lagu itu mengajak kita supaya jangan terlambat kalau ke sekolah dan ikuti aturan di rumah dan di jalan. Namun saya tidak pernah bertanya sedikit pun tentang apa itu disiplin Pancasila? Apakah itu berarti bahwa ketika melihat gambar Pancasila (baca: Burung Garuda) atau ketika membaca teks Pancasila kita harus hormat seperti hormat pada saat apel?
Setelah coba merenung sedikit mendalam, saya akhirnya menemukan makna ungkapan disiplin Pancasila, sekurang-kurangnya versi saya sendiri. Dalam tulisan ini, saya juga ingin berbagi hasil permenungan saya itu.
Ungkapan disiplin Pancasila, terdiri dari dua kata, yaitu kata disiplin dan kata Pancasila. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata disiplin berarti taat atau patuh pada aturan yang telah ditetapkan. Namun kata disiplin sebenarnya berasal dari kata bahasa Latin discipulus yang artinya murid atau pelajar. Sedangkan kata Pancasila berasal dari bahasa sansekerta yang berarti lima sila atau lima dasar. Pancasila ini merupakan dasar Negara kita Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Merujuk pada makna dua kata ini, saya coba merumuskan makna lagu disiplin Pancasila sebagai ajakan untuk menjadi murid yang taat dan patuh kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pengertian murid dalam hal ini bukan hanya merujuk pada orang-orang yang belajar di bangku sekolah, tetapi juga kepada setiap anak bangsa Indonesia, karena kita semua adalah murid dari guru kehidupan.
Belajar untuk menjadi murid yang taat pada nilai-nilai Pancasila memiliki lima konsekuensi. Pertama, kita harus belajar untuk takwah kepada Tuhan Yang Mahaesa. Takwah kepada Tuhan berbeda dengan takwah kepada agama. Agama bukan Tuhan. Agama hanya menawarkan cara untuk bertakwah kepada Tuhan. Setiap agama memiliki caranya masing-masing untuk bertakwah kepada Tuhan dan tidak ada standar yang pasti untuk menentukan cara mana yang paling baik dan benar. Semua cara itu dapat kita pilih sesuai dengan keyakinan kita masing-masing.
Dengan demikian, arogansi agama tertentu yang menganggap caranya paling baik dan benar untuk bertakwah kepada Tuhan pada dasarnya tidak berterima di negri Pancasila ini. Pancasila pada dasarnya mengayomi semua cara untuk bertakwah pada Tuhan, termasuk dengan cara-cara tradisional.
Kedua, kita harus belajar untuk menjujung tinggi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Semua manusia diciptakan setara oleh Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada manusia yang derajatnya lebih tinggi dari manusia lain. Dengan demikian, segala bentuk perendahan terhadap martabat manusia , seperti perbudakkan dan penjajahan tidak berterima di negri Pancasila ini.
Ketiga, kita harus belajar untuk menjujung tinggi rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian semua gerakan separatis untuk memisahkan diri dari NKRI tidak berterima. Selain gerakan separatis, semua bentuk radikalisme, priomordialisme dan etnosentrime yang berlebihan dan bertendensi untuk mengeksklusifkan diri serta menentang, membenci dan bahkan ingin melenyapkan orang-orang dari agama, suku dan etnis lain juga tidak berterima di negri Pancasila. Semua hal tersebut justru bertentangan dengan Pancasila.
Keempat, kita harus belajar untuk menjujung tinggi musyawarah untuk mufakat. Segala keputusan dan kebijakan penting menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara mesti diselesaikan secara bersama berdasarkan hasil musyawarah. Dengan demikian, segala bentuk otoritarianisme juga tidak berterima di negri Pancasila ini. Model yang cukup berterima adalah model demokrasi. Namun model demokrasi juga memiliki bahaya, yaitu hegemoni mayoritas. Oleh karena itu, di Indonesia, kita menerapkan demokrasi Pancasila, yaitu demokrasi yang dijalankan dalam spirit ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial.
Kelima, kita harus belajar untuk menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adil berbeda dengan keadilan. Adil berarti memberi atau memperlakukan sama rata. Sedangkan keadilan berarti memberi atau memperlakukan sesuai dengan situasi dan kondisi. Contohnya ada 9 buah pisang yang hendak diberikan kepada tiga keluarga. Keluaga yang pertama anggotanya 2 orang, keluarga yang kedua anggotanya 3 orang dan keluarga yang ketiga anggotanya 4 orang. Kalau mau adil maka 9 buah pisang tersebut dibagi sama rata, yaitu tiga-tiga buah perkeluarga. Dengan demikian keluarga yang pertama akan kelebihan 1 buah pisang sementara keluarga yang ketiga akan kekurangan 1 buah pisang. Untuk menegakkan keadilan maka seharusnya keluarga yang pertama diberikan 2 buah pisang, keluarga yang kedua diberikan 3 buah pisang dan keluarga yang ketiga diberikan 4 buah pisang. Dengan demikian tidak akan ada keluarga yang kekurangan atau kelebihan buah pisang. Demikian pula sebenarnya dengan konteks pembangunan di Indonesia. Pembangunan tidak asal sama rata, tetapi memperhatikan kebutuhan situasi dan kondisi setiap wilayah di NKRI tercinta ini.
Penghayatan di Tengah pandemi
Situasi pandemi virus korona ini menuntut kita untuk lebih berdisiplin lagi. Saat ini belum ada obat atau faksin untuk virus korona. Obat dan faksin utama hanyalah sikap disiplin untuk mengikuti protokoler kesehatan. Pertanyaannya: bagaimana disiplin Pancasila dihayati di tengah situasi pandemi ini? Menurut saya ada lima hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, kita tetap bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa seturut agama dan keyakinan kita masing-masing. Namun di tengah situasi ini, bentuk penghayatan ketakwaan yang mesti lebih ditonjolkan adalah penghayatan secara personal, bukan secara massal. Penghayatan secara massal berisiko menularkan virus korona dan mengancam kehidupan.
Jika penghyatan secara massal nanti mulai pelan-pelan diterapkan maka protokol kesehatan pun, seperti menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker harus betul-betul dipatuhi dan diterapkan secara ketat.
Kedua, di tengah situasi pandemi ini kita tidak boleh mengabaikan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab bagi para penderita covid 19 maupun orang-orang yang dianggap berpotensi menderita dan menularkan covid 19. Mereka tetaplah saudara-saudari kita yang mesti kita dukung dan kita hormati. Mereka bukan pendosa berat yang mesti dibuang dan bahkan dimusnahkan. Di tengah situasi ini, kita juga sangat membuthkan rasa solidaritas kemanusiaan yang tinggi supaya kita saling membantu satu sama lain.
Ketiga, rasa persatuan nasional sangat dibutuhkan saat ini untuk memerangi wabah virus korona ini. Tanpa persatuan nasional, kita akan kalah dengan virus korona dan akibatnya akan ada banyak orang yang menderita. Saat ini tidak ada lagi orang Ambon atau orang Jawa, etnis Cina atau etnis Flores. Semua kita mesti bersatu dan saling mendukung.
Keempat, saat ini pemerintah mesti betul-betul menjujung tinggi musyawarah untuk mufakat dalam mengambil kebijakan strategis nasional maupun lokal guna mengatasi wabah virus korona. Keegoisan pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan dapat berakibat fatal bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, Pemerintah mesti betul-betul adil dalam menerapkan kebijakan nasional, termasuk adil dalam menyalurkan bantuan supaya jangan sampai salah sasaran atau lebih parahnya lagi jangan sampai ada wilayah terpencil yang tidak dibantu sama sekali.***