Borong, Vox NTT- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur memberi rapor merah terhadap kinerja pemerintahan di provinsi itu.
Rapor merah disematkan terutama terkait kinerja pemerintah NTT dalam pengelolaan dan perlindungan hidup.
Penilaian itu merupakan kesimpulan akhir dari diskusi online pada Jumat, 05 Juni 2020, pukul 19.00 Wita.
Diskusi online tersebut dilakukan WALHI NTT sebagai bentuk peringatan hari lingkungan hidup yang jatuh setiap tanggal 5 Juni.
Diskusi mengangkat tema “Penilaian Publik Terhadap Kinerja Pemerintahan di NTT Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup”.
Panelis yang dihadirkan antara lain Dr. Umbu Rauta SH,MH dari Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW Salatiga, Etji Doek dari Perkumpulan PIKUL, Ferdinan Umbu Tay Hambadima dari GMKI Kupang, Sony Roka Hawolung perwakilan Nelayan dari Kabupaten Sumba Barat serta Oscar D. Pellokila dan Linawati Lase, dua warga terdampak tambang di Kabupaten Kupang.
Adapun beberapa hal terkait kinerja pemerintah NTT dalam pengelolaan dan perlindungan hidup yang dicatat dari seri pertama diskusi peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia itu:
Pertama, ketersediaan pendidikan hukum lingkungan dari pemerintah kepada masyarakat sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali
Dari survei online dan wawancara melalui telepon yang dilakukan WALHI NTT dari tanggal 01 Juni – 04 Juni 2020, kepada 176 responden yang berasal dari 22 kabupaten/kota di Provinsi NTT terkait apakah pemerintah pernah melakukan pendidikan hukum lingkungan, 94,7 persen menjawab tidak.
Hasil survei dan wawancara ini terkonfirmasi oleh kesaksian Sony Roka Hawolung yang dikriminalisasi karena aksesnya terhadap wilayah kelolanya.
Senada dengan Sony, Oscar D. Pellokila dan Linawati Lase mengatakan, petani di Kabupaten Kupang yang terdampak pertambangan selama 30 tahun juga merasa dibodoh-bodohi.
Itu karena para petani tidak tahu jalur hukum apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan tanah mereka dari aktivitas ekstraktif tersebut.
Dari perwakilan mahasiswa, Ferdinand Umbu Tay Hambadima menyatakan bahwa pemerintah tidak pernah memberikan pendidikan hukum lingkungan kepada mahasiswa.
Hal ini juga terbukti dari hasil survei bahwa mahasiswa adalah responden terbanyak yang menyatakan tidak pernah mendapatkan pendidikan hukum lingkungan (24.06 persen dari 94,7 persen).
Sebagai pakar hukum yang turut hadir, Dr. Umbu Rauta SH,MH menyampaikan bahwa pendidikan hukum lingkungan oleh pemerintah kepada masyarakat sangatlah penting. Sebab hal tersebut merupakan tanggung jawab Negara kepada masyarakatnya.
Umbu juga menyatakan kalau ada masyarakat yang kesulitan dengan bantuan hukum, Negara tidak bisa hanya menjadi penonton. Negara tidak boleh menutup daya upaya masyarakat untuk menempuh jalur hukum atas permasalahan yang merugikan masyarakat itu sendiri.
Kedua, kebijakan pembangunan yang ada di NTT tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Oscar D. Pellokila menyampaikan bahwa izin pertambangan yang diberikan pemerintah kepada perusahan tambang di wilayahnya mengakibatkan akses warga terhadap air tanah semakin susah.
Sebelum ada aktivitas pertambangan untuk mendapatkan air tanah, sumur hanya digali kurang dari 10 meter.
Sementara setelah adanya aktivitas tersebut, air akan ditemukan pada kedalaman lebih dari 10 meter.
Relawan Pikul, Etji Doek yang mengadvokasi ketahanan pangan laut warga di pesisir Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Flores Timur, menuturkan bahwa sejak ada Perda Nomor 11 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Kupang, akses nelayan terhadap laut semakin dipersulit.
Hal itu menyusul adanya pembangunan hotel dan restoran di sepanjang pesisir Kota Kupang yang nota bene menyalahi amanat UU Nomor 1 Tahun 2014.
Di situ diatur tidak boleh ada bangunan di ruang sempadan pantai yaitu minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Dampak lingkungan yang timbul akibat pembangunan tersebut adalah laut semakin kotor karena pembuangan limbah yang langsung ke laut, serta sedimentasi pantai yang merusak ekosistem mangrove.
99 orang (56,3%) dari responden yang mengisi survei dan diwawancara oleh WALHI NTT juga menyatakan hal serupa.
Bahwa, kebijakan pembangunan yang ada di daerah mereka tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Dari proses survei dan wawancara yang sama, WALHI NTT menyampaikan bahwa rata-rata responden kecewa dan tidak senang dengan pengingkaran terhadap kebijakan moratorium tambang oleh Pemerintah Provinsi dalam hal ini gubernur NTT.
Mereka menilai Viktor tidak konsisten dengan komitmen moratorium tambang pasca terpilih sebagai Gubernur NTT.
Dari catatan-catatan diskusi tersebut, semua panelis sepakat bahwa kinerja pemerintah NTT dalam upaya pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup, serta perlindungan terhadap warga-warga kecil dan wilayah kelolanya sangat buruk, sehingga pantas mendapatkan rapor merah.
Rekomendasi
Di samping sepakat memberikan rapor merah sebagai hasil evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah dalam perlindungan lingkungan dan masyarakat, forum online tersebut juga menghasilkan beberapa rekomendasi:
Pertama, pemerintah harus menyediakan pendidikan lingkungan dan hukum lingkungan kepada masyarakat
Kedua, pemerintah harus mengutamakan keberlanjutan lingkungan dan masyarakat dalam setiap kebijakan pembangunan.
Ketiga, dihimpun dari hasil survei dan wawancara yang dilakukan WALHI NTT, 31,8 persen responden menyatakan bahwa pemerintah harus menjadikan ketahanan air dan pangan, konservasi dan pendidikan lingkungan sebagai prioritas pembangunan dalam jangka waktu 5 tahun ke depan.
Keempat, pemerintah harus mengembangkan model pariwisata berbasis kerakyatan yang terbuka dan berkelanjutan bukan model pariwisata berbasis investor padat modal yang mengutamakan privatisasi lahan/kawasan.
Sumber: Rilis WALHI NTT/ Sandy Hayon