Oleh: Febry Suryanto
Tinggal di Wisma St. Mikhael Ledalero
Rencana Pemprov NTT dan Pemda Manggarai Timur meloloskan investasi pertambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Kampung Lengko Lolok hingga kini masih menuai perdebatan.
Ironisnya, di tengah kian memanasnya adu argumen kubu pro dan kontra, investor (pelaku usaha) justru mendapat angin segar. Segala administrasi yang diperlukan untuk melancarkan aktivitas pertambangan terus diselesaikan.
Frans Braman menyebut, segala dokumen penting hampir pasti telah dikantongi. Hal ini terbukti sejak terbitnya izin prinsip yakni Izin Eksplorasi Pertambangan Tambang Batu Gamping oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintah Provinsi NTT, Jusuf A. Adoe.
Dari semua administrasi, kemungkinan hanya Izin Lingkungan Hidup yang belum dimiliki oleh para pelaku usaha/investor (Frans Braman dalam Thecolumnist.com 02/06/2020).
Lebih lanjut, Braman menyatakan bahwa penuntasan administrasi ini diperkuat oleh pernyataan Donatur Datur, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLDH) Manggarai Timur kepada media VoxNtt.com (14/05) bahwa pihak investor wajib menyusun AMDAL yang pada saatnya akan diserahkan ke DLDH Manggarai Timur untuk dinilai.
Penyusunan AMDAL tersebut dilatarbelakangi oleh kuantitas pabrik semen di Lengko Lolok-Luwuk yang tergolong berskala besar itu.
Selain itu, dokumen Persetujuan Masyarakat Terdampak sebagiannya sudah dieksekusi, tinggal menunggu ILH yang kemungkinan besar akan diterbitkan pada waktunya.
Salah satu pengharapan dibatalkannya kegiatan pertambangan adalah jika hasil penilaian Komisi Penilai AMDAL (KPA) DLHD Manggarai Timur terhadap dokumen AMDAL yang diajukan investor menyatakan rencana usaha pabrik semen itu tidak sesuai standar lingkungan hidup.
Di balik perjuangan serta keberhasilan para investor dapat sampai pada titik ini tidak terlepas dari dukungan dan intervensi para pemangku kepentingan. Mereka diduga kuat berkonspirasi dalam usaha memuluskan usaha para investor. Indikasi konspirasi ini tidak lain bertujuan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, baik bagi investor maupun bagi para pemangku kepentingan itu sendiri.
Jeritan dan tangisan masyarakat yang berusaha menolak kehadiran tambang diabaikan oleh pemerintah. Kalaupun ada masyarakat yang menyetujui kehadiran tambang, itu tidak terlepas dari genjotan pemangku kepentingan dengan modus modal yang menggiurkan.
Kekuasaan yang Salah Kaprah
Pada awal rencana pertambangan bergulir, banyak pihak yang menolak keras agar kegiatan pertambangan tidak dijalankan. Substansi dari penolakan itu tak lain adalah perihal keberadaan tanah sebagai ibu, sumber hidup bagi masyarakat.
Tidak sedikit orang menolak menyerahkan tanah kepada investor yang hendak menambang semen atau batu gamping meski ikhtiar investor PT Istiando itu didukung sepenuhnya oleh Pemkab Manggarai Timur.
Perhatian publik menunjukkan bahwa persoalan tambang merupakan persoalan yang tidak muncul begitu saja. Di baliknya ada pemahaman dasar tentang kekuasaan yang perlu disikapi dengan cermat.
Terhadap persoalan ini publik bertanya-tanya mengenai konsep kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin baik provinsi maupun kabupaten. Apakah mereka mengedepankan sistem demokrasi atau justru mengabaikan konsep tersebut sehingga hak-hak masyarakat setempat diabaikan.
Demokrasi tidak bisa dikatakan ada kalau hanya ditekankan masalah proseduralnya (dari dan oleh), tanpa memperhatikan substansinya (untuk). Demikian pula, demokrasi belum terwujud, jika penyelenggaraan kekuasaan itu dikatakan untuk rakyat, tetapi sama sekali mengabaikan rakyat dalam proses pengambilan keputusannya (dari dan oleh). Jika yang terjadi adalah demikian, maka kita sedang berhadapan dengan penguasa yang korup dan arogan (Budi Kleden, 2009: 84).
Apabila dicermati dari substansi persoalan, penulis menemukan empat kelemahan substansial penguasa serta perannya yang masih dominan dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Pertama, peran pemerintah baik provinsi maupun kabupaten yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam.
Kedua, pengakuan akan hak-hak masyarakat setempat (Lengko Lolok) terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam masih sangat lemah.
Ketiga, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas.
Keempat, transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
“Perselingkuhan” Kepentingan
Perubahan paradigma serta dominasi kekuasaan ini tidak lain disebabkan oleh “perselingkuhan” kepentingan antara para pemangku kepentingan. Seluruh penyelenggaraan pemerintah dipengaruhi langsung oleh para kapitalis. Dan dalam kerangka kapitalisme, segala rencana diciptakan oleh sifat negatif akal manusia yang mengatur dan mengarahkan watak kemanusiaan sehingga turun pada derajat kebiadapan yang paling rendah.
Karena itulah, kapitalisme sering disebut paham hewani yang disusun oleh rasio manusia, karena ia identik dengan watak rakus dan tamak yang nampak dalam tujuan-tujuan dan sarana-sarananya serta adanya monopoli segolongan kecil manusia (Samekto, 2008: 92).
Sampai pada titik ini kita memandang kapitalisme sebagai derajat tertinggi yang dicapai rasionalitas hewan dalam diri manusia. Di dalamnya pun ilai-nilai parsial yang dipegang sekelompok masyarakat dapat hilang karena nilai-nilai ketamakan, kecerdikan, dan kekuatan para pemangku kepentingan. Hal itu sejalan dengan semangat kaum kapitalis yakni demi meraih keuntungan besar dengan berbagai cara.
Kapitalisme, sebagaimana disebut di atas, mampu menindas keberadaan masyarakat yang merupakan akibat dari corak pembangunan kapitalistik yang kemudian dilegitimasi oleh pemerintah.
Karena bercorak kapitalistik, logika yang pastinya dibangun adalah akumulasi kapital sebesar-besarnya dan juga hak kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi (Samekto, 2008: 18). Hal tersebut kemudian membuat tanah, hutan dan beserta sumber daya alam lainnya itu diprivatisasi dan dieksploitasi untuk pertumbuhan kapital.
Kala suatu daerah berdiri di atas modus produksi yang kapitalistik peluang menjalankan pembangunan yang berkelanjutan dan mementingkan perkembangan dari potensi rakyat amat kecil bahkan tidak ada sama sekali. Pembangunan justru berjalan dengan mengeksploitasi seluruh sumber daya yang ada menjadi komoditas.
Di sisi lain rakyat pekerja juga tetap merugi karena ikut dieksploitasi. Kesimpulannya jelas bahwa akhirnya eksploitasi atas alam tersebut tidak akan hilang dan menjadi hal biasa toh manusia juga tereksploitasi dengan mudah.
Benang merah terlaksananya kegiatan pertambangan di Lengko Lolok-Luwuk Manggarai Timur membuktikan bahwa aparat birokrasi khususnya pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten sangat tidak peduli pada jeritan nurani dan ratapan penderitaan rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada mereka.
Pemprov dan Pemkab seolah menahbiskan diri sebagai penyambung lidah investor yang berikthiar untuk menghancur-leburkan harapan dan masa depan masyarakat Manggarai Timur.
Para kapitalis (investor) melanggengkan “perselingkuhan” dengan para pemangku kepentingan dengan menawarkan modal besar. Kala hati dan pikiran para pemangku kepentingan telah dipengaruhi oleh spirit kapitalis maka setiap keputusan dapat dilegitimasi dalam jangka waktu yang singkat, tanpa mempedulikan dampak negatifnya, terutama bagi kehidupan masyarakat.
Kira-kira seperti inilah situasi yang tengah terjadi dalam tubuh birokrasi pemerintah kabupaten Manggarai Timur. Para penguasa sedang berselingkuh kepentingan dengan para pemilik modal.
Tetap Menolak
Mencermati persoalan tambang di Lengko Lolok-Luwuk, Manggarai Timur, tampaknya menjadi tugas penting dari semua elemen masyarakat untuk menolaknya. Perjuangan dan penolakan masyarakat menunjukkan kesadaran penuh masyarakat akan perannya sebagai subyek utama penyelenggaraan kekuasaan.
Berangkat dari kesadaran tersebut, maka penulis mengajak semua elemen masyarakat untuk bersama-sama memperjuangkan penumbangan kapitalisme.
Diperlukan penyebarluasan kesadaran bahwa kehadiran kapitalis dapat menyebabkan kerusakan lingkungan bahkan bisa membawa kematian bagi manusia. Rakyat perlu memahami bahwa kerakusan penguasa dan pemilik modal menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan.
Di mata para pemangku kepentingan dan para pemilik modal, masyarakat mungkin terlihat lemah dan bodoh tetapi sejatinya mereka adalah pejuang demokrasi yang sedang menggalang kekuatan untuk melawan dominasi kekuasaan. Mereka tidak ingin dilecehkan, walaupun hak-hak mereka tidak dihargai serta tangisan dan jeritan penderitaan mereka yang tidak didengarkan.
Segala perjuangan mereka hingga saat ini menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang demokratis, kendati hak-hak mereka seringkali tidak dihargai. Perjuangan keras masyarakat, kiranya menyadarkan pemerintah akan tugasnya untuk melindungi hak seluruh warga negara. Substansi demokrasi Indonesia terletak pada peran penyelenggaraan kekuasaan melindungi hak warganya.
Penolakan terhadap rencana pertambangan sejatinya memiliki relasi yang erat dengan pandangan tentang keberadaan tanah. Tanah bagi masyarakat adalah nafas hidup. Tanah adalah ibu yang memberi kehidupan kepada mereka. Apalagi masyarakat Manggarai Timur pada umumnya bekerja sebagai petani.
Oleh karena itu, tanah merupakan sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kehidupan mereka. Muncul ketakutan dalam diri masyarakat jika tanah mereka digerus atas nama pembangunan, padahal di balik itu ada sebagian elit berkonspirasi demi meraup keuntungan yang besar. Masyarakat tidak ingin kehilangan tanah.
Akhirnya, penulis mengajak kita semua untuk tetap bersuara dan berusaha di tengah dominasi kekuasaan para penguasa dan para investor (kapitalis). Suara-suara minor yang terus digaungkan kiranya menyadarkan pemerintah untuk memikirkan dan meninjau kembali segala keputusan yang diambil dalam upaya meloloskan rencana pertambangan tersebut demi keseimbangan ekosistem yang turut berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat.