Borong, Vox NTT- Tatkalah mulut tak mampu bercuap, hanya air mata yang mampu mengatakannya.
Itulah yang tergambar dari Pudensiana Nas (50) dan Damianus Gandut (62) saat dikunjungi VoxNtt.com, Minggu (7/6/2020) siang.
Pasutri ini tinggal di kampung Ntreng, Desa Compang Teber, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Mangggarai Timur (Matim) Flores-NTT.
Desa itu tampak ramai. Warganya sebagian besar bekerja sebagai petani sawah. Suhu udara di sana sejuk dan dingin.
Compang Teber cukup dikenal dengan budidaya ikan air tawar. Namun, butuh nyali untuk sampai ke desa ini. Banyak jalan berlubang. Aspal terkelupas tak terurus.
Saat bertemu, Pudensiana nyaris menteskan air mata. Ia tak kuat menceritakan penderitaan yang dialami puteranya, Stefanus Yono.
“Lebih baik Tuhan ambil dia (Stefanus) duluan daripada saya,” ucapnya dengan nada pelan sembari meneteskan air mata.
Pudensiana cukup beralasan. Ketika sang Khalik lebih memilih dirinya yang meninggalkan bumi yang fana ini, tidak ada lagi yang bisa diandalkan untuk merawat puteranya itu.
“Saya rawat dia. Kasih makan dan minum dia. Membersihkan semua tempat tidurnya. Makanya Tuhan kalau mau ambil, ambil dia duluan jangan saya,” katanya.
Stefanus sudah sudah berusia 32 tahun. Ia dipasung selama 9 tahun di gubuk kecil samping rumahnya. Ia hidup tak berdaya. Makan, minum, dan berceloteh ia habiskan di gubuk itu.
Tempat tidurnya hanya beralaskan papan. Tubuhnya hanya dibaluti sehelai kain kusam dan kotor. Bau tak sedap pun begitu terasa. Lengkaplah sudah penderitaannya.
Walau kondisi sang buah hati seperti itu, sang ibu tak pernah putus asa. Ketulusan dan ketabahan yang menguatkannya. Stefanus buah hatinya. Dara dagingnya. Terembrio dari rahimnya.
“Ceing kole ge pa ata rawat hia. Ana koe cee mbaru ngo mbeot agu sekolah (siapa lagi pa yang rawat dia. Anak-anak di rumah ada yang pergi merantau dan sekolah)” imbuhnya.
Damianus Gandut ayah Stefanus mengisakan konon puteranya itu mengenyam pendidikan di SMAK Pancasila Borong.
Namun gelagat Stefanus mulai tampak ketika kelas XI SMA.
“Waktu itu dia malu mau pulang kampung. Uang sekolahnya kami sudah bayar. Tapi dia tidak pernah pergi ke sekolah,” ucapnya.
Lantas tak ada kabar Damianus dan keluarga pun datang menjemput puteranya di Borong kembali ke kampung.
Setibanya di Ntereng, Stefanus masih sanggup untuk bekerja. Namun, ia selalu murung. Sesekali mengurung diri di dalam kamar. “Kadang dia tak sadar,” kata sang ayah.
Beberapa bulan kemudian, Stefanus kian aneh. Ia tertawa tanpa alasan, berbicara tak beraturan. Bahkan marah-marah dengan keluarga dan warga kampung.
“Kami bingung mau bawah ke rumah sakit tidak ada uang. Terpaksa kami memutuskan untuk pasung dia,” tukasnya.
Selama dalam pasungan Stefanus beberapa kali mendapat obat dari petugas pustu di desa itu. Namun, saat ini sudah tidak ada lagi. Beberapa petugas hanya datang mengambil dokumentasi, lalu pergi tanpa kabar.
Pemerintah daerah Manggarai Timur (Matim) pun tidak pernah mengunjunginya. Entah apa alasannya.
Mungkin, Pemda melihat ODGJ belum menjadi prioritas. Padahal dari penulusuran VoxNtt.com penderita ODGJ di Matim mencapai 50 orang. Itu pun hanya di beberapa desa.
Pudensiana dan Damianus memang sangat membutuhkan sentuhan pemerintah, namun mereka tetap berjuang untuk kesembuhan Stefanus.
“Eme manga ata bantu terima kasih. Eme toe lelo le ema pemerintah co”o mole ge pa (kalau ada orang yang bantu terima kasih. Kalau tidak diperhatikan oleh pemerintah mau bagaimana lagi pak),” ucap Pudensiana.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Irvan K