Oleh: Fens Alwino
Dosen Filsafat Pancasila di UNIKA Atma Jaya – Jakarta, Dosen Character Building Pancasila di Binus University – Jakarta
Introduksi
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memantik perdebatan pro dan kontra. Partai-partai pendukung pemerintah yang dimotori PDI Perjuangan ngotot meloloskan RUU HIP. Dalil yang dibangun adalah bahwa Indonesia sedang mengalami disorientasi ideologis tersebab oleh determinasi ideologi transnasional dan liberalisme. Oleh karena itu diperlukan sebuah payung hukum untuk mengokohkan ideologi Pancasila dan melindunginya dari serbuan ideologi lain.
Sedangkan partai-partai di luar pemerintahan seperti Demokrat dan PKS menolak RUU HIP, lantaran keberadaan RUU HIP akan mereduksi kedudukan Pancasila. Alih-alih keberadaan RUU HIP akan menguatkan Pancasila dengan memberinya landasan hukum berupa UU, yang terjadi justru penghancuran ideologi Pancasila itu sendiri. Pancasila yang menjadi sumber segala sumber hukum direlokasi ke level UU. Penggeseran demikian berbarengan penciutan Pancasila dari lima sila ke tiga sila dan bahkan ke satu sila. Pengerdilan Pancasila seperti ini jelas merusak asas kepastian hukum dan menciptakan anarki ketatanegaraan. Pengerdilan Pancasila berbarengan dengan penghidupan kembali sebuah ideologi yang dilarang secara hukum tumbuh di Indonesia. Itulah sebabnya ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah sangat resah dengan keberadaan RUU HIP ini. Berikut analisis penulis mengenai RUU HIP:
Analisis Bagian Konsiderans
Bagian konsiderans (Menimbang) setiap UU berisikan uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan UU tersebut. Bagian ini berisikan landasan sosiologis, filosofis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan dibentuknya UU itu.
Pada bagian pertimbangan yuridis RUU HIP disebutkan bahwa pada saat ini belum ada UU yang menjadi landasan hukum untuk mengatur Haluan Ideologi Pancasila yang menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. RUU HIP merupakan jawaban atas ketiadaan itu. RUU HIP mengisi kekosongan hukum dan ditengarai bisa menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Anggapan ketiadaan landasan hukum untuk mengatur ideologi Pancasila itu invalid. Secara hukum, kedudukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara diatur dalam empat Ketetapan MPR.
Pertama, Tap MPRS No XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan RI.
Pada bagian Menimbang point (b) disebutkan mengenai Pancasila sumber tertib atau tata hukum RI. Kedua, Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Ketetapan tersebut menegaskan Pancasila adalah dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Ketiga, Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pada bagian Menimbang point (a) ditegaskan mengenai Posisi dan Peran Pancasila dalam Kehidupan bernegara.
Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Keempat, Ketetapan MPR No III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional.
Muncul permasalahan ketika pada tahun 2003 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No 1/MPR/2003 yang mengelompokkan Ketetapan MPRS dan MPR dari tahun 1960 sampai tahun 2002, masuk dalam kategori Ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Pertanyaannya, apakah dengan Ketetapan MPR No 1/ MPR/2003, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara kehilangan dasar hukumnya? Tentu saja tidak!
Dalam buku “Pancasila sebagai Dasar Negara dan Idologi Bangsa” terbitan Badan pengkajian MPR RI tahun 2017, Prof. Dr. Hadin Muhjad menjelaskan tentang kedudukan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara. Dalam buku tersebut, Hadin Muhjad menegaskan bahwa Pancasila merupakan pokok kaidah fundamental negara yang mempunyai kedudukan tetap, kuat, dan tak berubah dalam negara Indonesia. Hadin Muhjad mengutip teori Hierarki Norma Hukum Hans Kelsen.
Dalam teori Hierarki Norma Hukum, Hans Kelsen menjelaskan tentang norma-norma hukum yang tata urutannya berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam tata susunannya, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis, yaitu Norma Dasar (Grundnorm) (Prof. Dr. Hadin Muhjad: 2017).
Hans Kelsen dan Hans Nawiansky (muridnya) menjelaskan Grundnorm itu bersifat metafisis, abstrak, asumtif, tidak tertulis, tidak ditetapkan, namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif. Dalam perspektif teori Hierarki Norma Hukum, Pancasila merupakan Grundnorm atau norma fundamental negara. Norma tertinggi ini ditetapkan sebagai Dasar Negara melalui kesepakatan bersama (kontrak sosial) pada sidang BPUPKI yang berlangsung dari 29 Mei sampai 18 Agustus 1945.
Secara hukum, penegasan Pancasila sebagai Grundnorm tertuang dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 disebutkan tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Susunannya adalah sebagai berikut: UUD 1945, Ketetapan MPR, UU dan Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota.
Pancasila tidak masuk dalam hirarki karena dia merupakan spirit yang harus menjiwai setiap peraturan perundang-undangan. Pancasila merupakan prinsip dasar yang harus terungkap dalam setiap norma hukum. Hans Nawiasky mengelompokkan norma hukum atas empat bagian, yakni (1) Norma fundamental negara, (2) Aturan dasar, (3) Undang-Undang, (4) Aturan pelaksana.
Norma Fundamental ini, jelas Hans Nawiasky, berisikan norma yang menjadi dasar bagi pembentukan konstitusi atau UUD suatu negara. Norma yang di bawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma tertinggi yang disebut sebagai Norma Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm). Dalam perspektif ini, Pancasila merupakan Norma Fundamental Negara yang memiliki fungsi konstitutif dan regulatif.
RUU HIP merelokasi posisi Pancasila dari Grundnorm ke level UU. Penggeseran Pancasila sehingga menjadi sederajad dengan UU (RUU HIP), tidak hanya melemahkan posisi Pancasila tapi juga mengacaukan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Tanpa RUU HIP, Pancasila merupakan Grundnorm dan norma tertinggi di Indonesia. Dengan RUU HIP, kedudukan Pancasila direduksi ke level UU. Itu berarti Pancasila kehilangan statusnya sebagai sumber dari segala sumber hukum dan bahkan sebagai dasar negara.
Sukarno sendiri menegaskan bahwa apabila Pancasila sebagai dasar negara dicabut, bangunan Indonesia yang dibangun di atasnya pasti roboh! Dalam buku “Berebut Jiwa Bangsa” (2006), Franz Magnis-Suseno menulis begini “cabutlah Pancasila, maka dasar kesepakatan ratusan etnik dan suku di Nusantara untuk membentuk Indonesia juga tercabut”. Pancasila, jelas Magnis-Suseno merupakan jaminan atas kemungkinan balkanisasi Indonesia.
Analisis Bagian Dasar Hukum
Bagian dasar hukum atau “Mengingat” dalam perumusan setiap UU merupakan landasan yuridis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Bagian dasar hukum ini memuat tentang dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, serta dasar peraturan perundang-udnangan yang memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum itu merupakan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Mari kita lihat dasar hukum dalam RUU HIP. RUU HIP memuat tujuh (7) Ketetapan MPR yang dijadikan sebagai dasar hukum. Dari tujuh Ketetapan tersebut, ada empat Ketetapan yang tidak terkait langsung (hanya dikait-kaitkan saja) dengan ideologi Pancasila. Misalnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tidak ada relevansi langsung antara Ketetapan-Ketetapan tersebut dengan ideologi negara.
Sementara itu, Ketetapan MPR yang jelas-jelas menjaga ideologi Pancasila malah tidak dimasukkan. RUU HIP seharusnya memasukkan TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Larangan ajaran Komunisme/Marxisme, sebagai dasar hukum. Selain itu UU No 16 tahun 2017 (Pasal 59 ayat 4) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang jelas-jelas memuat larangan bagi ormas untuk menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan pancasila seperti atheisme, komunisme, Marxisme dan Leninisme, seharusnya juga menjadi rujukan.
Pertanyaannya mengapa DPR mencantumkan dasar-dasar yang tidak relevan serta mengabaikan dasar-dasar yang relevan dengan penyelamatan Pancasila sebagai ideologi negara? Dalam Logika, pencantuman dasar minimalis seperti ini disebut sebagai kesesatan presumsi. Kesesatan presumsi sengaja dibuat untuk menghindari persoalan yang dihadapi dengan menggunakan teknik mencantumkan apa yang tidak harus dicantumkan, tidak mencantumkan apa yang seharusnya dicantumkan, dan membuktikan sesuatu yang tidak termasuk dalam persoalan.
Analisis Isi: Pancasila Diperas-Peras
Pasal 6 ayat (1) RUU HIP menyatakan bahwa ciri pokok Pancasila disebut trisila, yaitu: (a) ketuhanan; (b) nasionalisme; dan (c) kerakyatan/demokrasi. Dilanjutkan dengan ayat (2) “Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong”.
Ciri pokok Pancasila dengan konsep trisila dan ekasila sebagaimana termuat dalam Pasal 6 ayat (1 dan 2) RUU HIP persis yang disampaikan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945. Berikut petikan Pidato Sukarno: “atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilangan 5 itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ‘perasaan’ yang 3 itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economiche democratie, yaitu politeke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid: inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain” (dikutip dari Yudi Latif, Negara paripurna: 2011).
Pancasila yang asalnya lima, diperas menjadi tiga : socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-Royong” (dikutip dari Yudi Latif, Negara paripurna: 2011).
Dalam buku tulisan Ir Sukarno, berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” (Jilid II, terbit tahun 2019, halaman 595), disebutkan bahwa prinsip Gotong-Royong tidak akan terlaksana tanpa berporoskan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Sukarno menegaskan bahwa yang anti Nasakom adalah anti UUD 1945.
Sukarno juga menafsirkan Pancasila sebagai bagian integral dari manifesto politik dan USDEK (UUD’45, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sukarno menulis begini “Manifesto Politik, USDEK, dan Pancasila adalah terjalin satu sama lain, _Manifesto Politik, USDEK, dan Pancasila tak dapat dipisahkan satu sama lain” (Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 2019, halaman 440).
Bagi Sukarno, Manipol dan USDEK hanya bisa dijalankan dengan sistem demokrasi terpimpin, pembubaran DPR, dan penyederhanaan partai-partai politik. Manifesto politik dan USDEK, jelas Sukarno, adalah Progresif kiri (komunisme) (Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 2019, halaman 442-450).
Di Indonesia, Komunisme pernah menjadi satu aliran politik yang sangat berpengaruh. Komunisme menjadi kendaraan politik Sukarno untuk mengendalikan negara. Dampaknya sangat tragis, yakni peristiwa berdarah pada 30 September 1965. Komunisme kemudian dibubarkan melalui TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 karena dianggap merong-rong Pancasila.
Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dan kini berusia 74 tahun, Pancasila dengan lima sila merupakan dasar negara. Lima sila itu sudah diterima secara final sebagai hasil konsensus pada 18 Agustus 1945. Upaya mengakomodir kembali konsep Sukarno demi alasan historis, hanya melahirkan monopoli tafsir oleh golongan tertentu atas Pancasila. Cara provokatif seperti ini akan meruncing kembali perdebatan ideologis antara kelompok Kebangsaan dengan kelompok Islam.
Ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah tegas-tegas menolak RUU HIP. Mereka menolak pereduksian Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Tuntutan Muhammadiyah sangat tegas, jika Trisila dan Ekasila dimasukkan dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis, maka 7 kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama (http://m.muhammadiyah.or.id).
Pemerasan Pancasila dari lima sila menjadi trisila atau ekasila, jelas merusak kedudukan Pancasila, baik sebagai philosophische grondslag (falsafah dasar) maupun staatsfundamentalnorm (hukum dasar) yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945 (Lihat pernyataan resminya NU dlam https://www.nu.or.id ).
Penolakan semakin kuat ketika sila tertentu diistimewakan, sedangkan sila-sila lainnya dianggap derivasi. Lihat pasal 5 RUU HIP yang menyatakan bahwa “keadilan sosial” merupakan prinsip pokok. Penyebutan ‘keadilan sosial’ sebagai prinsip pokok, menegasikan empat prinsip lainnya. Sila V diistimewakan, sedangkan Sila-Sila lainnya dipandang derivasi.
Cara pandang seperti ini akan mengeliminasi Pancasila sebagai satu kesatuan yang integral. Orang akan lebih respek pada Sila yang dianggap sebagai Prinsip Pokok. Sukarno sendiri menegaskan bahwa urut-urutan dalam lima sila Pancasila, bukan didasarkan pada urutan prioritas, melainkan urutan sequential. Artinya tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap sila-sila tertentu dalam Pancasila. Kelimanya harus dipandang setara sebagai satu sistem yang terkait-ikat.
Penutup
Di tengah krisis kesehatan dan ekonomi akibat Pandemic Covid 19, Pemerintah sebaiknya fokus menangani krisis. Pembahasan RUU HIP sebaiknya tidak dilanjutkan karena hanya menyiram bensin ke dalam bara api historis.