Oleh: Yonatan Hans Luter Lopo
Konflik perebutan hak atas tanah antara masyarakat adat Pubabu-Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan pemerintah Provinsi NTT, patut mendapatkan perhatian serius.
Secara legal-formal, masyarakat adat Pubabu-Besipae dianggap telah legowo dan mengakui hak pemerintah Provinsi NTT atas tanah seluas 3.780 hektare (Ha).
Hal ini dibuktikan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara pihak masyarakat adat yang diwakili para usif atau tokoh adat yaitu Nope Nabuasa, Frans Nabuasa, dan Gustaf Nabuasa dengan pihak pemerintah Provinsi NTT pada tanggal 21/8/2020.
Akan tetapi, kita tidak bisa menghindari fakta bahwa kesepakatan tersebut tidak sepenuhnya diterima, khususnya oleh sekitar 50 KK yang selama ini bermukim di area yang diklaim sebagai milik pemerintah tersebut.
Oleh karenanya, problem ini harus dikelola dengan pendekatan yang benar, terutama terkait cara pemerintah dalam menangani warga yang tergusur, berikut klaim hak turun temurun atas tanah Pubabu-Besipae antara sesama warga, yang bisa memicu konflik horizontal, maupun vertikal di kemudian hari.
Kuasa Eksklusi
Ditinjau dari aspek pola konflik, apa yang terjadi di Pubabu-Besipae, sebenarnya bukan hal baru. Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li (2011), dalam buku Powers of Exclusion: Land dilemmas in Southeast Asia, menunjukkan dengan gamblang bahwa persoalan mengenai siapa yang dapat mengakses berikut siapa yang harus dicegah untuk mengakses tanah, merupakan akar dari berbagai konflik sosial dan politik di Asia Tenggara.
Melalui studi kasus di tujuh (7) negara, mereka menunjukkan bahwa penggunaan tanah untuk tujuan yang sedemikian produktif apa pun termasuk ekonomi, mensyaratkan adanya proses eksklusi terhadap calon pengguna. Kuasa eksklusi tersebut berlangsung melalui empat (4) mekanisme.
Pertama, mekanisme regulasi, terutama berhubungan dengan aneka peraturan yang sah dari negara. Dalam kasus Pubabu-Besipae, pemerintah provinsi NTT dalam posisi yang diuntungkan karena mengantongi Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor: 00001/2013-BP/794953 atas lahan seluas 3780 Ha tersebut.
Di sini tampak bahwa kuasa regulasi bekerja lewat para aktor negara yang membuat dan menegakkan aturan untuk memastikan kontrol pemerintah atas lahan tersebut tidak dihalangi oleh pihak lain, termasuk warga lokal.
Pemerintah berdalih lewat jargon “the will to Improve”, atau kehendak untuk memberdayakan serta meningkatkan perekonomian warga sekitar melalui budidaya tanaman kelor, lamtoro, pengembangan ternak, dan lain-lain yang menjadi alasan pembenar untuk mengeksklusi warga yang tinggal di sekitar hutan lindung tersebut.
Kedua, mekanisme pemaksaan dengan kekerasan. Hal ini sangat jelas nampak ketika Pemerintah menerjunkan anggota Satpol PP bersama Brimob dan TNI untuk mengamankan lokasi, mengintimidasi, bahkan melakukan pembongkaran secara paksa pemukiman warga untuk berpindah ke lokasi yang disediakan pemerintah Provinsi NTT.
Cara ini sekaligus menujukkan kegagalan dan minimnya kapasitas pemerintah dalam menempuh cara-cara diplomatis, dialogis, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mengelola persoalan tanah Pubabu-Besipae.
Ketiga, mekanisme pasar. Dalam kasus Pubabu-Besipae, kuasa pasar belum terlalu nampak polanya, setidaknya sampai sejauh ini. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa tujuan pemerintah untuk budidaya tanaman kelor, lamtoro, dan pengembangan ternak di area tersebut, akan menempatkan masyarakat adat dalam posisi seperti apa dalam konteks industri daun kelor, misalnya.
Apakah warga hanya dilibatkan sebagai tenaga kerja, penerima manfaat, atau sekaligus sebagai pelaku utama dalam budidaya tanaman kelor. Masalah seperti ini lebih penting untuk dijelaskan ke publik. Agar kehendak untuk membangun dan memberdayakan warga, tidak berakhir dengan marginalisasi penduduk setempat. Ini sebagai langkah antisipasi agar kelak warga Pubabu-Besipae tidak hanya sekadar menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Keempat, mekanisme legitimasi, yakni aneka bentuk justifikasi moral, seperti klaim hak turun-temurun dan rasionalitas ekonomi. Aspek legitimasi ini penting untuk dipertimbangkan mengingat kesepakatan antara para tokoh adat dengan pemprov NTT yang dianggap sebagai penanda berakhirnya sengketa lahan Pubabu-Besipae, tidak diakui oleh sekitar 50 kepala keluarga (KK) yang berdomisili di area hutan lindung.
Pemerintah perlu membuat pemetaan untuk menemukan diferensiasi kelas antar sesama warga dalam konteks kontrol atas tanah. Pembilahan kelas di tingkat kefetoran pada zaman Belanda, dan tingkat desa pada Era Orde Baru ketika kesepakatan awal antara masyarakat adat Pubabu-Besipae dengan Pemerintah dibuat, apakah masih bisa dijadikan sebagai satu-satunya basis pembuatan kesepakatan yang baru antara pemerintah Provinsi dengan masyarakat adat.
Perlu ditelusuri, warga yang keukeuh untuk tetap tinggal di area yang diklaim sebagai milik Pemprov itu berasal dari kelas sosial seperti apa dalam konteks akses atas tanah di Pubabu-Besipae. Aspek Ini penting untuk menghindari apa yang disebut oleh Derek Hall, dkk sebagai intimate exclusion, yaitu untuk menghindari pertikaian horizontal antar warga karena perebutan legitimasi atas tanah adat Pubabu-Besipae.
Mengelola Dilema
Starting point dari artikel ini adalah proses eksklusi warga lokal dalam akses atas tanah Pubabu-Besipae bukanlah proses yang acak, namun distrukturasi oleh relasi kekuasaan. Struktur relasi kuasa yang timpang inilah yang menyebabkan ada pihak yang harus tereksklusi, sementara pihak lain punya kontrol penuh atas tanah.
Keempat tipe kekuasaan yang dijelaskan di atas, dalam derajatnya masing-masing, sudah bisa kita saksikan terjadi di Pubabu-Besipae.
Pertanyaan pentingnya adalah bukan siapa yang punya hak secara legal-formal atas tanah tersebut, tetapi siapa yang harus tergusur, mengapa mereka harus digusur, bagaimana prosesnya, dan konsekuensinya apa.
Di sinilah letak dilema yang harus dikelola oleh pemerintah daerah. Sebab niat baik untuk memakmurkan kehidupan orang banyak sama sekali bukan jaminan bahwa kemakmuran tersebut akan benar terwujud.
Pada banyak peristiwa, alih-alih mendatangkan kemakmuran, “kehendak untuk memperbaiki” kehidupan rakyat ternyata justru membawa sengsara berkepanjangan, karena program pemakmuran itu sendiri tidak bebas nilai. Warga yang hendak diberdayakan bukan ruang kosong yang bisa diisi apa saja, sementara kelompok yang hendak membangun entah itu pemerintah, pasar, atau LSM juga tidak bebas nilai.
Persoalan lain yang tidak boleh dilupakan yakni bahwa saat ini sedang terjadi transformasi agraria yang massif di Kawasan Asia Tenggara termasuk di Indonesia (Tania Li, dkk) yang ditandai dengan konversi besar-besaran lahan pertanian untuk kepentingan komersial, industri, perumahan, pariwisata dan infastruktur, serta tujuan konservasi lingkungan.
Posisi pertanian menurun secara drastis dalam perekonomian nasional maupun sebagai sumber penghidupan penduduk. Akibatnya perjuangan atas tanah sebagai ruang hidup dan penghidupan terjadi secara kontestatif dan konfliktual yang melibatkan aktor penduduk, negara, dan swasta.
Dalam konteks seperti ini sebenarnya diskursus mengenai persoalan Pubabu-Besipae perlu ditempatkan. Pemerintah harus mengungkap alasan mengapa rakyat Pubabu-Besipae harus “dimobilisasi” untuk mendukung upaya peningkatan produksi pertanian daun kelor, lamtoro, dan lain sebagainya, yang dengan demikian mereka yang menolak “niat baik” pemerintah provinsi harus tergusur dari wilayah setempat.
Singkatnya, pemerintah harus menjelaskan, mengapa tanaman Kelor lebih menguntungkan secara industri ketimbang misalnya untuk pertanian jagung, ketela, dan lainnya serta bagaimana mekanisme pelibatan warga dalam skema besar pembangunan ala pemerintah tersebut.
Kapasitas mengelola serangkaian dilema di atas membutuhkan leadership style yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, mampu memahami bahasa rakyat, mampu berkomunikasi dengan bahasa rakyat, serta mampu menjelaskan cara dan tujuan pembangunan juga dengan menggunakan bahasa rakyat. Sebab negara hadir untuk memuliakan rakyat, bukan hanya sebagai fasilitator bagi beroperasinya modal.
*Penulis adalah Peneliti pada Research Centre for Politics and Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM. Dapat dikontak melalui yonlp@ymail.com atau y.hans@mail.ugm.ac.id