Ende, Vox NTT-Siti Rugeya warga Desa Keliwumbu-Ropa, Kecamatan Maurole, Kebupaten Ende, NTT mengeluhkan dampak limbah batu bara yang dikelola Perusahan Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ropa.
Keluhan Rugeya karena debu limbah batu bara (fly ash) beterbangan ke pemukiman warga hingga ke permukaan laut, tempat warga mengais rezeki.
Ditemukan sejumlah wartawan, ia mengungkapkan dampak buruk dari fly ash batu bara, lantaran mencemari lingkungan sekitar termasuk ekosistem laut.
“Ya, debu terbang sampai pemukiman dan ke laut. Kami disuruh pakai masker. Suami saya mau melaut harus cuci jala dahulu, karena kalau lepas jalanya hitam semua, ikan tidak mungkin dapat,” ungkap Rugeya kepada wartawan di Ropa, Jumat (11/09/2020).
Rugeya mengaku, dampak dari limbah tersebut sudah berlangsung lama. Tanaman jambu mete bahkan pepohonan di sekitar pantai berubah warna jadi hitam.
Ia menjelaskan, di wilayah pantai pusat para nelayan mencari ikan terlihat sangat hitam di dasar laut. Sebab, jarak PLTU hanya sekitar 50 meter ke bibir pantai yang dapat memungkinkan pencemaran terhadap laut.
Dekatnya perusahaan listrik serta lemahnya pengelolaan limbah batu bara yang terkategori sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3) sangat mempengaruhi aktivitas para nelayan sekitar.
“Ya, semua nelayan juga mengeluh begitu, temasuk suami saya namanya Ali Baba. Setiap dua jam harus cuci jala penangkap ikan, kalau tidak hitam semua. Debu hitam terbang ke laut juga, ya badan juga rasa gatal,” katanya.
“Pohon jambu mete juga hitam semua, ya, hasilnya juga berkurang,” sambung Rugeya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Ende, Abdul Haris Madjid menerangkan bahwa limbah batu bara termasuk sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan mahkluk hidup lainnya.
Karena sebagai bahan berbahaya terhadap kelangsungan hidup manusia dan lingkungan maka pengelolaan limbah batu bara diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.
Mengenai limbah batu bara PLTU Ropa, Haris menyebutkan sehari dapat menghasilkan tiga ton limbah. Dalam setahun, sebut dia, menghasilkan 3 ribu ton.
“Pengangkutan satu tahun sekali. Dalam laporan yang kami terima, terakhir mereka angkut per Maret 2020,” katanya saat diwawancarai wartawan, Jumat (11/09/2020) siang.
Ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengidentifikasi terhadap beberapa keluhan masyarakat. Termasuk keluhan pegawai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyelam di perairan dekat kawasan perusahan listrik tersebut.
“Mereka keluh ada rasa gatal di tangan setelah menyelam di sana. Kami sedang identifikasi,” katanya.
Haris menjelaskan, pihaknya telah menemui otoritas PLTU Ropa membahas dugaan pencemaran lingkungan dari aktivitas perusahan tersebut termasuk pengelolaan limbah batu bara dan pengukuran suhu air dari tabung perusahaan itu.
“Kalau suhu air dari mereka itu memang 30 persen. Lebih dari suhu air laut yang sebenarnya hanya 25 persen. Jadi ada pengelolaan air, itu kolam yang persis di belakang dekat pantai,” kata dia.
Mengenai keluhan masyarakat Ropa, Haris berharap agar pihak perusahan tersebut merespon secara baik. Bahkan ia mendorong agar adanya tanggung jawab Sosil Perusahan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahan tersebut kepada masyarakat.
Sementara otoritas PLTU Ropa tidak dapat ditemui Wartawan saat berkunjung ke perusahan tersebut pada Jumat (11/09/2020) siang.
Sejumlah wartawan dilarang menggali, mencari tahu informasi bahkan menginvestasikan di perusahaan tersebut meski hanya mengantongi id card press. Wartawan wajib menunjukkan surat tugas meski bertugas di wilayah Kabupaten Ende.
Karena tidak berhasil mengkonfirmasi otoritas perusahaan tersebut, para Wartawan akhirnya menelusuri informasi atau keluhan warga sekitar di wilayah pantai yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari perusahan listrik tersebut.
Faktanya, kawasan pantai nampak terlihat limbah batu bara atau fly ash. Pasir putih dikawasan itu ditutup debu hitam, termasuk di permukaan air kolam dan pepohonan sekitar.
Hawanya pun terasa panas tak seperti biasanya di kawasan pantai lainnya di wilayah utara. Seperti adanya rasa sesak napas, ketika berada di kawasan itu.
Sepuluh meter dari bibir pantai, terdapat sebuah kolam. Air kolam itu nampak hitam kekuningan. Begitu pula debu hitam juga melekat pada tumbuhan di bibir pantai tersebut.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba