Oleh: Wilibaldus Kuntam
Tenaga Ahli DPR RI Periode 2019–2024
Beberapa kabupaten di NTT akan melaksanakan pemilukada serentak Desember mendatang. Pemilukada periode ini sangat berbeda dengan sebelumnya karena dilaksanakan di tengah kepungan dan teror Covid-19. Meski jumlah korban Covid19 terus bertambah, pemerintah tetap melaksanakan pemilukada serentak sesuai agenda.
Perhatian dan antusiasme publik bicara soal pemilukada kian terasa. Ruang publik sesak dengan muatan diskusi seputar pemilukada. Ini terlihat di dunia maya seperti media massa dan media sosial. Begitu pun di dunia nyata. Tentu ada sebabnya. Sebabnya adalah pemilukada diyakini bisa memberikan garansi kemajuan bagi daerah yang melaksanakan pemilukada.
Indikasi kemajuan dapat berupa berkurangnya jumlah masyarakat miskin, bodoh, kekurangan gizi, dan sebagainya. Apa itu mungkin? Bisa saja mungkin, namun bisa juga tak mungkin. Ini tergantung cara pandang. Saya melihat ini “mungkin” walau ini tak mudah. Ini tergantung pilihan politik masyarakat saat pemilukada nantinya.
Pilihan Politik
Pilihan politik masyarakat pada pemilukada menentukan kemajuan daerah beberapa tahun mendatang. Pilihan politik biasa disebut sebagai momen genting. Dibilang genting karena pilihan politik itu menjembatani dua jenis pilihan politik berikut.
Pertama, pilihan politik sebagai selera pribadi (market choice). Pilihan politik semacam ini didominasi oleh perasaan suka terhadap seorang kandidat. Bisa pula karena didorong kesamaan Suku, Agama, Ras, dan Golongan (SARA) dengan seorang kandidat.
Tak hanya itu, pilihan politik jenis ini terjadi karena hubungan keluarga dengan kandidat. Apa yang abstrak ini mungkin bisa dipahami dengan contoh berikut. Pemilukada di suatu kabupaten tersaji banyak kandidat. Kandidat A berasal dari keturunan bangsawan. Kandidat B berusia relatif muda. Sementara kandidat C beragama Kristen. Orang memilih A, B, dan C karena beberapa kandidat itu adalah keturunan bangsawan, berusia muda, dan mempunyai agama yang sama dengan pemilih. Pilihan politik seperti ini didominasi “kepentingan jangka pendek dari individu, kelompok, dan golongan”. Kedua, pilihan sebagai tindakan politik (political act).
Pilihan politik jenis ini dibuat atas pertimbangan kebaikan bersama (common good), bukan kepentingan diri atau kelompok. Contoh berikut mungkin berguna. Seorang memilih kandidat A yang berlatar belakang akademisi. Kandidat B berusia tua, dan kandidat C adalah seorang turunan rakyat jelata.
Orang memilih A, B, C bukan karena akademisi, berusia tua, dan dari turunan rakyat jelata semata. Soal akademisi, berusia tua, dan turunan rakyat jelata bukan tujuan tertinggi dalam menentukan pilihan. Yang tertinggi adalah mereka dipilih karena mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di daerah.
Persoalan yang utama adalah cara pandang yang melihat kemiskinan dan keterbelakangan sebagai takdir atau terberi. Juga soal pola tindak masyarakat yang terkesan “ulet dengan penderitaan dan mapan dalam kesengsaraan”. Dari sini kita bisa dibilang bahwa pilihan politik sebagai tindakan politik dalam pesta demokrasi mengandung “ciri sosialnya” (Herry B. Priyono, 2016).
Pilihan politik sebagai tindakan politik adalah bentuk pilihan yang seharusnya. Tapi nyatanya tak begitu. Mayoritas masyarakat lebih memilih karena selera pribadi. Mengapa? Tentu alasannya banyak dan kompleks. Saya meyakini ini terjadi karena pendidikan masyarakat yang masih rendah. Bukan kebetulan saat John Dewey sentil soal hubungan demokrasi dengan pendidikan. Ia bilang, hubungan keduanya bagai dua sisi mata uang. Hanya bisa dibedakan namun tak bisa dipisahkan.
Demokrasi akan bertumbuh bila pendidikan masyarakatnya baik. Ia tak salah juga sebab memang sulit mengharapkan demokrasi bertumbuh kala masyarakat banyak yang bodoh.
Tentu inilah alasannya mengapa Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat berkali-kali bilang: NTT tidak maju dan sejahtera karena masyarakat masih bodoh. Dengan ini ia mengakui bahwa demokrasi NTT tak berkembang karena pendidikannya rendah. Beliau tentu benar sebab sampai saat ini saya sendiri pun belum temukan daerah yang bertumbuh demokrasinya sementara masyarakatnya masih banyak yang tak terdidik.
Soal masyarakat yang tak terdidik sebagai penghambat demokrasi adalah satu hal. Pelaksanaan pemilukada di tengah covid19 adalah soal lain.
Pemilukada Tengah Covid19
Covid-19 melumpuhkan banyak sendi kehidupan. Dari tingkat global hingga lokal merasakan dampak buruknya. NTT salah satunya. Memang banyak pihak malu-malu mengakui ini secara eksplisit. Tapi sesungguhnya daerah ini sudah lumpuh. Yang paling nyata adalah kelumpuhan ekonomi.
Kelumpuhan ekonomi saat ini berimbas pada masa kepemimpinan kepala daerah yang baru. Bila dianalogikan dengan keluarga, sesungguhnya kepala daerah yang terpilih nanti adalah keluarga baru. Mereka menata keluarga baru dengan persoalan ekonomi. Lugasnya, pemimpin baru tapi persoalan lama.
Membangun daerah berawal dengan tumpukan persoalan yang pelik tentu tak dapat diselesaikan dengan mudah dan cepat. Tak peduli apakah yang terpilih itu petahana atau orang baru. Inilah yang dirasakan kepala daerah yang terpilih nantinya. Karenanya, jangan terburu-buru menilai buruk pada mereka yang menilai demokrasi pemilukada serentak tahun ini hanyalah cangkang kosong.