Ende, Vox NTT-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Flores-Lembata turut menyikapi kondisi limbah batu bara PLTU Ropa yang justru mempengaruhi hak hidup masyarakat Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, NTT.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sekitar justru menerima energi kotor berupa abu hitam (fly ash) hasil pengelolaan limbah pada perusahan itu.
Padahal limbah batu bara dikategori sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) yang bakal merusak lingkungan dan bahkan mengancam keberlangsungan hidup manusia.
“Kita prihatin dengan kondisi warga setempat yang sehari-harinya harus menerima kenyataan itu, menerima energi kotor yang justru mengancam kehidupan mereka,” kata Ketua AMAN Philipus Kami kepada wartawan di Ende, Rabu (23/09/2020) siang.
Mengenai penanganan limbah batu bara, kata Philipus, memang diatur dalam PP 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Untuk itu setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 mesti diawasi secara ketat untuk menekan pengaruh negatif terhadap lingkungan hidup.
Namun, fakta di PLTU Ropa tidak terlihat itikad untuk menghormati, melindungi termasuk memulihkan hak asasi manusia khususnya hak atas lingkungan hidup.
“Nah, hak-hak inilah harus dipegang teguh baik oleh perusahan maupun pemerintah. Karena ini bahan berbahaya dan beracun yang justru mengancam mata pencaharian dan hak hidup mereka. Jadi, masyarakat juga punya hak soal lingkungan yang hidup,” kata Philipus.
Langgar UU Lingkungan Hidup
Philipus menilai bahwa dengan tidak memenuhi hak-hak hidup masyarakat setempat maka diduga PLTU Ropa melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Dugaan pelanggaran tersebut berdasarkan fakta lapangan sesuai keluhan warga Desa Keliwumbu dan pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Ende beberapa waktu lalu.
Dalam UU Lingkungan Hidup Bab X bagian 3 Pasal 69 tercantum mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukan limbah ke media lingkungan hidup dan lain sebagainya.
“Nah, dalam larangan itu kan ada sanksi tegas pada Bab XV tentang ketentuan pidana Pasal 97-123. Itu sangat jelas didalamnya, kalau ada keluhan warga lalu fakta-fakta lapangan seperti itu, saya kira melanggar itu,” kata Ketua AMAN Philipus Kami kepada wartawan di Ende, Rabu (23/09/2020) siang.
Dalam Pasal 103 UU tersebut, terang Philipus, akan mendapatkan konsekuensi pidana jika benar-benar terbukti melanggar. Bahwa, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dengan denda paling sedikit Rp1 Miliar dan paling banyak Rp3 Miliar.
“Artinya, kalau sudah tidak sesuai dengan Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) misalkan berarti melanggar, kan begitu. Referensi terhadap pencemaran lingkungan itu kan kita harus menguji skema Amdal. Nah, bagaimana amdal nih, benar atau tidak. Kan harus dibedah itu (Amdal),” katanya.
Untuk itu, Philipus mendesak pihak otoritas PLTU Ropa untuk membuka kajian Amdal ke publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Sebab, Amdal-lah yang dapat menjamin suatu kegiatan dari dampak negatif terutama dari aspek lingkungan hidup.
Selain itu, Philipus juga meminta pemerintah terlebih Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk uji laboratorium limbah batu bara di PLTU Ropa sebagaimana sesuai keluhan pegawai dan warga setempat.
“Harus diuji secara profesional, uji lab-nya dan uji petik di lapangan. Lalu harus buka lagi Amdalnya, bagaimana perencana awal, sesuai atau tidak. Kalau tidak nah berarti harus ada sanksinya,” kata Philipus.
Mengenai sanksi terhadap perusahan yang melanggar aturan juga ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.
Menurut Umbu, limbah batu bara dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) yang sangat rentan mempengaruhi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan alam.
Untuk itu, apabila terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran yang bakal menganggu lingkungan hidup maka pemerintah daerah mesti tegas dan memberikan sanksi kepada PLTU Ropa.
Selain itu, ia merekomendasikan untuk melihat kembali Amdal PLTU untuk diketahui kelemahan dan pelanggarannya.
“Harus ada juga ganti rugi lingkungan dan ekonomi warga yang terdampak negatif akibat buruknya kinerja PLTU,” kata Umbu.
Tidak Tercemar
Sebelumnya, Asisten Manager Komunikasi PLN UIW NTT Lidya Natalya Purba menjelaskan pihaknya telah memastikan keluhan pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Siti Rugeya warga setempat.
Kata Lidya, petugas PLTU Ropa telah memastikan efek negatif (pencemaran lingkungan) yang disebut akibat dari abu limbah batu bara. Pihaknya telah menguji coba bahkan berenang di laut selama satu jam.
“Beliau (Lambok Siregar, Manager PLN UPK Flores) berendam di air laut itu sekitar satu jam, setelahnya beliau tidak mandi untuk memastikan efek air laut dari PLTU Ropa. Hingga pagi hari dan seterusnya tidak merasa gatal-gatal,” terang Lidya melalui aplikasi pesan singkat pada Selasa (22/09/2020).
Ia juga mengklaim pihaknya telah memastikan keluhan masyarakat mengenai pengaruh abu batu bara terhadap jambu mete.
Bahkan, pihaknya telah melakukan survei terhadap warga di Desa Keliwumbu dan Desa Ranukolo hingga Manager PLN Lambok Siregar telah menemui Kepala Desa Keliwumbu berdiskusi. Hasilnya, tidak ada indikasi jambu mete gagal berbuah.
“Manager PLN UPK Flores melakukan audiensi dengan DLH Kabupaten Ende, diterima oleh Sekretaris DLH Ende Bapak Petrus Djata bersama jajaran dan wartawan media lokal. DLH Ende menjelaskan bahwa berdasarkan pemantauan dan catatan DLH Ende, PLTU Ropa sudah taat aturan,” kata Lidya.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba