Ruteng, Vox NTT- Rencana penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT terus menuai suara penolakan dari berbagai pihak.
Kali ini, suara penolakan muncul dari Kevikepan Reo, Keuskupan Ruteng. Kevikepan Reo kemudian mengeluarkan surat bernomor: 001/KEV-REO/KR/IX/2020 perihal pernyataan sikap tolak tambang batu gamping dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk.
Vikep Reo, Pastor Herman Ando, Pr dalam surat penolakan itu menegaskan,
kebijakan untuk menghadirkan tambang batu gamping dan pabrik semen di Lengko Lolok dan Luwuk sangat bertentangan dengan visi-misi pembangunan Matim 2019-2024.
Itu terutama mewujudkan Matim yang sejahtera, berdaya dan berbudaya yang disingkat dengan “MATIM SEBER”.
Kebijakan ini juga bertentangan dengan misi mewujudkan pembangunan desa berbasis budaya lokal dan desa mandiri, menciptakan iklim investasi dan dunia usaha yang berwawasan lingkungan, adil dan pro rakyat.
Pastor Herman menilai praktik pembangunan yang ditawarkan oleh Pemkab Matim justru mengabaikan eksistensi budaya lokal, tidak berwawasan lingkungan, serta tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Ia menambahkan, kebijakan Bupati Matim Andreas Agas yang memberikan izin lokasi untuk kegiatan pabrik semen di Luwuk adalah sebuah bentuk ketidakadilan dan tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat.
Pastor Herman menegaskan, jika Gubernur NTT memberi izin eksploitasi pertambangan batu gamping dan pabrik semen, maka tentu saja akan melanggar UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Gubernur NTT juga dinilainya melanggar Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengeluarkan peta wilayah ekoregion Indonesia, melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No: SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018.
Potensi Kerusakan
Dalam surat penolakannya pula, Pastor Herman membeberkan potensi kerusakan yang akan terjadi, mana kala pemerintah bersama PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Semen Singa Merah NTT tetap melaksanakan aktivitas pertambangan batu gamping dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk.
Pertama, sebut dia, potensi kerusakan ekologis. Kehadiran tambang batu gamping dan pabrik semen berpotensi mencemar lingkungan secara masif yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup masyarakat lingkar tambang.
Tidak hanya itu, limbah pabrik semen juga berpotensi merusak ekosistem darat dan laut. Hal ini tentu saja bisa berdampak pada hilangnya mata penceharian petani dan nelayan.
Kemudian, bisa juga berpotensi merusak kawasan bentangan alam karst di wilayah bagian utara Manggarai Raya.
Di wilayah Lamba Leda ini ditetapkan sebagai kawasan bentangan alam karst oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam peta ekoregion.
Hal ini didukung oleh adanya “air tanah dalam” di wilayah tersebut dan sekitarnya, seperti yang terungkap dengan adanya sumber mata air dalam sumur, gua, dan kali/sungai.
Pastor Herman menyebut, jika pertambangan batu gamping berlanjut, maka akan berpotensi terhadap perubahan struktur tanah dan semakin berkurangnya debit air untuk kebutuhan masyarakat lingkar tambang.
Kedua, lanjut Pastor Herman, potensi konflik sosial. Kehadiran tambang batu gamping dan pabrik semen di Lengko Lolok dan Luwuk menimbulkan konflik sosial antarwarga masyarakat yang pro dan kontra. Kemudian, antarwarga masyarakat yang kontra dengan pemerintah bersama pihak perusahaan.
Pastor Herman menilai kebijakan Pemprov NTT dan Pemkab Matim untuk menghadirkan PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Semen Singa Merah NTT tidak mencerminkan asas keadilan.
Itu terutama yang tertuang dalam Pancasila, sila ke lima yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat yang menolak menjadi korban ketidakadilan dari pihak-pihak yang punya kepentingan.
Ketiga, kehilangan identitas dan tata nilai budaya. Pastor Herman menjelaskan, dalam tata ruang budaya Manggarai dikenal dengan istilah 5 pilar yakni, Gendang one Lingko peang, Wae Teku, Natas, Boa, dan Compang.
Kelima pilar tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai identitas berdirinya sebuah kampung yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Pastor Herman mengatakan, rencana PT Istindo Mitra Manggarai untuk merelokasi Kampung Lengko Lolok adalah sebuah upaya untuk menghilangkan identitas budaya Manggarai dan tidak menghargai warisan leluhur yang ada sejak lama.
Keempat, potensi kerugian secara ekonomis. Pastor Herman menyatakan, kehadiran tambang mangan di wilayah Desa Satar Punda sejak tahun 1987 tidak memberi dampak kesejahteraan secara ekonomi bagi masyarakat setempat.
Hal ini, kata dia, disampaikan oleh masyarakat yang menolak tambang batu gamping dan pabrik semen.
Selain itu, masyarakat akan kehilangan mata pencaharian pertanian, peternakan, dan perkebunan karena hak tanah ulayat mereka diserahkan kepada pihak perusahaan dengan harga yang murah.
Hal lain juga yaitu membanjirnya tenaga asing yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang tambang dan pabrik, sedangkan orang lokal tidak bisa berbuat apa-apa.
Keberatan dengan Studi AMDAL
Pastor Herman juga mengaku keberatan atas studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di balik rencana penambangan batu gamping di Lengko Lolok dan pendirian pabrik semen di Luwuk.
Kegiatan itu, sebut dia, dilakukan oleh tim kajian AMDAL dari Universitas Nusa Cendana Kupang.
Menurut Pastor Herman, ada upaya senyap yang dilakukan oleh Pemkab Matim bersama PT Istindo Mitra Manggarai dalam proses sosialisasi dan konsultasi publik dalam studi AMDAL.
Proses ini tanpa melibatkan semua unsur terkait yang menyuarakan penolakan terhadap aktivitas tambang batu gamping dan pabrik semen.
Itu seperti JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD, JPIC OFM, mahasiswa, tokoh masyarakat lingkar tambang, dan organisasi pemerhati lingkungan.
Kemudian, tim kajian AMDAL Undana tidak bersikap independen dan sarat kepentingan dalam melakukan kajiannya.
Menurut Pastor Herman, Ketua Tim AMDAL Hery Kota tidak memaparkan secara obyektif terkait dampak-dampak negatif yang akan timbul sebagai akibat pertambangan batu gamping. Itu terutama dari aspek ekologis, sosial ekonomi, kesehatan lingkungan, dan sosial budaya.
Pastor Herman melanjutkan, Bupati Matim Andreas Agas dalam sambutannya saat membuka kegiatan sosialisasi dan konsultasi publik di Lengko Lolok pada 12 September 2020, meminta kepada tim AMDAL Undana untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalisasi dampak negatif dari kegiatan pertambangan batu gamping.
Hal ini menunjukan adanya intervensi Pemkab Matim dalam mempengaruhi sikap independensi tim kajian AMDAL Undana untuk menentukan hasil kebijakan yang tidak mengakomodasi semua kepentingan masyarakat yang menyuarakan penolakan.
Sebagai informasi, surat penolakan Kevikepan Reo tersebut dikeluarkan pada 25 September 2020.
Surat ditujukan kepada Bupati Matim Andres Agas, Gubernur NTT, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Matim, Kepala LP2M Undana dan pimpinan PT Istindo Mitra Manggarai.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba