Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Pandemik Covid-19 di Indonesia seperti belum menunjukan tanda-tanda berakhir. Meski pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan, pasien Covid setiap hari terus bertambah. Kluster Covid pun semakin meluas. Perkantoran menjadi kluster baru penyebaran virus ini.
Ada dilema di sana. Di satu sisi masyarakat ingin agar kebebasannya tidak lagi dikontrol, di sisi yang lain penyebaran Covid-19 malah melampaui kontrol. Di tengah desakan masyarakat untuk segera keluar dari kontrol, negara sedikit melunak. Beberapa bidang kehidupan dibuka dengan menjalankan protokol kesehatan secara ketat.
Bahkan, karena trend pasien Covid meningkat, pemerintah mengeluarkan aturan baru. Pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan. Regulasi ini bertujuan untuk mencegah perluasan dampak Covid-19 dengan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar protokol kesehatan. Bisa dimengerti memang.
Kebijakan pemerintah seperti itu benar adanya dan karena itu laik didukung. Catatannya, implementasi regulasi di lapangan tidak boleh dilakukan di luar batas dan rambu-rambu regulasi. Sebab, jika kebijakan itu disalahpraktikan di masyarakat, bukan tidak mungkin, negara akan dianggap sebagai aktor yang memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mengontrol perilaku masyarakat.
Membaca isi regulasi itu, sanksi atas pelanggaran protokol kesehatan membentang mulai dari teguran langsung, teguran tertulis hingga sanksi pidana. Di aspek pidana ini muncul masalah baru. Di mana batasan antara teguran langsung dan tertulis dengan sanksi pidana? Itu satu soal.
Soal lainnya ialah konsistensi penerapan aturan. Di aspek ini, kita berhadapan dengan inkonsistensi di banyak tingkatan. Di level pemerintahan, dalam banyak fakta, tidak semua kepala daerah setuju dengan aturan ini. Beberapa pihak menilai, negara terlampau otoriter dalam mengambil keputusan.
Negara dianggap sebagai hakim paling wahid untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Padahal, setiap daerah memiliki karakter berbeda dan karena itu pelaksanaan aturan tidak bisa sama di seluruh Indonesia.
Tulisan ini berangkat dari sebuah pemahaman bahwa untuk mengontrol kerja negara agar tidak bablas dalam menerapkan aturan, kita harus bisa mengontrol diri secara individual maupun secara kelompok terlebih dahulu. Dengan kata lain, salah satu cara untuk mengontrol perilaku negara yang kebablasan ialah dengan mengontrol diri dan kelompok. Mekanisme ini tentu menjadi upaya utama untuk membantu elemen masyarakat sipil dalam mengawasi kerja negara.
Dilema
Hemat saya, memutuskan mata rantai Covid-19 tidaklah sulit. Yang sulit ialah ketika Covid-19 dimanipulasi untuk tujuan tertentu. Sebagai contoh, akan muncul dampak baru kalau Covid-19 dikapitalisasi oleh satu dua orang oknum. Jika ini yang terjadi, masyarakat pasti memiliki cara untuk melawan arogansi kekuasaan.
Sebab utamanya karena masyarakat menilai, negara bertindak tidak adil. Sulit diterima oleh beberapa pihak jika pasar masih tetap dibuka sementara sekolah ditutup. Deretan fakta lainnya, perjumpaan orang di mall jauh lebih berbahaya ketimbang mengizinkan orang untuk berinteraksi di lingkungan rumah ibadah.
Negara sesungguhnya benar. Sebab, jika bidang ekonomi ditutup, negara ini akan hancur. Atau, jauh lebih baik belajar di rumah ketimbang harus bertemu banyak orang di sekolah dengan segala konsekuensi yang melingkupinya. Di level tertentu, berdoa bisa saja ditunda sampai perut yang kosong diisi dengan makanan. ‘Perut’ menjadi alasan utama negara mengeluarkan kebijakan demikian.
Hanya, ketika masyarakat menilai bahwa negara ini tidak adil, tentu tidak serta merta disalahkan. Sebab, setiap orang tentu memiliki pandangan berbeda tentang realita Covid-19. Selain karena keparahan dampak karena pandemik yang berbeda di beberapa tempat, fakta bahwa kerumunan menjadi salah satu kluster utama penyebaran Covid sulit dibantah.
Ketika penerapan aturan protokol kesehatan tanpa dikontrol, banyak elemen di lapangan justru bertindak di luar batas kepatutan. Mendirikan pos jaga dengan segala macam batasan misalnya, merupakan praktik pelaksanaan aturan yang overdosis. Seseorang laik diberi sanksi kalau pengendara tidak memakai masker dan berhenti di kerumunan untuk satu dua tujuan pribadinya.
Kontrol diri
Adanya peraturan terkait pemberian sanksi bagi para pelanggar protokol hemat saya harus benar-benar dipahami masyarakat dan negara sekaligus. Dilema seperti digambarkan di atas tentu bukan barang baru.
Yang dibutuhkan sekarang ialah penerapan aturan itu secara tegak lurus dengan komitmen penuh serta batasan yang jelas. Artinya, aturan pelaksanaan protokol kesehatan tidak kemudian mengantar negara sampai di gerbang kebablasan menerbitkan dan memaksakan aturan.
Semua kita tentu sepakat bahwa beragam upaya mesti dilakukan untuk memutus mata ranta penyebaran korona. Termasuk di dalamnya ialah penerbitan berbagai macam aturan dengan beberapa lembaga terkait di dalamnya.
Meski demikian, penerapan aturan yang melenceng alias tidak tegak lurus tidak saja berdampak pada pembangkangan massal tetapi juga perluasan penyebaran. Dengan kata lain, alih-alih memutus mata rantai korona, negara justru terjebak dalam proses pengontrolan total masyarakat.
Poin utama yang mesti diperhatikan ialah aturan terkait korona jangan sampai mengorbankan rasa kemanusiaan manusia. Aturan tidak boleh dipaksakan lalu secara sembrono diterapkan di masyarakat.
Berbagai elemen terkait tentu memiliki tanggung jawab moral dan etis di sini. Negara jelas akan menerapkan aturan. Hanya, di lapangan, kerja-kerja tangan negara dalam berbagai macam kembaga harus pula dikontrol oleh kita semua. Berbagai macam elemen masyarakat harus bahu-membahu mengontrol kerja negara agar tidak terlalu jauh meninggalkan wajah aslinya.
Di kasus, covid-19, mengontrol diri dan kelompok ialah mekanisme paling awal dan jitu untuk mencegah negara jatuh dalam kubangan otoritarian. Dengan mengontrol diri dan lingkungan, kita sedang mengontrol negara dari perilaku bablas. Semoga.