Oleh: Wilibaldus Kuntam
Tenaga Ahli DPR RI Periode 2019-2024
Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja termasuk salah satu produk hukum yang membuat turbelensi di masyarakat. Dari pembahasannya hingga kini, turbelensi itu belum berhenti. Simak saja demonstrasi massa di beberapa daerah yang belum berakhir.
Banyak elemen yang ikut terlibat dalam penolakan undang-undang ini. Salah satunya pemuda dan mahasiswa.
Tulisan ini tidak sedang membahas kembali pro-kontra argumentasi di balik omnibus law. Saya mencoba memahami aspirasi pemuda dan mahasiswa sebagai garda terdepan yang menyuarakan protes terhadap UU ini.
Jika disimak dari berbagai narasi, yang ditolak pemuda adalah oligark. Jumlah kelas oligark sangat sedikit. Meski sedikit tapi mereka sangat berdaulat penuh atas yang lain. Apakah oligark baru tampil? Tentu tidak. Oligark ini gerakan lama. Mengatakan oligark itu sebagai gerakan baru di Indonesia tentu keliru (bila tak mau dibilang gagap membaca sejarah).
Terungkap! 12 Aktor Tambang di Balik UU Omnibus Law, Ini Daftarnya
Para pakar yang meneliti Indonesia sudah lama membaca gejala itu dengan cermat. Dari sekian banyak peneliti, Jefrey Winters salah satunya. Ia pernah bilang bahwa semenjak keran demokratisasi dibuka di Indonesia, sejak itu pula oligarki berkuasa. Ini beda ketika otoritarianisme orde baru berkuasa (Jefrey Winters, 2014).
Winters benar bahwa demokratisasi justru mempermudah penyelesaian proyek oligark. Ini bisa dijelaskan begini: demokrasi mensyaratkan kebebasan. Salah satu ekspresi kebebasan itu adalah kewenangan politisi untuk membuat undang-undang. Lantas, apa urusan semua ini dengan oligark?
Oligark itu mempunyai sejuta kepentingan untuk diperjuangkan. Kepentingan itu bisa disebut sebagai proyek “buru rente”. Agar kepentingan “proyek buru rente” itu bisa rampung dengan baik, maka undang-undang itu harus dibuat bolong. Bolong undang-undang sama dengan meloloskan tuan oligark. Kurang lebih begitu.
Bolong Omnibus Law
Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja pasti bolong. Pertama, pembuat undang-undang ini adalah penguasa. Apa ini berarti undang-undang ini berhubungan dengan kekuasaan? Tentu saja. Undang-undang manapun selalu berhubungan dengan kekuasaan. Tak ada undang-undang murni. Artinya semua produk hukum selalu mengandung kepentingan politik tertentu.
Persoalannya adalah ketika kekuasaan itu justru disalahgunakan oleh penguasa. Lugasnya, kekuasaan tidak diberadabkan. Artinya kekuasaan digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan diri, kelompok, dan partai tertentu.
Selain alasan pertama di atas, alasan kedua adalah undang-undang ini dibuat dalam situasi sosial dan budaya tertentu. Bila undang-undang ini disebut teks, maka ia selalu terkait dengan konteks. Karena situasi konteks terus berubah, demikian pula undang-undang sendiri harus berubah. Undang-undang tanpa perubahan sama dengan mengatakan manusia itu tak berubah. Ini tentu tak masuk akal juga.
Bila undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja itu produk politik, kepentingan siapa yang diperjuangkan di sana? Saya sendiri begitu yakin yang diperjuangkan adalah kepentingan tuan oligark.
Undang-undang ini hanya memberikan karpet merah bagi pemburu rente bernama oligark. Karena itu, apa yang terjadi dengan undang-undang ini adalah cerminan praktek kekuasaan yang tidak diberadabkan. Saat kekuasaan tak lagi beradab, pemuda dituntut untuk kembali berperan agar kekuasaan mesti berlandaskan moral atau beradab.
Peran Pemuda
Sejarah seringkali memberikan pelajaran kepada kita bahwa konsolidasi demokrasi selalu dimulai pemuda. Biasanya mereka berjumlah sedikit tapi berguna bagi banyak orang. Simak saja saat aksi demonstrasi. Jumlah massa pemuda yang menolak undang-undang ini relatif sedikit dari jumlah pemuda yang menghuni negeri ini. Tentu tak perlu berkecil hati dengan persoalan semacam ini. Jumlah massa yang sedikit itu bukan sindrom kegagalan perjuangan. Dulu saat Sumpah Pemuda dicetuskan, yang menggagas gerakan itu hanya segelintir pemuda saja. Tapi justru itu menjadi cikal bakal munculnya gagasan kemerdekaan.
Bila disimak dengan baik, sesungguhnya gerakan pemuda yang menolak undang-undang Ombibus Law Cipta Kerja adalah satu bentuk gugatan terhadap penjajahan bentuk baru. Di sini, saya kembali ingat kata Soekarno di depan sidang pengadilan kolonial Belanda tahun 1930. Ia bilang bahwa “akan ada penjajahan gaya baru. Ia akan berganti baju dan sistemnya (Indonesia Menggugat, 2006). Penjajahan gaya baru itu berakibat buruk bagi bangsa ini.
Saat dibuat Sumpah Pemuda tahun 1928, pemuda bersumpah untuk bertanah air satu tanah air Indonesia dan seterusnya. Pada tahun 2020 ini, pemuda juga harus bersumpah untuk bertanah air satu, tanah air tanpa oligark. Ini memang tak mudah. Mengapa? Sebab pada era digitalisasi seperti sekarang, penguasa dan oligark mudah sekali memantau setiap gerakan pemuda. Tak heran bila setiap gerakan menolak Omnibus Law Cipta Kerja tak akan bertahan lama.
Mulanya kita berharap agar digitalisasi bisa menjadi instrumen kritik dan oposisi yang efektif terhadap penguasa. Kenyataannya tak begitu. Digitalisasi justru mamasung kebebasan berekspresi. Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) membenarkan itu. Survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sipil sudah merasa tertekan dan takut menyampaikan pendapat (Kompas, 28/10/2020).
Dengan kata lain, kebebasan berekpresi semakin direpresi. Bila ini terus terjadi, negeri tetap menjadi daerah jajahan kaum oligark. Saat itu pula kita sedang menggali kubur kematian masa depan bangsa.