Oleh: Patritius Arifin
Mahasiswa STF Driyarkara-Jakarta
Belakangan banyak muncul reaksi terhadap tulisan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno (selanjutnya MS), menyusul turunnya artikel beliau “𝗞𝗶𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗛𝗥𝗦” beberapa hari lalu di HIDUP. Buat saya awalnya hal itu biasa, saya cukup mengenal gagasan dan gaya bahasa MS melalui tulisan, kuliah ataupun pembicaraan di TV. Ia lugas, mendalam dan sangat sensitif dengan isu antar-agama.
Kesan saya tidak berubah. Hanya saja ribut-ribut (pro-kontra) mengenai tulisan itu membuat saya kembali membacanya untuk melihat apa persisnya yang dimaksud. Memang kritik yang muncul kadang membantu orang untuk lebih teliti, untuk mendalami beberapa poin yang barangkali terkesan biasa tapi tidak demikian bagi pembaca lain.
Sejauh melihat beberapa respon terhadap tulisan MS. Saya merangkum sekurang-kurangnya dua pokok penting yang menimbulkan selisih paham. Pertama, MS terkesan ingin menjadi anak baik (𝑔𝑜𝑜𝑑 𝑏𝑜𝑦) dengan mengajak orang Katolik untuk “hemat kata” atau diam saja (masa bodoh) terhadap kasus HRS. Kedua, MS dinilai cari aman.
Saya melihat memang ada beberapa kalimat dalam tulisan MS yang memicu tafsiran demikian. Tapi sekali lagi, untuk sebagian orang yang mengenal konteks, siapa MS, apa concern-nya, dan dari sudut apa ia bicara, barangkali tidak mudah terprovokasi untuk sampai pada dua kesimpulan tersebut. Kritik tentu tidak salah, hanya saja menurut saya kita perlu hati-hati dalam beberapa poin penting. Berikut sedikit tanggapan saya tentang dua hal tadi.
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, MS terkesan ingin menjadi anak baik (𝑔𝑜𝑜𝑑 𝑏𝑜𝑦) dengan mengajak orang Katolik untuk “hemat kata” atau diam saja (masa bodoh) terhadap kasus HRZ. Kesan ini barangkali muncul dari kalimat MS demikian. Saya kutip persis “Yang jelas, kita jangan larut ikut emosi. Di saat seperti ini kita harus tahu diri. Penuh semangat mendukung pelbagai reaksi malah bisa kontraproduktif. Kita tidak akan menaikkan baliho HRZ dan tidak akan menurunkan baliho HRZ. Biar tanggapan hukum dan politik ditangani negara. Kepolisian dan TNI tidak perlu tepuk tangan kita. Lagi pula, apakah fenomena HRZ radikalisme agama atau tidak bukan urusan kita. Itu tentu urusan komunitas Islam di Indonesia.” Demikian tulis MS. Lantas apakah ini berarti ciut? Takut?
Dalam arti tertentu, menurut saya “Ia”. Rasa takut kadang perlu (positif), seperti rasa takut terbakar membuat kita menjaga jarak dari api. Orang hanya perlu paham kapan rasa takut itu justru diapresiasi.
Romo Magnis itu pertimbangannya dalam. Ia telah sejak lama sekali ikut terlibat dalam mengusahakan perdamaian antara umat beragama di antaranya melalui dialog antar-agama lintas tahun, lintas presiden sejak akhir Orde Baru. Ingat, Katolik itu bukan hanya Papua, Flores, tapi ada juga di Jawa, Aceh, dll di mana kita minoritas. Ini pertimbangannya cukup kompleks dan tidak gampang. Bisa jadi, respon yang kurang tepat (ceroboh) berubah menjadi sikap masa bodoh terhadap kompleksitas masalah yang ada. Hati-hati. Mengusahakan perdamaian itu susah, tapi itu bisa runtuh kalau kita ceroboh. Melihat kiprah beliau dari dekat, sulit untuk menerima bahwa Ia mengajak kita untuk masa bodoh dengan negara ini, termasuk dalam kasus HRS. lantas apa maksud ajakan MS itu? Menurut saya, pesannya ialah untuk cermat bersikap.
Kita tidak boleh terpancing untuk bereaksi berlebihan sebab isu ini sensitif. Kita tidak bisa mengatakan bahwa perlakuan semangat berlebihan mendukung tindakan pemerintah terhadap HRS misalnya adalah sikap kita sebagai WNI dan bukan sebagai orang Katolik. Ini naif. Kita tidak bisa seperti itu. Kita adalah WNI dan Katolik sekaligus. Dan karena itu perilaku kita perlu dijaga. Memangnya siapa yang bisa memastikan bahwa tepuk tangan kita terhadap aksi TNI dan Polri itu murni dukungan terhadap penegakan hukum dan bukan sukacita karena yang dikecam adalah ormas Islam? Ini sensitif. Orang bisa saja memilih tafsir kedua. Karena itu hati-hati (cermat). Jangan sampai kita menyinggung lalu justru kena akibat buruk. Lagipula, fenomena HRS itu pertama adalah soal organisasi. Urusannya dengan negara. Orang katolik tidak terdampak secara langsung di sini. Sekali lagi cermat, mana yang mutlak, mana yang tidak dengan pertimbangan risikonya.
Kalau orang berpikir bahwa sikap diam ini keliru, lantas kita mesti bersikap bagaimana? Agresif? Kalau kita pikir bahwa kita lebih baik buka suara atau melakukan pendekatan yang menekan untuk mendapat tempat di negara ini. Kita keliru. Saya pikir MS yang sudah lama bergelut di bidang lintas iman mengerti betul bahwa pendekatan kontras itu 𝘣𝘶𝘭𝘭𝘴𝘩𝘪𝘵 dan naif. Nyatanya selama ini hubungan baik dengan Islam (minus beberapa kasus intoleransi, ya mau apa toh toleransi tidak bisa 100%) dicapai dengan pendekatan simpatik. Kita mendekati Islam 𝘮𝘢𝘪𝘯𝘴𝘵𝘳𝘦𝘢𝘮 dengan tidak terlalu larut dalam kasus intoleransi kecil-kecil meskipun tetap disayangkan, tentu saja.
Kita harus sadar diri atau bahasa imannya ialah rendah hati [bhs. MS. “Kita harus tahu diri di sini”]. Kalau kita masih berpikir idealistis bahwa dalam negara Pancasila ini kita semua sama, dan karena itu bisa omong apa saja, kita naif. Kita memang punya hak yang sama dengan yang mayoritas, tetapi dalam hal tertentu ada kebebasan yang terhambat situasi. Di situ kita sadar diri mestinya. Kita mesti cermat/proporsional.
Lantas bukankah di negara Demokrasi semua orang sama? Bahwa tidak ada mayoritas atau minoritas? Buat saya ini 𝘯𝘰𝘯𝘴𝘦𝘯𝘴𝘦. Kita bicara fakta bahwa secara statistik kita menoritas dan psikologi massa cenderung menunjukkan mayoritas memang punya hak lebih entah bagaimana. Jadi dalam arti itu, kita mesti realistis. Jangan berpikir seolah MS tidak berpikir untuk mengkritik HRZ atau dia tidak tahu bahwa ada yang salah. Tapi dia cermat. Dia mengerti mana yang harus ditanggapi dan yang tidak.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, MS cari aman. Apa betul beliau cari aman? Saya kira tidak begitu (memangnya siapa yg mau cari perang?). Buat saya, MS memikirkan dampak yang lebih luas. Dia mau mempertahankan hubungan baik dengan negara dan Islam 𝘮𝘢𝘪𝘯𝘴𝘵𝘳𝘦𝘢𝘮. MS menulis demikian, “Yang diharapkan dari kita umat Katolik Indonesia adalah harus membangun hubungan baik dengan umat Islam.” Bagaimana caranya?
Caranya ialah dengan tidak menyinggung mereka seperti ikut campur dalam kritik teologi mereka, memasang diri di depan terlalu kentara sampai menimbulkan kesan untuk merebut pengaruh di ruang publik. Walau bagaimana pun, islam itu punya hubungan satu sama lain dalam banyak alirannya. Kalau kita (minoritas) terlalu keras, kita bisa jadi kehilangan simpati Islam 𝘮𝘢𝘪𝘯𝘴𝘵𝘳𝘦𝘢𝘮 karena terlihat punya hasrat mendominasi. Kalau itu terjadi, sikap keras tak teliti itu alih-alih membuat kita aman, sebaliknya justru semakin memojokkan kita.
Terakhir sebelum menutup tulisan ini, saya menegaskan beberapa hal penting. Pertama, perbedaan pendapat itu penting untuk menghasilkan diskusi yang jernih, selain bahwa hal itu menunjukkan bahwa ruang publik kita sehat.
Kedua, tulisan ini lantas tidak bermaksud untuk menyamakan persepsi. Kita mungkin akan tetap berbeda pendapat setelah tulisan ini turun, tapi setidaknya ada pandangan dari sudut lain yang masuk ke ruang berpikir kita. Mari merayakan kemajemukan gagasan.