Kiamat
Kuburanmu akhirnya selesai.
Menggenapkan mimpimu Dea: kebangkitan.
2019
Tengah Malam
Puisi belum tidur dari tadi.
Matanya sembab sampai-sampai jari kananku cukup lembab mengelusnya.
Ia melihatmu Dea.
Kau duduk di sampingku setelah tiga hari belum juga kau ditemukan.
Doa-doa pergi mencarimu lalu menitipkan amin yang kupeluk sekarang dan puisi tidak berhenti menangis semenjak kejadian itu.
Di luar rumah jalanan masih genting.
Banyak parang berlalu lalang dengan suara demonstran membuat kota akhirnya hilang.
Rupa dan hujan tidak mampu memadamkan dirinya di langit.
Kau tahu, aku membawa berita belum matinya kau di surat kabar.
Aku mungkin percaya telah menjadi akibat sebagai ketika bahkan tiap kata semestinya bukan dibilang basah jika doa-doa hilang atau amin yang tidak lagi bangun atas ketidakmengertian pada cuaca dan mata.
Tapi ia masih melihatmu saat dadaku hanya punya ketakutan untuk menemukanmu.
Di luar itu segenap detik menghimpun ramalan setelah pagi bisa saja sebuah revolusi yang kaukekalkan.
2019
Barangkali
Seandainya kiamat tiba, Dea tetaplah seorang wanita yang kulamar setelah kebangkitannya terbilang lewat tiga hari yang penuh anggun.
Mungkin sebagai sopan santun warga negara, kami melakukan silahturahmi terakhir bersama pak presiden sambil suara-suara terdengar jauh dari sebuah museum berisi sesal Pilatus atau tuduhan ahli taurat kepada diri sendiri.
“Maaf setelah kubangun kota dari bahasa dan mimpimu”.
Dea mengangguk.
Baru kutahu alasan dia bisu selama ini ketika ramai di bibirnya rela jatuh pada jalan, taman, cafe, perkantoran, dan bibir semua orang daripada tanda baca buku-buku yang membuat banyak pertanyaan.
Pilatus dan ahli taurat tetaplah sebab yang membawanya kembali dan pulang dan mengerti bahwa sesuatu sebelum akhir butuh kehilangan setelah tumbuh kepada semesta.
Mungkin kiamat baginya adalah cara berkembang yang baik bagiku kelak.
2019
Perjumapaan Kepada Desa
Aku menemukanmu di sebuah toko buku belum lama ini.
Kau orang yang paling tidak suka diajak berbincang.
Kau lebih bahagia ketika membacamu sebagai alkitab bagi mata yang sendiri.
Semenjak itu aku berkenalan dengan banyak masa lalu.
Cerita-cerita yang menjadi diriku dan seperti begitu dekat mencoba meyakinkan kemungkinan-kemungkinan tentang mimpi dan ringkasan tidur adalah tenang paling perlu bagi pagi hari sebelum menjadi notifikasi pada bangun yang seterang cahaya layar ponsel.
Kau percaya akan tetap jadi itu, aku hanyalah orang yang memanggilmu di setiap postingan.
Tiba di akhir pekan kau memperlakukan istirahatku dengan baik.
Kau mengerti satu-satunya cara menutup mata adalah setelah menangis sepuas-puasnya dalam kapela.
Dosa dan catatannya tiba-tiba gemetar dalam denting lonceng.
Seusai ricik dari seseorang yang membangunkanku di bangku kosong, aku melihat matamu sedang pulang kembali ke toko buku.
Sesudahnya- sehabis lupa- membuatku ingin pergi membeli suatu buku yang kucintai beserta tokoh utama yang tidak suka diajak berbincang.
Sesaat menamakannya Dea di kepalaku, tiba-tiba.
2019
Dea
Cinta suatu ketakutan.
Di hadapan kau
Doa adalah terbata-bata.
Dalam dada
Ombak laut tak mereda
Tapi cinta juga bahagia
Seperti minggu-minggu sebelumnya
Kau mencium tenang ke arah saya
Yang berimbun embun memoles bibir
Sampai
Saya akhirnya suka bercermin
Di akhir pekan
Hari paling mudah diajak berkencan
Dan bermain selayaknya bocah
Atau belajar berpuisi.
Kosong dan penuh berkenan diletakkan.
Di ujung selesai, nantinya,
Saya mengenal kau bahwa
Cinta tidak semudah berbicara
Perkara negara
Dan membilang asam
Pada cawan anggur yang kilau
Terkena muka kau.
2020
Penulis lahir di Maumere, 10 Mei 1999. Bernama lengkap Matias Aleksandro Sogemaking. Alumnus Seminari Menengah San Do Minggo Hokeng. Sekarang menempuh pendidikan kuliah di Universitas Widya Mandira Kupang dengan Prodi Ilmu Komunikasi.