Oleh: Om Gege
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 yang belum lama ini dikeluarkan Presiden Joko Widodo lumayan memancing kegaduhan. Jika ditelisik cermat, kegaduhan itu bercabang dua perkara. Perkara yang kedua menyeret-nyeret orang Nusa Tenggara Timur untuk terjun ke gelanggang perdebatan. Meski demikian, bukan berarti perkara pertama tidak punya kaitan dengan kehidupan masyarakat gugus kepulauan ini.
Perpres 10 tahun 2021 adalah turunan dari UU Cipta Kerja, sebuah omnibus law yang sejatinya lebih mengabdi kepada investasi dibandingkan terhadap penciptaan lapangan kerja. Ya! Adalah investasi tuan utama yang dilayani omnibus law itu. Sementara lapangan kerja –bukan pula pekerjaan yang berkualitas sebab berkurang proteksinya terhadap hak-hak buruh– hanyalah efek sampingnya. Lebih tepat jika omnibus law itu disebut UU Pemudi, Permudah Investasi, dibandingkan UU Cipta Kerja. Atau bolehlah jika kita menyebutnya UU Cilaka atau celaka, letterlijk.
Sebagai turunan operasional UU Cilaka, Perpres 10/2021 mengadung sifat herediter induknya: mengabdi kepada investasi. Perpres ini adalah penjabaran Bagian Kelima UU Cilaka: tentang “Penyederhanaan Persyaratan Investasi pada Sektor Tertentu.”
Bagian kelima itu dibuka secara jujur dengan Pasal 76 yang secara lugas menyatakan pengabdiannya.
“Untuk mempermudah masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam melakukan investasi pada sektor tertentu yaitu penanaman modal, perbankan, dan perbankan syariah …”. Jadi mempermudah investorlah tujuan UU Cilaka.
Demi kepentingan mempermudah investor, pasal-pasal dalam Bagian kelima UU Cilaka mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan UU 25/2OO7 tentang Penanaman Modal, UU 7 /1992 tentang Perbankan, dan UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Perpres 10/2021 adalah turunan operasional dari pasal 77 UU Cilaka yang mengatur sejumlah perubahan dalam UU 25/2007.
Namun harus pula kita akui, di tengah tujuan dan sifat-sifat buruknya, ada pula hal baik dari UU Cilaka pada urusan penanaman modal ini. Hal baik itu berupa ketentuan-ketentuan sokongan terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan koperasi.
Misalnya disebutkan di dalam pasal 77 UU Cilaka, pasal 18 UU 25/2OO7 dirumuskan kembali dengan mengandung ketentuan tentang pemberian insentif –berupa keringanan pajak– kepada penanaman modal yang memenuhi sejumlah syarat, salah satunya: bemitra dengan UMKM dan koperasi.
UU Cilaka juga mengubah ketentuan pasal 13 UU 25/2007, sehingga mengandung pernyataan tentang perlindungan dan pemberdayaan UMKM oleh pemerintah pusat dan pemda, plus cara yang ditempuh untuk melindungi dan memberdayakan UMKM dan koperasi.
Disebutkan di sana, perlindungan dan pemberdayaan kepada UMKM dan koperasi dilakukan melalui: program kemitraan, pelatihan sumber daya manusia, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, akses pembiayaan, dan penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
Sayangnya, paradoksal, pada ketentuan tentang cara perlindungan dan pemberdayaan terhadap UMKM dan koperasi ini pula segala retorika pro-UMKM dan koperasi pemerintahan Jokowi runtuh. Di sinilah pangkal masalahnya. Sifat perlindungan yang pura-pura inilah yang kemudian diwarisi (dan dipertegas) oleh Perpres 10/2021. Kepura-puraan perlindungan ini pula biang perkara pertama Perpres Penamanan Modal itu sehingga diprotes banyak orang.
Coba lihat lagi deretan metode perlindungan dan pembedayaan terhadap UMKM dan koperasi di dalam UU Cilaka: “program kemitraan, pelatihan sumber daya manusia, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, akses pembiayaan, dan penyebaran informasi yang seluas-luasnya.”
Apa yang kurang dari sana? Apa yang membuat rumusan-rumusan indah perlindungan dan pemberdayaan terhadap UMKM dan koperasi itu sia-sia?
Tidak disebutkan di sana proteksi terhadap lapangan atau bidang usaha UMKM dan koperasi!
Dampaknya, Perpres 10/2021 tentang Penanaman Modal pun mewarisi sifat buruk UU Cilaka, meniadakan proteksi terhadap bidang usaha UMKM dan koperasi.
Memang, tubuh Perpres 10/2021 masih mengandung rumusan serupa pendahulunya, Perpres 44/2016. Kedua Perpres ini mengatur tentang bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal tetapi dengan syarat dialokasikan untuk UMKM dan koperasi. Bidang-bidang usaha yang termasuk di dalam golongan ini hanya boleh dilakukan oleh UMKM dan koperasi. Ada pula bidang usaha yang terbuka bagi pemodal besar tetapi dengan syarat bermitra dengan UMKM dan koperasi.
Namun di dalam penjabarannya, di dalam lampiran daftar spesifik bidang-bidang usaha yang dinyatakan terbuka dengan syarat tersebut, Perpres 10/2021 berbeda jauh dengan Perpres 44/2016.
Di dalam lampiran Perpres 44/2016 terdapat 145 bidang usaha yang hanya diperuntukan bagi UMKN dan koperasi dan atau yang boleh dimasuki pemodal besar namun bersyarat kemitraan dengan UMKM dan koperasi. Sementara di dalam lampiran Perpres 10/2021, hanya ada delapan (8) bidang usaha (terbagi di dalam dua kategori) yang dinyatakan hanya boleh diusahakan oleh UMKM dan koperasi atau kemitraan usaha besar dengan UMKM dan koperasi, yaitu usaha tanaman pangan padi, jagung, kedelai, dan kacang hijau pada lahan seluas maksimal 0,25 ha dan usaha pengumpulan hasil hutan getah pinus dan bambu.
Sebelumnya, dalam Perpres 44/2016, ratusan bidang usaha yang diproteksi sebagai domain UMKM dan koperasi antara lain usaha pewarnaan benang dari serat alam maupun serat buatan menjadi benang bermotif celup, ikat dengan alat yang digerakkan tangan; usaha batik tulis; usaha kain rajut khususnya border sulaman; usaha anyaman dari rotan dan bambu; usaha ukir-ukiran kayu non-mebeler; usaha alat-alat dapur dari kayu, rotan; pembuatan mukena, selendang, kerudung, dan pakaian tradisional lain; pembuatan gerabah tanah liat; pembuatan perkakas tangan untuk pertanian; bengkel sepeda motor yang tidak terintegrasi dealer; usaha pengeringan ikan; usaha makanan dari kedelai dan kacang-kacangan (selain kecap, tempe, dan tahu); usaha pembuatan kerupuk, keripik, rempeyek; pembuatan gula merah; atau usaha pengupasan dan pembersihan umbi-umbian; serta ratusan jenis usaha rakyat lainnya.
Hilangnya bidang-bidang usaha itu dari daftar penanaman modal bersyarat di dalam Perpres 10/2021 berarti pemodal besar dapat pula terjun ke bidang usaha tersebut.
Kisanak pembaca bisa membayangkan bukan? Apa yang terjadi jika usaha rakyat (UMKM) dan koperasi harus bertarung melawan pemodal besar untuk memproduksi dan memasarkan barang yang sama. Sudah pasti gulung tikar!
Bagaimanapun, skala usaha berpengaruh kepada harga. Kian besar modal, kian efisien biaya produksi, kian murah harga jual barang. Sulit membayangkan UMKM akan selamat sekalipun pemerintah memiliki program pendampingan berupa “kemitraan, pelatihan sumber daya manusia, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, akses pembiayaan, dan penyebaran informasi yang seluas-luasnya.”
Kita bisa menggunakan analogi pembinaan sepak bola remaja usia 12 tahun, misalnya. Untuk membina bakat pesepak bola usia tersebut, selain pelatihan professional, diadakan pula liga atau turnamen antarklub usia 12 tahun. Tidak pernah ada turnamen yang mencampur saja klub atau kesebelasan para pemain usia 12 tahun dengan kesebelasan yang berisi para pemain usia 19 tahun, dan para pemain professional. Jika itu yang dilakukan, tiada mungkin klub atau kesebelasan remaja 12 tahun bisa sekali saja memenangkan pertandingan.
Nah, demikian pula dalam perlindungan terhadap UMKM dan koperasi. Bagaimana bisa membayangkan produsen roti bermodal kecil bertarung melawan pabrik roti milik Indofood – yang menguasai bahan baku gandum, terigu, dll serta memiliki jejaring pemasaran yang menjangkau pelosok?
Lihat saja yang dahulu dialami para peternak ayam pedaging di Kota Kupang. Mula-mula, sebelum perusahaan besar masuk, ukuran 300an ekor ayam dalam satu periode budidaya sudah cukup ekonomis. Ketika sejumlah koperasi bermodal menengah masuk, standar skala ekonomis naik menjadi 2.000an ekor. Para peternak yang cuma punya modal memelihara 300 ekor gulung tikar sebab harga ayam potong lebih rendah dari biaya produksi mereka. Ketika perusahaan internasional perternakan ayam masuk ke Kupang, banyak peternak skala 2.000an ekor pun gulung tikar sebab harga jual ayam jatuh di bawah biaya produksi mereka.
Nah, saya kira kita cukupkan dulu pembahasan ini sampai di sini. Kita akan segera menyambungnya dalam artikel berikut yang akan membahas problem izin usaha minuman beralkohol yang sudah sempat diizinkan untuk sejumlah provinsi di kawasan Timur Indonesia tetapi segera dibatalkan lagi. (***)