Borong, Vox NTT- Rencana pembangunan Bandara di Tanjung Bendera, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, bukan baru terjadi di masa kepemimpinan Agas Andreas dan Stef Jaghur.
Pembangunan Bandara sudah diwacanakan sejak 2014, saat Yoseph Tote masih menjabat sebagai Bupati Manggarai Timur periode kedua.
Berikut catatan perencanaan pembangunan bandara di Tanjung Bendera yang berhasil dirangkum VoxNtt.com dari berbagai sumber.
Pada tanggal 28 Oktober 2014, dilaksanakan Sosialisasi AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan).
Pada bulan April tahun 2015, penyerahan tanah lokasi Bandara, tanpa melibatkan pemangku ulayat.
Pada tanggal 25 April 2015, sebagian Suku Motu mengirim surat keberatan atas penyerahan itu karena hanya ditandatangani Vinsensius Rodja sebagai kepala suku dan tidak direstui semua Motu. Tujuan surat ke Dirjen Perhubungan Udara RI, di Jakarta.
Pada bulan Oktober 2015, Pemda melakukan review penyerahan. Dalam review ini masih ada perbedaan pendapat di kalangan Motu. Ada yang menghendaki penyerahan cuma-cuma, ada yang menekankan adanya kompensasi merujuk pada UU Nomor 2 Tahun 2012, tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang disahkan Presiden DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 Januari 2012.
UU Nomor 2 Tahun 2012 mulai berlaku dan diundangkan oleh Amir Syamsudin, Menkumham RI dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 22 dan Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ke dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280 pada tanggal 14 Januari 2012 di Jakarta.
Pada poin 5 bagian penjelasan umum, ‘Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil’.
Perbedaan pendapat ini selanjutnya berakhir dalam pertemuan di Leke, Kelurahan Tanah Rata, pada awal Desember 2015.
Iren Laghung, utusan Motu Poso kepada VoxNtt.com, Kamis (03/06/2021), menjelaskan dalam pertemuan itu tercapai kesepakatan:
Pertama, klausul penyerahan cuma-cuma harus diubah menjadi menjadi dengan kewajiban pemerintah memberikan kompensasi kepada Suku Motu dan suku-suku di wilayah Rongga.
Kedua, penyerahan hanya berlaku satu tahun. Apabila dalam waktu satu tahun tidak terbukti keseriusan pemerintah membangun Bandara, maka penyerahan itu batal dengan sendirinya.
Ketiga, penyerahan harus melibatkan pemangku ulayat setempat.
Iren mengatakan, saat itu Yulius Diman selaku Kadis Perhubungan Kabupaten Manggarai Timur menjamin akan memasukan klausul tersebut ke dalam butir-butir perjanjian.
Tetapi praktiknya, kata Iren, ada sejumlah penyimpangan, seperti tanda tangan dilakukan door to door tanpa lampiran surat perjanjian berisi klausul yang disepakati. Yang menolak tanda tangan, namanya dicoret.
Menurutnya, Pemda Matim terburu-buru untuk segera melengkapi berkas demi mendapat izin prinsip.
Pemda melalui kadis terkait berjanji bahwa pada Januari 2015 awal akan digelar pertemuan penyerahan untuk menandatangani dokumen resmi.
Tetapi hal itu tidak dilakukan hingga masa kepemimpinan Yoseph Tote berakhir.
“Kalaupun Pemda mengacu pada dokumen tersebut maka tetap tidak sah, karena tanda tangan suku lain, seperti Suka dan suku-suku lainnya tidak pernah dilakukan pada bulan Desember. Dugaannya mereka copot lembaran dokumen penyerahan pertama yang ditandatangani bulan April lalu dilaporkan dalam dokumen kedua agar terkesan utuh,” jelasnya.
Dua tahun kemudian, kata Iren, Pemda mengundang suku-suku mengikuti rapat pengukuran tanah Bandara.
Ia menyebut, pemangku ulayat Roka dan suku-suku yang merasa ditipu Pemda Matim menolak itu.
Roka selanjutnya menulis surat keberatan atas penyerahan Motu ditandatangani penguasa adat tanah tertinggi Suka keturunan Rato Amenggaong dan pemangku ulayat berbatasan, Rombo, Ngara, Motu Poso.
Tiga klan Motu: Motu Poso, Motu Kaju di Leke, Motu Kaju di Wolomboro juga membuat surat penarikan tanda tangan dengan alasan Pemda sudah terang-terangan melakukan wanprestasi.
Pada tanggal 24 November 2020 dalam pertemuan penyelesaian masalah tanah Bandara, seperti biasanya terjadi keributan.
Pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pimpinan rapat Hiparius Jonta memutuskan akan memanggil suku-suku yang masih keberatan berdiskusi langsung dengan bupati.
“Tanpa realisasi, Pemda menggelar pertemuan di Kisol. Pertemuan di Aula Gereja St. Yoseph Kisol dilakukan pada Senin, 23 Mei tahun 2021 menurut Hilarius Jonta dilakukan atas insiatif oknum-oknum Suku Motu,” jelas Iren.
Cegah Konflik, Perhatikan Sejarah
Pieter Sambut, Tokoh Suku Motu Poso asal Kisol, menceritakan bahwa Suku Motu di kalangan Rongga Kisol terdiri dari klan Motu Pumbu dan Motu Kaju.
Motu Pumbu terdiri dari 4 sub klan dan Motu Kaju terdiri dari 3 sub klan, sehingga melahirkan Motu Woe Limarhua (Motu Tujuh Bersaudara).
Motu adalah satu suku yang memiliki enclave (daerah kantong) di wilayah Tanjung Bendera dan sekitarnya.
Ada beberapa suku lain yang juga memiliki enclave. Enclave-enclave itu memang otonom, tetapi berada di bawah yuridiksi ulayat Roka, yang terbentang dari Watu Wengga hingga Muku Lia.
Dari Muku Lia ke Wae Musur, menurut Pieter, berada di bawah yuridiksi ulayat Motu Poso.
Jadi, enclave Motu itu adalah milik komunal Motu Tujuh Bersaudara.
Motu Pumbu (Watunggong, Waekorok) tidak memiliki legitimasi untuk menyerahkan tanah atas nama Motu.
Apalagi dalam sistem kekerabatan orang Motu, Motu Pumbu adalah anak wina/ana fai.
Dengan demikian, kata Pieter, pemilik ulayat sah adalah suku Roka dan ini telah ditegaskan oleh Suku Suka Rato Ame Nggaong dan Suka Kelok sebagai pemberi hibah tanah ulayat ke beberapa suku di wilayah Matim Selatan.
Pieter pun menilai, penyerahan itu cacat prosedural dan materiil. Karena itu, harus diproses ulang dari awal sesuai dgn adat Rongga melibatkan suku pemangku ulayat dan suku-suku pemilik enclave di wilayah itu, sehingga tidak mewariskan beban sejarah bagi generasi Rongga berikutnya dan Pemda Matim ke depannya.
Sedangkan, terkait proses, Pieter menjelaskan, pelepasan tanah bakal dijadikan Bandara dilakukan sejak zaman Yoseph Tote sebagai bupati dan Agas Andreas sebagai Wabup.
Ia menegaskan, proses dan prosedur pelepasan sarat dengan intrik, manipulasi dan rekayasa.
Beberapa kali pertemuan tidak membuahkan hasil, bahkan terjadi keributan antarsuku, termasuk internal Suku Motu Tujuh Bersaudara.
Keributan bukan menolak kehadiran Bandara Tanjung Bendera, tetapi soal proses dan prosedur pelepasan yang tidak sesuai tata cara adat Rongga dan legal standing pihak yang menyerahkan sesuai dengan sistem kekerabatan dan status sosial dalam masyarakat Rongga.
Menurutnya, ada banyak tokoh “yang diciptakan” untuk memuluskan rencana Pemda Matim.
“Tokoh yang kristis dan menolak proses penyerahan yang cacat itu dihapus dari dokumen, termasuk nama saya dari Suku Motu Poso. Penandatanganan dilakukan dari rumah ke rumah dan bertahap. Karena itu Motu Kaju, Motu Poso dan sebagian sub klan Motu Pumbu menolak proses pelepasan yang penuh rekayasa itu dan meminta untuk diproses ulang,” tegas Pieter.
Kata Pieter, surat keberatan dan penarikan dukungan telah dilakukan berulang kali, tetapi tidak dihiraukan oleh Pemda Matim.
“Karena Pemda didukung sejumlah sosok Yudas Iskariot yang khianati leluhur dan sesama anak Rongga karena interese tertentu,” ujarnya.
Pemda Gegabah
Pieter menyebut bahwa Pemda Matim tampaknya tidak bijak dan gegabah dalam proses pengadaan tanah yang bakal dijadikan Bandara.
Menurutnya, sejak awal Pemda tidak membentuk tim untuk mengkaji keberadaan suku-suku di wilayah Rongga, mulai dari sistem kekerabatan, status sosial dan kepemilikan atas tanah komunal.
“Pemda terkesan cari jalan pintas, tidak peduli dengan berbagai keberatan dari suku-suku lain. Mereka percaya pada orang tertentu saja dan melakukan kesepakatan di “ruang gelap,” tanpa libatkan suku-suku lain. Ada apa? Apakah ada transaksi di ruang gelap itu, entahlah. Yang pasti Tanjung Bendera menjadi salah satu bom waktu yang meledak kapan saja,” ungkapnya.
Menurut dia, pembangunan Bandara masih jauh api dari panggang, tidak ada bayangannya. Yang dilakukan Pemda adalah mengamankan aset.
“Memang, Tanjung Bendera sudah jadi aset Pemda? Itu klaim sepihak. Proses dan prosedur penyerahan cacat prosedural dan cacat materiil sehingga dapat dikatakan ilegal. Selain itu, pelepasan tanah itu tidak sesuai dengan amanat UU No 2/2012. Tidak ada yang gratis,” tegasnya.
Ia mengatakan, dampak negatif sikap Pemda yang gegabah dan pengkhianatan yang dilakukan oleh suku tertentu akan melahirkan konflik horizontal.
Menurut Pieter, musuh orang Rongga adalah saudara sendiri. Jika terjadi konflik horizontal, maka Pemda harus bertanggung jawab.
Pemda dinilainya yang mengadu domba orang Rongga.
Dampak negatif lain, Aset mewariskan beban sejarah teramat berat bagi pemimpin Matim berikutnya.
“Masalah tanah bukan soal nyali, berani atau sertifikat, tapi keabsahan asal usul tanah tersebut dan legal standing para tokoh yang menyerahkan. Pemda Matim tidak belajar dari kasus tanah di Labuan Bajo. Gusti Dula, mantan Bupati Mabar yang seharusnya menikmati hari tua dengan menimang cucu, kini jadi pesakitan,” ujar dia.
Khusus untuk warga lokal, selain potensi konflik horizontal, demikian Pieter, akan proses marginalisasi secara sistematis yang dilakukan Pemda dan sesama anak Rongga yang kerja sama dengan Pemda.
“Orang lokal akan jadi alas kaki para elit, pemodal dan para pendatang. Orang Rongga akan teralienasi dari hingar bingar kemajuan di wilayah itu jika Bandara jadi. Menyedihkan memang,” tutupnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba