Ruteng, Vox NTT- Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat telah menerima untuk
melanjutkan proyek panas bumi di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.
Sikap Uskup Sipri tersebut tertuang dalam suratnya yang dikirim kepada Presiden Joko Widodo pada 29 Mei 2021 lalu.
Tembusan surat itu tertuju kepada Bupati Manggarai Barat, Gubernur NTT, Menteri Keuangan, Menteri ESDM , Menteri KLH dan Bank Dunia.
Dilansir Analisis News, Uskup Sipri dalam suratnya memberitahu Presiden Jokowi bahwa pemerintah melalui Tim Pengelolaan Sosial Proyek Panas Bumi Wae Sano telah melakukan berbagai kegiatan, “sosialisasi intensif maupun dialog yang transparan” dengan berbagai elemen, baik Gereja Katolik maupun warga Wae Sano.
Ia menegaskan, pihak Keuskupan Ruteng memahami dan dapat menerima penjelasan-penjelasan dari pihak pemerintah tentang beragam persoalan yang menjadi keprihatinan masyarakat Wae Sano.
Uskup Sipri juga mengapresiasi jaminan pemerintah atas keamanan proyek tersebut, di antaranya terkait eksistensi kampung dan situs adat, pembentukan lembaga pengaduan, serta komitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu poin rekomendasinya, yakni
menyediakan energi listrik terbarukan yang ramah lingkungan demi kemajuan bangsa dan wilayah Manggarai Barat.
Kemudian, pemerintah diminta untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Wae Sano serta melindungi dan mengembangkan integritas ciptaan dan warisan kultural setempat.
Meski demikian sikap Uskup Sipri, namun warga Wae Sono tetap bersikukuh menolak lanjutan pembangunan proyek geothermal.
Valentinus Emang salah satu perwakilan warga Wae Sano dalam siaran persnya yang diterima VoxNtt.com, Kamis (17/06/2021), mengaku masyarakat sering kali tidak dilibatkan dan tidak menjadi pihak “tujuan” dari Surat Rekomendasi Keuskupan Ruteng.
“Namun kami telah memperoleh dan mempelajari seluruh isi surat itu dari berbagai pihak, termasuk dari pemberitaan media,” pungkas Valentinus.
Menurut dia, pemerintah, perusahaan, dan lembaga keuangan terus berupaya untuk melanjutkan proses proyek geothermal Wae Sano.
Padahal hampir seluruh proses secara dominan dijalankan dengan pendekatan “jalur atas” (berbasis wewenang/kekuasaan), bukan pendekatan pelibatan warga-masyarakat secara sejati.
Tiga tahun terakhir juga, kata Valentinus, mereka belajar bersama dengan beragam komunitas warga terdampak geothermal dan jejaring perlawanan lainnya dari berbagai daerah di Indonesia.
Hal ini tentu saja sebagai salah satu bekal perjuangan di tengah dominasi informasi dan pengetahuan oleh pihak-pihak tertentu atas permasalahan kehidupan warga Wae Sano.
“Untuk itu, kami warga Wae Sano sebagai pemilik kampung, yang hidup dan mati di atas tanah dan air Wae Sano, telah membuat dan mengirimkan surat terbuka kepada Uskup Keuskupan Ruteng, Pemerintah, Perusahaan, dan sesama warga Flores serta sejumlah pihak lainnya,” terang Valentinus.
Ia menjelaskan, surat tersebut dibuat sebagai bentuk tanggapan resmi atas Surat Rekomendasi Keuskupan Ruteng, sekaligus ingin mempertegas sikap penolakan warga Kampung Wae Sano atas proyek geothermal.
Menurut dia, surat terbuka warga Wae Sano telah diantar langsung ke Keuskupan Ruteng pada Rabu, 16 Juni 2021, kemudian akan dikirim ke sejumlah pihak yang berkepentingan lainnya.
“Surat ini mempermasalahkan sejumlah hal, baik yang sudah dan tengah dilakukan pemerintah dan perusahaan, juga terkait surat rekomendasi Keuskupan Ruteng yang dikirim ke Presiden RI pada 29 Mei 2021 lalu, perihal rekomendasi tindak lanjut proyek geothermal Wae Sano,” ujar Valentinus.
Ia menegaskan, warga Wae Sano sejak awal usaha pelaksanaan proyek di tahun 2018 telah menolak dan tidak pernah memberikan persetujuan dan atau mandat ke pihak manapun agar proyek geothermal Wae Sano boleh dilanjutkan.
“Lantas, mengapa pemerintah begitu gencar untuk melanjutkan proses proyek geothermal Wae Sano yang jelas-jelas mengancam keselamatan dan ruang hidup kami warga kampung? Lalu, untuk dan atau mewakili kepentingan apa dan siapa Keuskupan Ruteng memberikan rekomendasi bagi keberlanjutan proses proyek geothermal Wae Sano, sementara kami warga pemilik kampung, pemilik persoalan, tetap konsisten menolak?” tukas Valentinus.
Kemudian, kata dia, proses pencarian “pemecahan menyeluruh”, sebagaimana tertuang dalam nota kesepahaman (MoU) antara Komite Bersama Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi dan Keuskupan Ruteng pada 2 Oktober 2020 lalu, telah menempatkan warga Kampung Wae Sano sebagai obyek yang harus “dipecahkan”.
Sebab itu, “pemecahan teknis” yang keluar adalah jalan memutar, yaitu dengan cara merelokasi akses penyelenggara proyek ke wilayah yang hendak ditambang panas buminya, maupun titik-titik penting pengeboran termasuk Wellpad A.
“Maka, bagi kami pemecahan menyeluruh jelas dan sederhana: batalkan proyek geothermal Wae Sano,” tegasnya.
Valentinus pun berpendapat, seandainya pemerintah dan Keuskupan Ruteng secara sungguh-sungguh hendak mencari tahu dan memahami lebih baik bahaya, risiko bencana, kemungkinan teknis reduksi risiko bencana tersebut, maupun mitigasinya, tidak terlalu sulit untuk menemukannya lewat suatu kajian komprehensif termasuk melalui pembandingan dengan proyek-proyek serupa di Indonesia maupun di luar negeri.
Di Desa Sibanggor Julu, Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal, misalnya, ekstraksi panas bumi yang berakibat pada kebocoran gas beracun di proyek geothermal PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) menyebabkan 5 orang tewas dan puluhan lainnya dilarikan ke rumah sakit pada 25 Januari lalu.
Tidak lama setelah itu, kebakaran kembali terjadi di area proyek yang sama, menyebabkan sebagian besar penduduk mengevakuasi diri.
Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 29 September 2018, di area proyek itu, dua anak tewas-tenggelam di kolam bekas penampungan perusahaan.
Demikian juga dengan penambangan panas bumi PLTP Ijen yang juga makan korban.
Kemudian semburan cairan panas bumi di proyek Rimbo Panti, Hulu Lais, Mataloko, serta sejumlah wilayah kerja panas bumi lainnya di Indonesia yang justru telah membawa dampak buruk bagi kehidupan, ruang produksi, dan kesehatan warga.
Dengan demikian, lanjut Valentinus, upaya pemerintah dan perusahaan, berikut surat rekomendasi Keuskupan Ruteng per tanggal 29 Mei 2021 itu telah gagal mempertimbangkan seluruh aspek risiko sosial serta risiko ekologis dari proyek penambangan panas bumi Wae Sano. Surat rekomendasi itu juga cenderung merekayasa keberatan dan penolakan warga Wae Sano.
Valentinus menambahkan, di balik upaya pemerintah dan pihak perusahaan pihaknya berkesimpula, bahwa sejak awal proyek ini memang tidak dimaksudkan sebagai tanggapan atas keberadaan dan keadaan kehidupan warga Wae Sano, melainkan merupakan turunan dari rencana-rencana pembangkitan listrik skala raksasa yang diputuskan dan bahkan didorong atau diminta oleh pihak pemberi hutang, termasuk Bank Dunia.
Apalagi, keberadaan warga Wae Sano sebagai yang punya rumah sendiri gagal dipertimbangkan sebagai pihak utama yang perlu dicantumkan dalam alamat tujuan dari Surat Rekomendasi Keuskupan Ruteng No. 154/II.1/V/2021.
“Sebaliknya, Bank Dunia sebagai perusahaan multilateral industri keuangan justru dicantumkan sebagai isi alamat,” tegas Valentinus.
Penulis: Ardy Abba