Yang Tak Menarik dari Jomblo
1/
Yang tak menarik dari jomblo
adalah waktu yang berjalan dalam lamban,
dan mawar yang tak takluk
karena gerimis jatuh ritmis kecil-kecil
2/
Yang tak menarik dari jomblo
adalah kebisuan waktu,
dan ruang yang menggigil
ketika aku memasukinya.
3/
Yang tak menarik dari jomblo
adalah kesepian puisi,
dan cerita yang raib
dalam ketidakpastian
Malam Minggu
Malam minggu ini bukan malam para jomblo,
kamu tidak perlu menghitung ketidakpastian. Sebab itu, tidurlah
dalam jomblomu malam ini! Siapa tahu ada yang diam-diam merindukanmu,
melepaskan jomblonya, dan masuk ke dalam tidurmu.
Terkesiap kau bertanya,
“siapakah yang meminta kau datang dalam rinduku?” Malam membagikan
Dingin. Diam-diam ia bertanya mengapa kau belum tidur? Menafsirkan
derap langkah hidupmu, menduga-duga sebab-sebab kejombloanmu.
Tiba-tiba kau masuk dalam rindunya. Ia pun terlelap dalam tidurmu. Lalu berkencan
di suatu tempat. Di mana tempat itu tak pernah ada di sana. Sekonyong-konyong bantal
menjelma menjadi kolam, kau menjenguk wajahmu, dan menimbang-nimbang sebab-sebab kau ada di sana.
Di tepi kolam, dengan menyesal kau duduk dan menangis, sambil menunggu seluruh usia.
Sudah Kuduga
Sudah kuduga tiap malam kau berkata begini;
rindu adalah mekar mawar pagi, bintang petang di Utara yang tak takluk karena kemarau, bayang-bayang fatamorgana Siang di jalan yang panjang, dan alunan viola yang berbisik pada malam. Kita pun mempermainkan waktu.
Kau mulai membaca sepotong sajak yang kutulis kala kota dihajar Covid-19, dan mayat-mayat yang tak sempat bertemu keluarganya dan dimandikan;
“kau adalah mata, dan aku adalah hari. Bilakah kita ada lagi setelah 24 jam?”
Kita pun menjelma jadi mata air, di mana segala air mengalir ke mata, dan entah batas hilirnya.
Kau teringat kata orang tua itu, air mata adalah perang antara hidup dan maut. Dan Kesepian adalah duri kaktus yang merambat di Padang gurun; hidup dengan kematiannya yang tak tercatat pada lembar bumi yang fana ini.
Tidur
Kita yang asyik menguap lebar-lebar sama sekali tidak ingat lagi akan beberapa adegan dalam mimpi yang sempat menjadikan kita asing, dari kita. Adegan mimpi yang sempat menjadikan kita asing, dari kita, berjalan tanpa arah; arah pun lupa jalannya, dan tak lagi ingin bertanya mengapa kita tiba-tiba hilang dari mimpi.
Kita melihat sepasang kupu-kupu berusaha menabrak kaca jendela itu, dan sepertinya, mereka ingin mengantar kita kembali ke dalam mimpi, atau menafsirkannya kepada kita; kalau-kalau kita sama sekali tidak bisa menemukan kembali mimpi itu.
Kita tidak memandang matahari yang tidak peduli dengan mimpi kita, yang menyebabkan kita bangun untuk tidur lagi. Konon, kata mereka, pernah ada orang takut tidur, karena orang itu menemukan dirinya sedang mati di dalam tidurnya. Ia memang tahu ia sedang berada di dalam mimpi, tapi kemudian ia takut menghadapi dunia di luar mimpi.
Ketika ia terbaring, suka membayangkan dirinya sebagai mimpi saja; menyerang siapa saja. Ketika ia terbangun pagi hari, ia bertanya untuk apa? Ketika ia mengantuk sebelum siang, ia bertanya mau ke mana? Ketika ia mau tidur malam, ia bergumam kapan lagi?
Tapi tiba-tiba aku terkejut, risau dan bertanya mengapa ada orang takut tidur? Bukankah tidur adalah fragmen-fragmen kecil di mana kita latih hidup di ruang abstrak, tak ada batasnya itu. Kita pun tidak perlu susah payah mencari nafkah, korupsi, merampok, mengaborsi, memperdagangkan sesama, perang membela Tuhan dan berjalan di atas tanah kering itu? Tidur adalah latihan kecil-kecil membebaskan diri dari persaingan hidup tanpa kendali ini.
Tidur adalah lambang kematian yang begitu akrab, dan terlalu nikmat. Itulah sebabnya orang-orang sudah mati malas bertamasya ke bumi, dan tiap saat memperjuangkan keabadiannya di sana.
Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NTT.