Oleh: Bruder Yulius Sudir, SVD
Protokol Palermo memberikan definisi hukum tentang perdagangan manusia yang saat ini telah disepakati secara internasional.
Pasal 3 ayat (a) mendefinisikan perdagangan manusia sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk paksaan lainnya, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuaasaan atau posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau manfaat untuk mencapai persetujuan dari seseorang yang memiliki kendali atau orang lain untuk tujuan pemerasan.
Pemerasan harus mencakup, sekurang-kurangnya, pemerasan pelacuran orang lain atau bentuk pemerasan seksual lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan, kerja paksa atau pengambilan oragan.
Protokol Palermo mendefinisikan perdagangan anak (anak di bawah 18 tahun) sedikit berbeda bahwa dalam kasus seperti itu tidak perlu menunjukan adanya penggunaan kekuatan.
Yang diperlukan hanyalah menunjukan bahwa telah terjadi sesuatun tindakan perekrutan, pengangkutan, pemindahan atau penadahan seorang anak untuk tujuan pemerasan.
Unsur-unsur definisi yang telah disepakati secara internasional menjadi dasar untuk menuntut kejahatan perdagangan manusia.
Catatan: Protokol Palermo yang melengkapi konvensi PBB menentang kejahatan transnasional yang terorganisasi hanya berlaku untuk pelanggaran yang bersifat transnasional yang melibatkan kelompok- kelompok kriminal terorganisadi.
Tetapi dari definisi itu memberikan sekurang-kurangnya titik tolak yang bermanfaat untuk melakukan aksi lebih lanjut berperang melawan kejahatan kemanusiaan yaitu perdagangan manusia.
Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perdagangan orang (human trafficking) adalah:
Pasal 1 (ayat 1); tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuian, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Pasal 1 (ayat 2); Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Artinya bahwa subtasi hukum bersifat formil karena berdasar pembuktian atas tujuan kejahatan trafficking, hakim dapat menghukum seseorang.
Dari definisi-defnisi tersebut di atas, perdagangan manusia atau perdagangan orang mengandung dua unsur pokok yaitu jika dalam hal ini yang menjadi korban TPPO adalah orang dewasa (usia 18 tahun) maka unsur-unsur trafficking yang harus dipenuhi adalah proses (pergerakan), cara, dan tujuan (eksploitasi).
Apabila korban adalah anak-anak di bawah umur (usia belum 18 tahun) maka unsur-unsur trafficking yang harus dipenuhi adalah proses (pergerakan) dan tujuan (ekploitasi) tanpa harus memperhatikan cara terjadinya trafficking.
Apakah ada proses (pergerakan) seseorang yang diduga menjadi korban TPPO melalui direkrut, ditransportasi, dipindahkan, ditampung, atau diterimakan di tempat tujuan sehingga seseorang menjadi korban TPPO.
Sedangkan unsur cara, apakah seseorang yang patut diduga korban TPPO ada tindakan diancam atau tidak, dipaksa dengan cara lain, diculik, menjadi korban pemalsuan, ditipu atau adanya penyalahgunaan kekuasan atau tidak sehingga seseorang disebut korban TPPO.
Dari unsur tujuan (ekploitasi) apakah seseorang yang diduga korban TPPO tereksploitasi secara seksual, perbudakan, kerja paksa, praktik-praktik lain dari perbudakan seperti pengambilan organ-organ tubuh, ya atau tidak, sehingga seseorang disebut korban TPPO.
Di Indonesia, Tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO) dari tahun ke tahun terus meningkat. Wanita dan anak-anak menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kejahatan TPPO.
Menurut International organization Migration (IOM), pada tahun 2020, TPPO mengalami peningkatan sebesar 154 kasus atau 80%, baik lintas negara maupun di dalam negeri sendiri (dipublikasikan oleh Republika CO.ID, Jakarta, Kamis, 08-08-2021).
Dari catatan IOM ini, menunjukan bahwa Indonesia sesungguhnya menjadi negara darurat human trafficking yang harus segera diambil tindakan untuk segera di berantas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi adanya TPPO di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun:
Pertama, faktor internal. Indonesia secara geografis adalah negara kepulauan yang memberi peluang terjadinya TPPO melalui jalur laut.
Kemudian, Indonesia sangat dekat dengan negara-negara penerima jasa TKI, baik yang legal maupun yang ilegal.
Lalu, kemiskinan, lapangan kerja terbatas, pengangguran yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan pendidikan yang rendah.
Tidak hanya itu, faktor lain seperti lemahnya pengawasan dan koordinasi antarlembaga.
Kedua, faktor eksternal. Perkembangan teknologi, informasi dan transportasi yang semakin maju mempermudah aktivitas TPPO.
Kemudian, permintaan dan kebutuhan perusahaan besar dunia akan tenaga kerja terus meningkat. Bahkan arus jutaan migran bermigrasi dari satu negara ke negara lain.
Apa solusi yang harus kita buat untuk menggunting agar jaringan TPPO yang merupakan kejahatan kemanusiaan putus?
Pertama, pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah segera melakukan tindakan pencegahan terhadap TPPO, yitu dengan cara “ memberdayakan ekonomi” masyarakat.
Ribuan orang tergiur mencari kerja ke luar negeri maupun dalam negeri, mereka ingin memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Apalagi si korban diiming-iming gaji yang besar.
Dengan kata lain bahwa mereka menerima tawaran atau pergi mencari kerja keluar negeri atau dalam negeri karena perut mereka lapar. Jika mereka kenyang dalam hal ini ekonomi mereka cukup, tidak mungkin mereka meninggal kampung halamannya untuk pergi mencari sesuap nasi.
Kedua, pemerintah bekerja sama dan berkoordinasi antarlembaga untuk membuka lapangan kerja baru.
Dengan membuka lapangan kerja baru sampai ke daerah-daerah, masyarakat tidak perlu pergi mencari atau menerima tawaran kerja keluar daerahnya.
Ketiga, pemerintah membuka balai pelatihan kerja bagi masyarakat yang pendidikannya sebatas SD, SMP, dan SMA sehingga mereka mampu untuk menciptakan lapangan kerja sendiri.
Keempat, pemerintah harus memperbaiki sumber daya manusia khususnya di desa-desa. Sumber daya manusia yang berkualitas tidak mudah terpengaruh atau terbawa arus oleh berbagai informasi yang kebenarannya tidak pasti.
Sebaliknya sumber daya manusia yang rendah akan mudah menjadi korban TPPO karena tidak menggunakan cara berpikir yang benar, pengetahuannya sangat terbatas.
Kelima, sosialisasi tentang bahaya kejahatan TPPO harus secara terus-menerus dilakukan baik di sekolah-sekolah, kelompok-kelompok kategorial dan masyarakat di wilayah yang sangat rentan dengan kejahatan TPPO.
Sosialisasi kepada kelompok- kelompok kategorial sangat penting karena kelompok ini membatu kelanjutan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya kejahatan TPPO.
Masyarakat yang ada di pelosok-pelosok di seluruh wilayah Indonesia mungkin pengetahuan mereka tentang TPPO sangat minim bahkan mungkin sama sekali tidak tahu.
Sehingga ketika ada orang atau sekelompok orang yang datang menawarkan pekerjaan ke luar negeri atau dalam negeri dengan gaji yang cukup besar mereka langsung menjawab ‘ya’ tanpa berpikir kritis, benar atau tidak.
Tidak masuk akal sehat hanya tamatan SD atau SMP bisa kerja ke luar negeri dengan gaji yang besar.
Beda dengan orang sudah mendapat pengetahuan atau pencerahan tentang bahaya kejahatan TPPO walaupun ia hanya sebatas tamatan SD atau SMP, ketika ada orang menawarkan untuk bekerja ke luar daerah, ia pasti menolak.
Keenam, adanya kerja sama dan koordinasi antarlembaga dalam hal sistem pengawasan terhadap TKI yang hendak bekerja ke luar negeri.
Di sini, kerja sama dan koordinasi antarlembaga terkait sangat penting dalam memberantas kejahatan TPPO yang adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat menakutkan manusia dewasa ini dan itu akan membuat tindakan semua orang lebih cepat dan efektif, baik di tempat asal, di tempat transit atau di tempat tujuan.
Namun ada orang yang tidak mau peduli ketika ada dugaan bahwa ada TPPO di sekitarnya. Ia diam, mungkin ia terlibat di dalamnya.
Jadi tidak sedikit kasus TPPO yang diketahui publik atau dilaporkan ke lembaga-lembaga terkait agar diproses secara hukum.
Paus Fransiskus, dalam dialog dengan peserta di Hari Doa Sedunia, refleksi dan aksi menentang perdagangan manusia.
Dalam kesempatan itu, Paus fransiskus menyampaikan: “Jelas ada banyak ketidaktahuan tentang masalah perdagangan manusia. Namun kadangkala tampak hanya ada sedikit kemauan untuk memahami ruang lingkup masalh ini, mengapa? Karena perdagangan manusia itu memalukan. Lalu ada mereka yang meskipun mengetahui hal ini, namun tidak mau berbicara tentangnya, karena mereka menjadi bagian akhir dari ‘rantai pasokan’ pemakai layanan ini, yang dijajakan di pinggir jalan atau internet.”
Mungkin tidak sedikit orang yang sungguh memahami bahwa TTPO merupakan kejahatan kemanusiaan yang merampas seluruh hak yang melekat dalam diri korban termasuk hak untuk hidup yang sangat memalukan dan menghancurkan hidup si korban. Ini sangat menyedihkan, ini kejam, ini kriminal”.
TPPO yang sangat menakutkan ini akan berkurang atau hilang dari bangsa dan negara kita ini. Semua orang menyadari bahwa ini adalah tugas kita semua untuk melawannya.
Jadi kita bukan hanya melawan Virus Corona yang sedang melanda dunia saat ini khususnya Indonesia, tetapi kita juga harus berperang melawan kejahatan perdagangan orang sudah sekian lama menjadi wabah bagi kelompok yang rentan dengan kasus iniyakni perempuan dan anak-anak.
Kalau semua pihak bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik, cepat dan efektif, TPPO di negara kita ini pasti akan menurun dari tahun ke tahun.
Tenggarong, Kutai Kartanegara, 18 Agustus 2021
Penulis berasal dari Kampung Lengko Ajang- Manggarai Timur, NTT. Kini sebagai Koordinator JPIC Keuskupan Agung Samarinda, Kalimantan Timur. Ia juga sebagai aktivis pemerhati masalah sosial, politik dan kemanusiaan.