Potret Indonesia

:Agustus-September

Di kota ini sirene ambulans nyaris tak letih

Lampu-lampu kota merekam; diam

Kita teringat tiga kalimat pendek yang sempat dipahat pada dinding kota;

Urus saja korupsimu, jangan mural-mural kami,

Mural-mural kami adalah otoritas kami

Tuhan, kami lapar

Beberapa tahun kemudian mural-mural pun dihapuskan dengan sederhana

Binatang malam melengking

Kita pun membisu penuh seluruh

Sementara manusia setengah dewa di langit buta

Tuli seperti mereka

Tapi lapar abadi

Telat Enam Bulan

1/

Pada dinihari 

seorang gadis kecil keluar dari sebuah kamar

Merayakan kematiannya detik demi detik

Menghentikan waktu yang meluncur begitu cepat di kamar kecil itu

“Pulang dari mana, Ine?” tanya pastor muda 

yang menunggu sejak gadis kecil itu masuk ke dalam kamar kecil itu.

“Hehehe. Dari dalam, pastor.” ujarnya dengan sedikit kaget dan gemetar.

“Buat apa, Ine?”

“Semalam kerja tugas pelajaran biologi dengan Professor.”

2/

Pada siang hari

Gadis kecil itu 

belajar menahan sakit entah apa,

Merawat lara di kamar kecilnya berbulan-bulan

“Tugas pelajaran biologi ini 

bagus sekali, ada praktiknya lagi, apalagi

dengan profesor yang luar biasa bijak itu. 

Akan kujadi kenangan terindah.”

3/

Pada malam hari, beberapa bulan kemudian

Gadis kecil itu

Menerobos masuk ke kamar kecil professor

Lalu duduk dan menangis

“Professor tahu lagu dari Jamrud itu?”

“Yang mana, Ine?” 

“Telat 3 Bulan itu. Tapi saya sudah bulan keenam, Professor.”

“Saya lupa menghitung.”

Di Jembatan

Di jembatan itu dua orang yang entah namanya sibuk bergantian memotret, 

dan Tiktok dengan lagu-lagu dari negeri Korea

Orang-orang yang menyaksikan mereka bingung dan bertanya-tanya

Mereka pun bingung mengapa

Sungai di bawah jembatan mengalirkan air mata, keringat yang menggigil,

darah yang mendidih, remah-remah tulang karena dibanting seharian. Semuanya itu

mengalir dari sumber yang sama; orangtua. Tapi mereka mati rasa,

dan narsis di pinggir-pinggir jalan. 

Dua hari kemudian mereka ditemukan mati digilas truk tangki tikungan tajam

Mereka tidak lagi dikenal siapa-siapa,

Di seberang sana mereka saksikan orang-orang memotret pandangan di taman Firdaus, 

Tapi mereka tidak bawa kamera, dan tidak tahu bagaimana cara kembali ke rumah.

Sementara tangan dan kakinya puntung, mereka ingin kembali.

Di jembatan arwah mereka mengganggu siapapun yang lewat pada malam Jumat di sana.

Tapi mereka tidak lagi bisa Tiktok dan bergantian memotret.

Melki Deni, Mahasiswa STFK LEDALERO-MAUMERE-FLORES-NTT, menulis banyak karya sastra pada tingkat lokal dan nasional.