Kupang, VoxNtt.com-Masalah program pengadaan pakaian seragam, tas sekolah dan buku tulis dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk siswa tidak mampu, yang sempat menyita perhatian publik selama ini, kian terang.
Pasca menyeruaknya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, kini giliran Koalisi Jurnalis Investigasi (KJI) NTT merilis temuan baru dari lapangan.
Joy, siswa kelas XI SMAN 1 Kota Kupang yang merupakan penerima bantuan saat ditemui KJI di kediamannya, menerangkan, bantuan seragam yang diterimanya mubazir karena tidak pernah digunakan. Pantauan KJI, seragam bantuan itu masih tergantung di antara pakaian-pakaian lain di Lemari milik Joy yang terletak di Pojok Kamar. Kondisinya masih baru dan belum terpakai.
“Beta (Saya) tidak pernah pakai seragam itu,” ujar Joy kepada tim liputan Klub Jurnalis Investigasi NTT, pada 2 September 2021.
Seragam itu diterima Joy saat masih duduk di kelas 3 SMPN 2 Kota Kupang. Pakaian itu tak pernah digunakan lantaran diberikan Pemerintah Kota Kupang saat Covid-19 tengah melanda NTT, dan seluruh sekolah diwajibkan menerapkan kelas daring. Dimana para siswa mengikuti pelajaran dari rumah.
Selain karena pandemi, pemberian bantuan seragam itu menjadi sia-sia karena seragam yang diterima Joy kekecilan, tidak sesuai dengan ukuran tubuh Joy. “Masih ada dalam lemari, seragamnya kekecilan sehingga tidak bisa dipakai, apalagi waktu itu Covid-19,” ujar Joy.
Joy merupakan siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Orang tuannya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Itu sebabnya, ia tercatat sebagai salah satu penerima bantuan seragam, buku dan tas sekolah.
Namun, seperti halnya seragam, tas sekolah tak dapat digunakan karena Kota Kupang ikut menerapkan kebijakan sekolah dari rumah saja. Joy, tak membutuhkan tas untuk mengisi buku-bukunya saat mengikuti pelajaran secara daring dari rumah.
Tas hitam dan Buku tulis bersampulkan gambar pasangan Wali Kota Kupang dan Wakil itu pun masih terlihat baru, meski sudah berbalut debu cukup tebal.
Buku-buku dengan tulisan “Ayo Belajar untuk Masa Depan” di sampulnya tergeletak begitu saja bersama buku lain di atas rak buku. Itu semua akhirnya sia-sia. Seragam dengan harga tergolong mahal tergantung rapi di Lemari, sementara tas masih terbungkus rapi dalam pelastik bening penuh debu.
Tak hanya Joy. Kisah serupa, dialami siswa lainnya, Ceasar Lambila. Ceasar bahkan dua kali mendapat bantuan pakaian seragam dari Pemkot Kupang. Namun, seragam bantuan tersebut tidak digunakan lantaran Ceasar mempunyai seragam, tas dan buku-buku yang cukup.
Beruntung, Ceasar punya hati, sehingga bantuan itu tidak mubazir, karena Ia menghibahkannya ke siswa lain yang menurut Ceasar lebih membutuhkan. “Beta berikan ke siswa lain yang dianggap tidak mampu,” tuturnya.
Ceaser merupakan siswa di salah satu sekolah swasta terkenal di Kota Kupang. Secara kasat mata, Ceasar berasal dari keluarga yang tergolong mampu, sehingga Ia tak layak menerima bantuan tersebut.
Namun kemurahan hati Ceasar, sehingga setiap kali menerima bantuan dari Pemkot Kupang, Ceasar langsung serahkan ke siswa lain yang dianggapnya lebih membutuhkan.
“Saya sudah punya semua, seragam yang diterima langsung saya kasih ke orang, sekalian berbagi berkat melalui saya,” kata Ceasar.
Program Dipaksakan
Sejak Pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan sosial (Social Distance) untuk menghindari kerumunan, termasuk melarang pertemuan tatap muka antar-Guru dan Siswa di semua sekolah. Para siswa, mengikuti kegiatan belajar mengajar dari rumah menggunakan aplikasi daring. Kebijakan tersebut sebagai langkah antisipatif dalam mencegah penularan virus corona.
Dengan diterapkannya aturan tersebut, maka seragam dan tas sekolah bukanlah kebutuhan yang tergolong mendesak. Adapun yang mendesak saat itu ialah paket data dan fasilitas lain yang dapat menunjang pelaksanaan kelas daring. Meski begitu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang pada 2019 dan 2020 malah ngotot membuat program pengadaan pakaian seragam dengan alasan, demi memenuhi program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Anggarannya pun cukup fantastis, pada 2020, pemerintah mengalokasikan Rp 9,5 miliar melalui Dana Alokasi Khusus (DAU). Sempat ditolak DPRD Kota Kupang, karena dinilai tidak bermanfaat di tengah pandemi Covid-19, di mana tidak ada sekolah yang melakukan tatap muka.
“Dalam keadaan pandemi, anak–anak tidak sekolah, kenapa dianggarkan? Itu tidak dibutuhkan,” kata Wakil Ketua DPRD Kota Kupang, Padron Paulus saat ditemui tim Koalisi Jurnalis Investigasi (KJI) di gedung DPRD.
Penolakan ini menyebabkan pembahasan anggaran untuk pengadaan seragam ini berlangsung alot di DPRD Kota Kupang. Meski pada akhirnya, tetap disahkan.
Namun di tengah perjalanan, proyek ini dianggap tidak bermanfaat. Sebab, bantuan seragam yang diterima banyak yang tidak sesuai. Bagaimana tidak, para penerima bantuan tidak pernah diukur tinggi dan lebar badannya. Alhasil, setelah diserahkan, ukuran seragam tidak sesuai dengan ukuran fisik penermia. Ada yang ukurannya terlalu besar dan ada yang terlalu kecil.
Kondisi ini kemudian kembali dikritik DPRD. Perdebatan panas di persidangan pun tak terelakan. Akibatnya, sidang sempat dihentikan hingga akhirnya dikonsultasikan atau diasistensi ke Pemerintah Provinsi NTT. Pada akhirnya, pemerintah tetap ngotot melanjutkan proyek dengan alasan seragam, tas dan buku tulis diperlukan. Sementara, DPRD merasa tidak ikut bertanggung jawab terhadap proyek ini bahkan hasil asistensi ke Pemprov, disebut Padron tidak diketahui DPRD.
“Hasil asistensi pun kami tidak tahu seperti apa. Kami tidak setuju tetapi tetap saja disahkan,” kata Padron Paulus.
Charisal Manoe, Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK NTT, sekaligus anggota Jaringan Masyarakat Antikorupsi (JANGKAR), mengatakan, proyek pengadaan pakaian seragam sekolah tahun 2020 patut dipertanyakan karena dilakukan saat pendemi Covid-19.
”Kita temukan beberapa indikasi penyimpangan dalam pengadaan seragam dan terkesan dipaksakan, kemungkinan dugaan korupsi kita akan dalami lagi,” ucapnya.
Beberapa temuan tersebut, jelas Manoe di antaranya, sidang pembahasan KUA PPAS tahun 2020. DPRD Kota Kupang sempat menghapus alokasi anggaran untuk pengadaan seragam. Hal itu memantik reaksi keras Pemkot hingga tidak mau melanjutkan sidang, sampai DPRD mengakomodir keberatan pemerintah, yang di dalamnya terdapat kegiatan pengadaan seragam sekolah.
Alasan Pemerintah, program tersebut telah direncanakan sebelum pandemi Covid-19. Sehingga, walau dinilai tidak tepat sasaran, karena sejak Maret 2020 semua kegiatan di sekolah dihentikan karena pandemi Covid-19 dan kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring, pemerintah bersikeras mendistribusikan bantuan ini, karena dianggap sudah sesuai perencanaan.
Di lapangan, KJI menemukan fakta bahwa pengadaan dan pendistribusian bantuan ini tidak diikuti dengan pendataan secara akurat. Misalnya, ukuran pakaian seragam dan kebutuhan siswa. Hal ini berdampak pada banyak siswa yang mendapatkan pakaian seragam, namun tidak dapat digunakan karena kekecilan maupun kebesaran.
Selain itu, terdapat juga siswa yang dianggap tidak layak menerima bantuan alias berasal dari keluarga mampu justru mendapat bantuan. Kebijakan penyaluran pun diserahkan sepenuhnya pada sekolah. Semua siswa diklaim mendapatkan seragam tersebut.
Hal ini diduga bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) PP 12/2019 yang menyatakan “Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, manfaat untuk masyarakat, serta taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Wali Kota Terkesan Cuci Tangan
Ditemui pada Jumat, 24 September 2021, usai sidang Rancangan Kebijakan Umum Perubahan APBD Kota Kupang tahun anggaran 2021, Wali Kota Kupang, Jefri Riwu Kore enggan berbicara banyak soal proyek ini. Sambil bergegas menuruni anak tangga menuju mobil hitam bernomor polisi DH 1. “Tanya Kadis saja,” ucapnya sambil menutup pintu mobil lalu meninggalkan gedung DPRD Kota Kupang.
Semnatar, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dumuliahi Djami ketika dikonfirmasi di kantornya di Jalan SK. Lerik, mengatakan, tidak mengetahui kapan pendemi Covid-19 berakhir. Namun, pemerintah merasa program ini dibutuhkan untuk melayani masyarakat.
Soal dugaan pelewengan anggaran dan tidak tepat sasaran disebut Djami sebagai hak setiap orang untuk menilai. “Hak semua orang untuk bicara. Tapi kalau memang ada data bahwa terindikasi ada korupsi, lapor pihak berwenang. Bagi saya tidak ada masalah,” tandasnya.
Ia menjelaskan, dasar pengadaan seragam sekolah tetap dilaksanakan pada 2020 meski pendemi Covid-19, karena meski siswa melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), mereka tetap disyaratkan mengenakan seragam. “Kalau kami ini jelas, meski PJJ, siswa harus pakai seragam. Bagi kami tidak ada yang mubasir,” katanya.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Kupang beralasan bahwa program pengadaan seragam sekolah yang sudah dilaksanakan sejak 2019 dan 2020 ini menjadi program yang tetap diadakan untuk melayani masyarakat. Pada 2021, Pemkot Kupang bahkan menggelar kembali pengadaan seragam sekolah dengan anggaran sebesar Rp 6.065.774.000. Rencananya, seragam ini akan dibagikan kepada siswa PAUD, SD dan SMP.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pengadaan seragam dan perlengkapannya, Sri Wahyuningsih, mengatakan, proyek pengadaan seragam sudah berdasarkan perencanaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Pihaknya tidak menyangka akan ada pendemi Covid-19.
“Proyek ini disiapkan oleh pemerintah dengan prinsip untuk membantu masyarakat yang sasarannya untuk anak sekolah, tahun 2020 kita tidak tahu ternyata ada pendemi. Proyek ini juga sudah melewati kajian dan tahapan, bukan hanya bermimpi dan langsung jadi,” katanya.
Program ini diklaim sudah disusun dalam perencanaan program kerja pimpinan daerah jangka panjang maupun perencanaan satu tahun. Hal ini sesuai dengan visi dan misi yang diterjemahkan, kemudian dimasukan dalam dokumen RKPD, lalu KUA-PPAS sehingga menjadi DPA.
“Proyek tersebut sudah ada dalam dokumen penganggaran. Walau pendemi, tapi di sini kita meningkatkan ekonomi, jadi proses itu tetap jalan,” jelasnya.
Meski diklaim sebagai program yang sudah direncanakan, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTT menemukan sejumlah kejanggalan di proyek pengadaan seragam ini.
Dokumen audit laporan keuangan pemerintah Kota Kupang tahun 2020 Nomor 100.B/LHP/XIX.KUP/05/2021 tertanggal 27 Mei 2021 ini menyebutkan, hasil pemeriksaan secara uji petik menunjukkan bahwa masih terdapat kesalahan penganggaran senilai Rp 9.299.225.000 atas anggaran dan realisasi jenis belanja. Ada pula kesalahan penganggaran belanja barang dan jasa belanja pakaian dan perlengkapannya.
Laporan BPK tersebut menuliskan, permasalahan muncul karena Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, terkait selaku Penggunan Angaran dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), kurang cermat dalam menyusun dan melakukan verifikasi atas kesesuaian anggaran belanja dalam dokumen anggaran (RKA/DPA) dengan jenis belanja dan substansi kegiatannya.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang menganggarkan belanja barang dan jasa berupa belanja pakaian seragam dan kelengkapannya sebesar Rp 9,318.225.000 dengan realisasi sebesar Rp 9,299.225.000. Dari realisasi tersebut, terdapat program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merupakan pembagian seragam dan tas sekolah untuk siswa SD dan SMP se-Kota Kupang.
Pekerjaan pengadaan seragam sekolah SD dan SMP dilaksanakan oleh CV. Abadi Timor Raya (ATR) beralamat di jalan Gerbang Media, Kota Kupang. Penanggung jawab perusahaan tercatat, Yanton Baba sesuai dalam Surat Izin Usaha Perdagangan Menengah (SIUP-M) yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu tertanggal 9 Maret 2020.
Proyek pakaian seragam dengan kontrak nomor 463/DISDIKBUD.007/DIKDAS/IV/2020 tanggal 28 April 2020 senilai Rp 5.198.935.000 menggunakan DAU. Pekerjaan selesai dilaksanakan 100 persen berdasarkan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan nomor 1297.A/DISDIKBUD.007/DIKDAS/VIII/2020 tanggal 26 Agustus 2020 dan telah dibayar lunas 100 persen berdasarkan SP2D terakhir bernomor: 2354/BL/LS/DAU/1.01.01.01/2020 tanggal 20 November 2020 sebesar Rp 4,159.140.000.
Sesuai dokumen pelaksana anggaran tercantum harga satuan belanja seragam sekolah SD dan SMP senilai Rp 100.000,- dengan jumlah 53.000 helai. Totalnya menjadi Rp 5,3 miliar. Sementara pengadaan tas sekolah SD dan SMP tercatat Rp 100 ribu per helai dan berjumlah 41.452 helai, dengan nilai total Rp 4,145 miliar.
Atas temuan tersebut, BPK merekomendasikan Wali Kota Kupang agar menginstruksikan kepada Kepala Dinas terkait dan TAPD untuk membuat pernyataan komitmen, untuk menjamin agar permasalahan kesalahan dalam menganggarkan belanja barang dan jasa serta belanja modal tidak terjadi lagi.
Direktur CV Abadi Timor Raya, Yanton Baba, membenarkan bahwa perusahaannya menjadi pemenang proyek tersebut pada 2020. Seragam didatangkan dari Semarang, Jawa Tengah. Harga tiap pasang seragam disesuaikan dengan nilai Harga Perkiraan Sementara (HPS) yang tertuang dalam kontrak yakni seharga Rp 100 ribu.
Harga tersebut, katanya, termasuk pajak dan keuntungan. “Pada saat ikut tender dan dapat pekerjaan proyek itu, seragamnya didatangkan dari Semarang, harga itu sudah termasuk pajak dan keuntungan,” kata Yanton.
Penelurusan Tim KJI menunjukkan harga pakaian seragam yang dijual eceran di toko lokal Kota Kupang berbeda tergantung ukuran dan jenis kain. Untuk harga baju ukuran mulai ukuran nomor 1 seharga Rp 55.000, dan nomor 13 senilai Rp 85.000.
*
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi sejumlah media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Nusa Tenggara Timur.
Tim Liputan: Lidya Radjah (nttterkini.id), Polce Siga (Victory News), Gerry Rudolf (AFBTV), dan Tarsi Salmon (VoxNtt).