Oleh: Bruder Yulius Sudir, SVD
(Koordinator JPIC Keuskupan Agung Samarinda)
“Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan laki-laki. Perempuan adalah rekan kerja laki-laki yang senantiasa dihormati akan eksistensinya sebagai makhluk yang bermartabat. Laki-laki tidak mempunyai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan apapun alasannya”.
Manusia laki-laki dan perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama. Dalam arti bahwa derajat laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan.
Laki-laki dan perempuan juga memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Tetapi kenyataannya berbicara lain. Tidak sedikit kaum perempuan mengalami ketidakadilan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya.
Kaum perempuan terus menjadi korban, baik yang terungkap maupun yang tak terungkap di depan publik.
Tindak kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari waktu ke waktu, baik secara global maupun regional.
Kaum perempuan terus menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang mulai dari dalam keluarga, lingkungan masayarakat maupun dalam ranah negara.
Seringkali terjadi pelecehan terhadap harkat dan martabat perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sama seperti laki-laki yang sesungguhnya harus dihormati.
Kita ketahui bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan suatu peristiwa baru dalam kehidupan kita zaman ini.
Kekerasan ini sudah terjadi dalam kehidupan hampir semua masyarakat di dunia.
Kalau kita kembali mengingat beberapa tahun yang silam, kita dapat mengetahui bahwa praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi.
Misalnya, kasus pemerkosaan massal yang menimpa kaum perempuan etnis Tionghoa pada bulan Mei 1998 silam, KDRT, perdagangan manusia, dan berbagai kasus kekerasan lainnya yang disiarkan melalui berbagai media elektronik dan media cetak maupun yang tak diketahui di ranah publik.
Dalam masa pandemi virus Corona juga ada peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Lalu dalam tataran ini kita bertanya: “Di manakah martabat seorang perempuan yang sama seperti laki-laki?
Berhadapan dengan realitas seperti ini, kita perlu melihat kembali sejarah penciptaan manusia dan seluruh ciptaan.
Tuhan yang adalah pencipta menciptakan semua ciptaan baik adanya termasuk makhluk ciptaan yang paling mulia, yakni laki-laki dan perempuan.
Tuhan menciptakan situasi damai untuk semua makhluk ciptaan termasuk manusia, bukan situasi pertikaian yang penuh dengan kekerasan.
Antara laki-laki dan perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama. Keduanya harus saling melengkapi bukan saling menindas dan saling melecehkan.
Laki-laki tidak mengganggap dirinya lebih tinggi martabatnya dari perempuan atau sebaliknya perempuan menganggap dirinya lebih tinggi dari laki-laki.
Sehingga tidak ada alasan terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan laki-laki.
Di sini, Allah menciptakan perempuan sebagai rekan kerja laki-laki, bukan sebaliknya perempuan dianggap sebagai kaum lemah yang tidak perlu dihargai.
Harkat dan martabat perempuan sesungguhnya patut dihargai sebagai makhluk yang sama derajatnya dengan laki-laki, bukan sebaliknya menjadi objek pemuasan kebutuhan dari orang-orang atau sekelompok orang yang tak berprikemanusiaan.
Realitas membuktikan bahwa tidak sedikit perempuan yang mendiami bumi ini khususnya di Indonesia menjadi korban tindak kekerasan mulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan di mana seorang perempuan bekerja, yang menyebabkan seorang perempuan kehilangan martabat luhurnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Pribadi yang luhur-mulia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki martabat yang sama dengan manusia lainnya kini sedang dinodai.
Kekerasan terhadap perempuan perlu dipahami sebagai suatu bentuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan sekaligus pelanggaran terhadap hak dasar perempuan, yaitu hak perempuan untuk menjalani kehidupan secara bermartabat.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan yang menimpa kaum perempuan dewasa ini dan sangat susah diputuskan siklusnya jika kita tidak secara bersama-sama berkomitmen memutuskan rantai penyebab dari tindak kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan dewasa ini ibarat fenomena gunung es, karena laporan resmi jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya.
Dalam arti bahwa jumlah kasus yang dilaporkan ke polisi dan ke lembaga-lembaga terkait sedikit jumlahnya ketimbang yang tidak diketahui oleh publik atau yang tidak dilaporkan.
Hal ini, patut diduga karena kaum perempuan berada di bawah tekanan dari si pelaku kekerasan, merasa malu untuk melaporkan kasusnya ke polisi dan ke lembaga-lembaga terkait, dan diselesaikan secara adat setempat.
Melihat kenyataan seperti ini, mendorong kaum perempuan melakukan gerakan antikekerasan terhadap perempuan baik secara gelobal, regional maupun lokal.
Gerakan ini telah mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik, ketidakseimbangan hubungan kekuasaan negara.
Ketidaksetaraan gender telah berakar dalam semua struktur yang ada, maka untuk melawan tindak kejahatan terhadap perempuan harus dilakukan dalam konteks struktur yang luas seperti tersebut di atas.
Beberapa pendapat tentang kekerasan terhadap perempuann yang berkisar dari pelecehan verbal, kekerasan fisik sampai dengan mengingkari hak asasi perempuan.
Covention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan sebagai instrumen internasional mengenai perlindungan hak perempuan telah mencantumkan kekerasan, intimidasi dan rasa takut, sebagai kendala bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam kesatuan bermasyarakat.
Secara konseptual, kekerasan dalam berbagai bentuknya merupakan indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan, ketidaksetaraan dalam dominasi.
Deklarasi ini, mendefinisikan Kekerasan terhadap Perempuan adalah setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau bisa mengakibatkan, bahaya atau penderitaan fisik, seksual atau mental perempuan, termasuk ancaman tindakan sejenis, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik terjadi di ranah publik maupun kehidupan pribadi.”
Indonesia menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan meratifikasi Konvensi tahun 1984.
Selain itu, Protokol Opsional untuk CEDAW ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia tahun 2000.
Pada tingkat regional, Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN menandatangani deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada tanggal 13 Juni 2004.
Deklarasi tersebut mendorong kerja sama regional dalam mengumpulkan dan menyebarluaskan data untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan, mendorong pendekatan holistik dan terpadu dalam menghilangkan kekerasan terhadap perempuan, mendukung pelaksanaan pengarusutamaan gender serta mengubah dan merumuskan Undang-undang dalam negeri untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Lebih lanjut, Pelapor khusus PBB mengenai kekerasan terhadap perempuan menyatakan bahwa: “kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan kekuasan dari laki-laki terhadap perempuan yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan dan mencegah perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya secara penuh serta merupakan mekanisme krusial di mana perempuan dipaksa dalam posisi subordinasi dibandingkan dengan laki-laki”.
Penindasan secara umum digunakan untuk posisi subordinat dari perempuan, atau pendominasian mereka oleh laki-laki.
Secara umum istilah itu merujuk ke sebuah sistem hak yang telah terlembaga secara struktural dan historis, di mana satu kelompok mengambil keuntungan dengan mengorbankan yang lain.
Istilah itu mengimplikasikan subordinasi dengan paksaan dan telah digunakan untuk menggambarkan kondisi ketundukan dari para individu dan kelompok seperti dalam penindasan kelas, kasta atau penindasan ras.
Jadi istilah subordinasi perempuan menunjuk ke posisi inferior perempuan, kurangnya akses mereka ke sumber-sumber penghasilan dan pengambilan keputusan dan merujuk ke dominasi patriarkat di mana perempuan ditundukan olehnya di hampir semua masyarakat.
Dalam sistem ini, di mana sangat mementingkan dari garis keturunan bapak.
Persepsi lain yang mendukung posisi subordinasi perempuan adalah tentang tempat perempuan (women’s place) dalam kehidupan bersama.
Tempat perempuan yang diterima cukup meluas adalah di dalam rumah dan ia menjadi penanggung jawab utama terhadap pengasuhan anak (nurturer).
Permasalahan utamanya bukan mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, tetapi berkaitan dengan konsekuensi negatifnya.
Sesuai posisi subordinatifnya, perempuan (dan pekerjaannya) dianggap inferior terhadap kedudukan dan pekerjaan laki-laki.
Koordinasi inferioritas perempuan yang telah cukup terpatri di masyarakat pada umumnya, juga diperkuat oleh pernyataan pakar-pakar bidang pskologi dan filsafat seperti Sigmund Freud dan Aristoteles.
Keduanya dengan pasti menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang tidak sempurna, yang mempunyai kelainan (defect).
Hal lain yang juga menyudutkan perempuan adalah adanya para penegak hukum dan anggota masyarakat yang percaya pada mitos bahwa perempuan adalah penggoda.
Mitos ini telah berdampak pada cara mereka (khususnya para lelaki) memandang keras terhadap perempuan.
Perempuan sesuai mitos tersebut dinilai sebagai sumber kekerasan yang terjadi pada dirinya.
Pernyataan seperti: ‘perempuanlah yang mengundang’ menggambarkan bahwa kecenderungan ‘victim blaming’ (atau menyalahkan perempuan sebagai korban kekerasan) masih merupakan realitas.
Suatu contoh nyata tentang kontrol laki-laki terhadap perempuan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan pada umumnya yang secara sadar ataupun tidak sadar adalah bentuk perendahan terhadap harkat dan martabat perempuan.
Di samping itu, kekerasan terhadap perempuan di ranah privat masih cukup tinggi walaupun ada suatu kecendrungan positif yaitu mulai adanya kesadaran untuk melaporkan tentang terjadinya kekerasan terhadap perempuan di ruang domestik (privat).
Kekerasan tersebut merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan di lingkungannya yang dinyatakan sebagai ‘surga dunia’ (the home is a safe heaven).
Realitasnya adalah bahwa keluarga di berbagai budaya merupakan dunia yang tertutup bagi orang luar. Keadaan ini dilestarikan dengan ditanamkannya norma sosial dalam kehidupan berkeluarga tentang ‘jangan menceritakan pada orang lain hal-hal yang dapat membawa aib bagi keluarga’.
Tidaklah mengherankan kalau laporan tentang kekerasan ini sebelumnya sangat sulit muncul di ranah publik.
Di sini, Kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan-ketika kekuasaan yang dimiliki seorang dipakai untuk memaksa atau membohongi orang lain dan berdampak pada pelanggaran integritas dan kepercayaan orang yang menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan tersebut dimungkinkan oleh adanya ketidaksetaraan status, antar individu, antar kelompok atau antar negara.
Di sini, struktur kekuasaan bisa dipahami sebagai struktur dominasi yang diterima karena faktor kesejarahan dan telah diterima sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Undang-undang Tindak Pidana perdagangan orang membuat suatu batasan tentang kekerasan.
Kekerasan merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik.
Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.
Meskipun diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sudah berlangsung sejak adanya peradaban manusia, baru menjelang akhir abad 20 isu ini menjadi fenomena yang masuk dalam agenda global.
Sejak tahun 1989, CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) telah membuat rekomendasi bahwa semua negara yang telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau sering disingkat sebagai konvensi perempuan, harus memasukan dalam laporan mereka masalah kekerasan terhadap perempuan.
Rekomendasi No. 19 secara tegas mengarahkan perhatian negara-negara yang meratifikiasi konvensi perempuan agar dapat menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, sebagai bagian dari kewajiban legalnya.
Rekomendasi ini juga menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender (gender based violence) adalah suatu bentuk diskriminasi yang secara serius menghambat perempuan untuk menikmati kebebasan dan hak-haknya setara dengan laki-laki.
Fenomena diskriminasi terhadap perempuan (gender) sulit dideteksi karena sering dibungkus rapi dalam kemasan budaya sehingga sehingga dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Kebudayaan sebagai warisan turun-temurun sulit diubah kendati warisan kultural tersebut mengandung potensi kekerasan dan ketidakadilan gender.
Salah satu alasannya, warisan budaya tersebut dilihat sebagai sesuatu yang kodrati khususnya budaya patriarkat.
Jika marginalisasi pemerasan dan ketakberdayaan kaum perempuan mengungkapkan parameter penindasan dalam konteks pembagian kerja sosial, maka imperialisme budaya berkaitan dengan fenomena sosial, bagaimana praktik-praktik dan simbol kultural kelompok mayoritas mendapat perioritas dan menjadi norma umum yang berlaku juga bagi kelompok-kelompok lain.
Di sini, cara pandang kelompok minoritas tidak diperhitungkan. Kekerasan menurut Young merupakan puncak dari proses peminggiran , agresi dan kebencian sosial terhadap kelompok-kelompok seperti orang kulit hitam, suku-suku minoritas dan kaum perempuan.
Maka faham hak-hak asasi manusia dirumuskan sebagai jawaban sekaligus protes atas pengalaman penderitaan yang dialami kaum perempuan.
Dalam kenyataan terdapat asimetri dalam pengungkapan pengalaman ketidakadilan tersebut.
Pengalaman penderitaan kaum perempuan lebih dominan diungkapkan ketimbang pengalaman penderitaan perempuan.
Hal ini disebabkan adanya dominasi budaya patriarki. Kuatnya sistem patriarki membuat kaum perempuan memandang perlakuan non-egaliter yang sering dialaminya bukan sebagai sebuah ketidakadilan, tetapi sebagai suatu yang normal atau kodrati, karena diwariskan tradisi.
Di sini, kekerasan budaya sangat nampak terhadap kaum perempuan.
Deklarasi anti kekerasan terhadap perempuan yang disahkan pada sidang umum PBB ke-85 20 Desember tahun 1993, menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak-hak asasi, dan kebebasan fundamental perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan menghalangi atau meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasannya.
Melalui deklarasi ini, PBB menyatakan keprihatinannya atas kegagalan komunikasi internasional untuk memberi perlindungan bagi perempuan.
Dalam dokumen ini tertera secara tegas bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan dari ketimpangan historis dalam hubungan kekuasaan antara kaum laki-laki dan perempuan, yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan dan hambatan bagi kemajuan kaum perempuan.
Penegasan mengenai diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia tidaklah demikian mudah dicapai.
Dengan ditetapkannya kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu isu global dan sebagai pelanggaran HAM, maka munculah suatu definisi tentang kekerasan terhadap perempuan yang disepakati secara internasional.
Definisi tersebut menyatakan kekerasan terhadap perempuan adalah: “Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 1).
Ada beberapa hal penting yang termaktub dalam isi pengertian tersebut di atas: pertama, yang menjadi korban adalah perempuan karena jenis kelaminnya perempuan.
Kedua, tindakan dari sipelaku kekerasan terhadap perempuan adalah dengan sengaja menyakiti perempuan secara fisik, seksual atau psikologis.
Ketiga, akibat dari tindakan si pelaku adalah yang diserang tubuh perempuan tetapi penderitaannya adalah keseluruhan diri pribadinya.
Tak dapat disangkal bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas merupakan masalah global, masalah bersama yang memiliki konsekuensi yang menyebabkan banyak penderitaan dan kerugian besar, tidak hanya bagi korban yang langsung mengalami tindakan kekerasan itu, tetapi juga keluarganya, para kerabat serta banyak orang yang tidak mengalami secara langsung tindakan tak berprikemanusiaan itu.
Misalnya, orangtua kandung memukul atau memperkosa anak perempuannya yang mengakibatkan anak perempuan menderita seumur hidup, istri dijadikan jaminan utang suami, atasan memperlakukan karyawan (perempuan) secara tidak adil, suami menyiksa istri secara tidak manusiawi mengakibatkan istri mengalami cacat fisik dan mental, perdagangan manusia, dan sebagainya. Inilah realitas yang sering kali menimpa perempuan.
Penulis melihat bahwa semua kasus kekerasan terhadap perempuan bersumber pada ketimpangan kekuasaan antara perempuan, dan laki-laki yang diperkuat oleh nilai-nilai patriarki yang dianut secara luas.
Sosialisasi tentang ciri-ciri yang dianggap baik pada laki-laki (maskulinitas) yang mengunggulkan sifat-sifat berani, tegas dalam bertindak, dan menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi dari perempuan, perempuan dianggap kelas dua (second class), merupakan hal yang ikut melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.
Laki-laki memandang perempuan sekadar objek pelengkap, tidak penting dan dapat diperlakukan seenaknya.
Kenyataan ini dilengkapi oleh sosialisasi tentang ciri-ciri yang dianggap positif pada perempuan (feminitas) yang menekankan pada perempuan untuk bersikap pasrah, selalu mendahulukan kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungannya pada laki-laki, serta menuntutnya untuk mengutamakan peran sebagai pendamping suami dan pengasuh anak-anaknya.
Pelekatan ciri-ciri tersebut, serta mitos-mitos yang merendahkan martabat perempuan juga terus diterapkan dalam menilai perilaku perempuan dan laki-laki.
Dengan melihat masalah kekerasan terhadap perempuan bukan masalah perorangan atau masalah privat melainkan masalah gelobal sekaligus merupakan masalah yang sangat aktual dibicarakan saat ini, maka sangat dibutuhkan adanya kolaborasi antar lembaga terkait untuk mencegah dan menangani tindak kekerasan terhadap perempuan.
Tanpa ada kerja sama antarlembaga terkait, perempuan terus dililiti berbagai tindakan diskriminatif yang mengancam pribadinya.
Padahal kekerasan terhadap perempuan bukan lagi sesuatu yang sifatnya tabuh, melainkan hal yang biasa sering terjadi di mana-mana.
Namun dari berbagai bentuk aktus kekerasan terhadap perempuan telah melahirkan suatu perjuangan dari dalam diri kaum perempuan.
Fakta menunjukan betapa aktus kekerasan yang sekian sering menimpa kaum perempuan telah menjadi katup yang meledakan seluruh perjuangan kaum perempuan di seluruh dunia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat global.
Menindaklanjuti gerakan itu, maka mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat daerah, kampanye antikekerasan terhadap perempuan terus dikumandangkan setiap tahunnya, namun hingga kini perempuan masih menjadi objek tindak kekerasan dan diskriminasi.
Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap perempuan masih tergolong tinggi.
Menurut catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) jumlah tindak kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2019 sebesar 431.471 kasus dan tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, periode Januari-Juli 2021 sebesar 2.500 kasus.
Hal ini mau menegaskan bahwa Indonesia merupakan Negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, sebagaimana termaktub dalam salah satu dari kelima sila pancasila yaitu sila kedua yang berbunyi,” Kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Selain itu perjuangan kaum perempuan secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945 yang menetapkan persamaan hak sebagai warga Negara tanpa membedakan jenis kelamin dan atribut-atribut lainnya.
Namun tindakan kekerasan terhadap perempuan terus terjadi di negeri ini dari dulu sampai sekarang tidak pernah berakhir.
Apalagi di masa pandemi Covid-19 tindak kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dan perempuan terus menjadi korban tindak kekerasan.
Oleh karena itu, tindakan kekerasan terhadap perempuan adalah fakta yang tak terbantahkan.
Berbagai media menampilkan, bagaimana perempuan menjadi objek kekerasan itu sendiri.
Dalam hal ini, biasa dikatakan bahwa perempuan kurang mendapat tempat yang layak untuk mengambil bagian dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Perempuan selalu didegradasi, disubordinasikan dari laki-laki. Karena itu perempuan merasa terkungkung, bahkan tak berdaya.
Hak-haknya dipasung bahkan martabat luhurnya sebagai makhluk mulia direndahkan, tak diperhatikan secara optimal.
Hal ini dipengaruhi oleh persepsi yang selalu menilai bahwa laki-lakilah yang layak memegang kendali kehidupan manusia. Sedangkan perempuan selalu dipandang sebagai makhluk “The second class”.
Menelaah lebih jauh beberbagai persepsi terhadap kaum perempuan, menjadi cikal bakal munculnya tindakan kekerasan itu.
Biangnya adalah kekuasaan laki-laki yang mendominasi seluruh keinginan dan harapan perempuan untuk menyamakan kedudukan dengan laki-laki.
Sehingga tidaklah mengherankan jika perempuan selalu berada di bawah tekanan dan penindasan dari kaum laki-laki. Karena dominasi kekuasaan laki-laki semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Kaum perempuan yang selalu menjadi korban ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan dalam berbagai bentuk.
Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia seperti yang sudah dijelaskan di atas, khususnya terhadap kaum perempuan terus bertumbuh subur di Negara yang masih berkembang, yang diakui secara luas akan dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan berbudaya.
Dalam rangka menegakan sendi-sendi masyarakat demikian itu, seluruh masyarakat internasional bertekat bulat melarang dan mencegah segala bentuk tindakan penyiksaan, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Masyarakat internasional sepakat untuk mengatur pelarangan dan pencegahan tindak penyiksaan ini dalam suatu wadah perangkat internasional yang mengikat semua Negara secara hukum.
Walaupun sudah dibuat aturan atau konvensi yang mengikat semua negara yang terlibat di dalamnya baik regional maupun internasional tentang kekerasan terhadap perempuan, tindak kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi di seantero jagat.
Di sini, aturan hukum yang telah dibuat atau disepakati bersama tidak mengikat bagi mereka yang melakukan kekerasan terhadap perempuan atau membuat mereka jerah.
Bahkan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari waktu ke waktu. Perempuan selalu menjadi sasaran kekerasan dari kaum lelaki.
Di akhir tulisan ini, penulis hendak mengatakan satu hal penting untuk dipahami, diresapi serta dilaksanakan dalam kehidupan bersama, yaitu: “Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan laki-laki. Perempuan adalah rekan kerja laki-laki yang senantiasa dihormati akan eksistensinya sebagai makhluk yang bermartabat”.
Untuk itu, laki-laki tidak mempunyai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan apapun alasannya.
Perempuan harus menyadari akan eksistensi dirinya yang memiliki martabat yang sama dengan laki-laki. Tidak menganggap diri sebagai second class, kaum lemah yang tugasnya hanya mengurus anak-anak dan rumah tangga.
Saatnya kaum perempuan untuk bangkit dan terus bangkit dalam seluruh aspek kehidupan baik dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum.
Penulis berasal dari Lengko Ajang, Manggarai Timur. Ia seorang Misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) berkarya di Provinsi SVD Jawa di Tanah Misi Kalimantan Timur. Kini sebagai koordinator JPIC Keuskuapan Agung Samarinda. Ia juga sebagai aktivis pemerhati masalah sosial, politik dan kemanusiaan