Ruteng, Vox NTT- Dosen Unika St. Paulus Ruteng Dr. Marianus Mantovanny Tapung, S. Fil., M.Pd., mengatakan untuk bertransformasi secara sempurna dalam dunia digital tentu saja membutuhkan modal manusia (human capital) yang mumpuni.
Menurut dia, transformasi digital tanpa didukung oleh human capital menjadi mustahil (absurd). Sebaliknya, human capital tanpa transformasi digital akan menjadi sia-sia dan tidak bermakna.
“Kita tidak bisa secara sempurna bertransformasi dalam dunia digital, bila tidak didukung oleh human capital (modal manusia) yang mumpuni,” ujar Mantovanny saat hadir sebagai narasumber utama pada webinar dalam rangka wisuda sarjana dan ahli madya Unika St. Paulus Ruteng, Rabu (10/11/2021).
Webinar yang bertemakan “Merdeka Berkreasi Berbasis ‘Human Digital’ di Era Transformasi Digital itu dihadiri oleh 610 peserta yang merupakan calon wisudawan wisudawati Unika St. Paulus Ruteng tahun 2021.
Dalam materinya, Mantovanny mengatakan, human capital menjadi syarat mutlak atau Conditio Sine Qua Non dalam bertransformasi digital di mana saja.
Hal ini merujuk pada peringkat human capital index score Indonesia yang menempatkan urutan ke-87, dengan poin 0.54.
Skor dan urutan ini jauh di bawah Singapura dan Jepang yang berada pada peringkat 1 dan 2, dengan masing-masing skor: 0,88 dan 0,84.
Sementara di antara negara ASEAN, Indonesia berada di urutan ke-6, setelah Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Philipina.
Mantovanny mengatakan, masih rendahnya human capital index (HCI) ini terkonfirmasi juga oleh data masih rendahnya kesiapan masyarakat Indonesia dalam bertransformasi digital.
Dari 202 juta penduduk Indonesia yang menggunakan internet, baru 27% yang telah memiliki strategi transformasi digital yang menyeluruh dan menggunakan internet untuk kepentingan produktif.
Sementara 51% masyarakat yang tengah menjalani strategi transformasi digital yang spesifik.
“Artinya masih mencari formula untuk menggunakan untuk kepentingan produktif,” imbuh Mantovanny.
Dikatakan, ada 22% penduduk Indonesia masih memiliki strategi transformasi digital yang terbatas atau atau belum memiliki strategi sama sekali. Artinya, menggunakan perangkat digital untuk kepentingan ekspresi atau aktualisasi diri atau sekadar memudahkan komunikasi.
Menurut Mantovanny, hal ini berbanding terbalik dengan Negara Singapura dan Jepang yang kesiapan transformasi digital sudah menyentuh 95%.
“Sehingga jangan heran dua negara Asia ini sudah menggagas lebih cepat tentang masyarakat 5.0 atau society 5.0,” katanya.
Dengan kondisi kesiapan yang belum mencapai 70%, lanjut dia, maka Indonesia sebenarnya belum cukup siap untuk mewacanakan masyarakat 5.0.
“Kalau tidak mau dikatakan sebagai negara bermasyarakat industri 4.0 yang belum selesai alias prematur,” imbuh dia.
Mantovanny menegaskan, human capital tersebut sangatlah penting. Sebab itu, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sudah memiliki strategi untuk mempercepat transformasi digital.
Presiden Jokowi memiliki strategi dengan mengambil 5 langkah akselerasi transformasi digital, yaitu: Pertama, percepat integrasi Pusat Data Nasional; Kedua, menyiapkan kebutuhan SDM bertalenta digital untuk mendukung transformasi digital; Ketiga, menyiapkan regulasi, skema-skema pendanaan dan pembiayaan transformasi digital secepatnya; Keempat, menyiapkan peta jalan (roadmap) transportasi digital di sektor-sektor strategis, baik di pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri dan penyiaran; Kelima, segera melakukan percepatan perluasan akses, dan peningkatan infrastruktur digital, serta percepatan penyediaan layanan internet di 12.500 desa atau kelurahan, serta di titik-titik pelayanan publik.
Menurut Mantovanny, 5 langkah ini harus didukung oleh gencarnya edukasi dan literasi digital pada untuk berbagai segmen, masyarakat biasa, masyarakat didik, dari kota sampai ke pelosok desa/kampung.
Literasi mengenai isu keterampilan digital, budaya digital, etika digital, dan keamanan digital menjadi materi-materi yang harus diintensifkan dalam setiap kegiatan edukasi dan literasi.
Mantovanny pun mengajak calon para wisudawan wisudawati agar bisa survive di era transformasi digital ini maka perlu memiliki keutamaan-keutamaan, seperti: pertama, digital mindset. Cerdas memanfaatkan teknologi dalam rangka efektivitas dan efisiensi di dunia kerja; kedua, brave to be different. Berani untuk berbeda, berpikir alternatif, berinovasi, baik dalam berpikir, membuat kebijakan maupun penampilan; ketiga, inclusive. Tidak berperan sebagai seorang “boss” namun dapat berperan sebagai leader, mentor dan rekan, teman; keempat, observer dan active listener, yakni memiliki kedekatan dengan masyarakat, rekan kerja, kawan, siswa secara langsung maupun melalui media sosial; kelima, agile. Cepat beradaptasi dan responsif terhadap perubahaan.
Demi mendukung keutamaan ini, menurut dia, para calon sarjana mesti memiliki: pertama, memiliki karakter positif dan khas, baik secara individu, komunitas (kelompok), dan kebangsaan (nasional).
Karakter yang dibangun untuk melawan stereotip atau anggapan salah tentang bangsa, komunitas dan diri selama ini.
Kedua, kreatif dan produktif dalam menciptakan karya-karya dan konten asli anak bangsa.
Karya-karya tersebut menjadi warisan (legacy) yang akan menjadi alternatif konsumsi generasi muda saat ini dan masa depan.
Ketiga, kritis dan etis; mampu membedakan mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, memberi solusi bila ada masalah, dan menyampaikan pikiran secara santun di berbagai situasi dan media.
Keempat, berani berkolaborasi; saling mengisi satu sama lain dan mampu saling melengkapi di antara komunitas (kelompok) yang berbeda untuk kepentingan bersama.
Kelima, konektivitas, senantiasa terhubung satu sama lain dan selalu mengakses konten-konten kreatif yang ada, serta memperluas jaringan komunikasi yang tidak terbatas ruang dan waktu. Namun tetap positif dalam berkarakter melalui kecanggihan teknologi.
Dengan mengutip buku berjudul ‘Blue Ocean strategy’ (W. Chan Kim & Renee Mauborgne), Mantovanny memberi motivasi kepada para calon sarjana.
“Pada era transformasi digital ini, jika Anda merasa tidak bisa bersaing dalam sebuah kompetisi, keluarlah dari kompetisi tersebut,” katanya.
Para calon sarjana diharapkan bisa menciptakan kompetisi baru dan menjadi pemenang. Diharapkan pula menghindari red ocean, kondisi di mana adanya persaingan sangat ketat dan saling menjatuhkan untuk mengejar juara dengan kompetitor lain. Hendaknya pula menciptakan kebutuhan dari orang lain, dan tugas sarjana adalah memenuhi kebutuhan tersebut.
Sampai suatu saat orang lain sangat membutuhkan/tergantung pada Anda. Saat itulah Anda jadi pemenang dan mengalami kemerdekaan. Rubahlah kompetisi menjadi sebuah kolaborasi. Kolaborasi harus menjadi warisan (legacy) bagi peradaban baru (habitus baru). Persiapkan kapasitas dan kapabilitas diri (karakter), kreativitas, kritis-etis, kolaborasi, dan konektivitas,” tandas Mantovanny.
Penulis: Ardy Abba