Ruteng, Vox NTT- Pengamat kebijakan publik dari Politician Academy, Stefan Gandi, mengajak para bupati di Manggarai Raya untuk belajar dari Kabupaten Banyuwangi dalam membangun daerahnya.
Menurut dia, kabupaten yang berada di ujung timur Pulau Jawa itu merupakan daerah yang pembangunannya sangat cepat.
“Kita tidak bicara Jogja, Jogja itu sudah dibangun karena bentuk-bentuk bangunan bersejarah yang sudah banyak. Maksudnya bangunan-bangunan kuno yang sudah ada nilai budayanya sehingga tidak terlalu poles yang banyak,” ujar Stefan usai hadir sebagai salah satu narasumber dalam webinar yang dilaksanakan oleh Politician Academy Branch NTT 1, Rabu (10/11/2021) sore.
Banyuwangi, kata dia, dulunya terkenal dengan kota santet. Kemudian, 15 tahun lalu tidak ada sesuatu yang fantastis di salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur itu.
BACA JUGA: Jimur Siena, dari Keluarga Larang Masuk Politik hingga Keberpihakan Terhadap Perempuan
Sekarang, Banyuwangi “disulap” menjadi kota yang banyak dilirik investor. Ia mencontohkan bandara internasional Banyuwangi salah satu bandara terbaik di dunia yang didesain oleh bupati setempat.
Bandara ini ramah lingkungan dengan konsep green building. Selain minim penggunaan Air Conditioner (AC), terminal Bandara di Blimbingsari ini juga menggunakan arsitektur kearifan lokal.
“Itu contoh kerja dari seorang bupati yang memang niatnya kerja,” kata Stefan.
Stefan kemudian membandingkan bupati di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur), yang ia nilai dalam kepemimpinannya lebih cenderung ke balas budi dan membayar biaya donatur. Parahnya, praktik ini terjadi secara turun temurun.
“Dari pemilu ke pemilu polanya tetap sama. Bicara janji kampanye untuk diterapkan tidak ada. Coba dilihat janji kampanye banyak sekali, adakah yang dikerjakan? Tidak ada ada,” tukas Stefan.
Menurut dia, salah satu alasan mengapa kemudian para bupati di Manggarai Raya tidak bisa out the box dalam kepemimpinannya karena pola politik. Dalam konstelasi politik perebutan kepala daerah cenderung memakai pola politik primordial dan tidak lagi melihat kualitas para calon.
Kemudian, ia menilai politik uang di Manggarai Raya sangat kental. Ketika para calon bisa membeli suara dengan harga tinggi lantas praktik itu dianggap biasa-biasa saja.
“Ini kan jadi kacau, walaupun kita tidak bisa membuktikan di lapangan karena itu sudah masuk ke ranah pidana. Tetapi dalam praktiknya jual beli suara banyak,” ungkap Stefan.
Risiko di balik maraknya politik uang tersebut tentu saja menghasilkan bupati yang transaksional. Saat membuat kebijakan pun pasti punya hitung-hitungan tertentu, bukan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, pembangunan di Manggarai Raya cenderung jalan di tempat.
Ia mencontohkan Labuan Bajo, Manggarai Barat yang pembangunan segeliat sekarang bukan karena bupatinya hebat. Namun, karena intervensi pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Stefan kembali menegaskan, para bupati di Manggarai Raya hingga kini tidak terlalu berinovasi dan tidak selalu ada untuk membela kepentingan rakyatnya. Akibatnya, tata kelola wilayah di Manggarai Raya menjadi mandek atau tidak maju secara signifikan.
Karena itu, Stefan mengajak untuk mulai berpikir memilih sosok pemimpin yang punya pikiran out of the box. “Kalau boleh, jangan selalu dari golongan-golongan tua lah calon pemimpin ke depan. Munculah dari yang muda-muda sehingga dia punya pemikiran, bisa lari tengah malamlah contohnya,” tawar Stefan.
Selain pola politik dan sosok pemimpin, ia kembali mengajak agar belajar dari Kabupaten Banyuwangi karena kemajuan pembangunannya dapat dilangsungkan secara cepat, dan menuai kemakmuran masyarakat.
Penulis: Ardy Abba