(Oleh: Oncak Animing; berdomisili di Ritapiret, Maumere)
Dua filsuf besar Yunani, baik Aristoteles maupun Plato, sama-sama menegaskan bahwa ‘kerinduan untuk mengetahui’ selalu berawal dari ‘keheranan atau kekaguman’ akan hal-hal yang berada dan terjadi di dunia ini.
Secara sederhana, hal ini dikaitkan dengan verba thaumazein, merasa heran. Pada dasarnya, manusia memiliki tendensi alamiah (keheranan/kekaguman) untuk mengarahkan perhatian pada suatu tujuan tertentu.
Max Scheler berkata: “agama lahir dari kerinduan manusia untuk menyelamatkan dirinya dari kematian, sementara filsafat lahir dari kerinduan dari manusia untuk mengetahui, dan ilmu pengetahuan lahir dari kerinduan manusia untuk menguasai alam dan segala isinya”.
Sementara agama berasal dari revelasi. Manusia diberi jalan untuk mencapai keselamatan. Sedangkan filsafat lewat kapasitas indrawi dan rasio, melahirkan rasa heran yang bisa membuat manusia memiliki kerinduan untuk mengetahui.
Karena itu, kerinduan untuk mengetahui di sini, didasarkan pada persepsi dan kapasitas akal budi.
Secara sederhana, konsep thaumazein dan kekaguman pada keheranan/keraguan membawa manusia pada konsep berpikir bahwa ia tidak tahu akan segala hal (ignoransia), sehingga konsekuensi logis yang diambil ialah manusia selalu merasa haus akan pengetahuan dan berusaha mencari kebenaran.
Keheranan adalah awal dari kesadaran akan ketidaktahuan, dan sumber inspirasi untuk memecahkan labirin ketidaktahuan itu.
Sebab pengetahuan dan pengertian tentang segala sesuatu dimulai ketika manusia menyadari ketidaktahuannya.
Aristoteles kemudian berhasil meyakinkan kita bahwa tujuan kerinduan manusia untuk mengetahui adalah pengetahuan itu sendiri.
Tujuan ini dapat menjawabi seluruh kebutuhan manusia. Dengan kata lain, agar hidup manusia lebih baik secara moril, lebih maju secara ekonomis, lebih berkembang secara teknologi, lebih sosial secara komunal, lebih beriman secara spiritual, dan lebih manusia secara manusia (aspek kemanusiaan), manusia harus masuk dalam petualangan pengetahuan, selalu mencari kebenaran, agar memperluas khazanah berpikir intelektual dan kematangan moril maupun etika.
Konsep kerinduan akan pengetahuan dan haus akan kebenaran dalam filsafat secara tersurat maupun tersirat, kemudian memberikan sumbangsih dan andil yang besar dalam perkembangan pendidikan dewasa ini.
Dengan menumbuhkan sisi keheranan dalam aspek rasional, manusia selalu merindukan pengetahuan, tidak pernah takluk dengan keadaan, membebaskan diri dari mitos, serta memajukan kehidupannya secara rasional.
Keheranan dalam pendidikan adalah prinsip yang memuaskan jiwa serta dasar yang menunjukkan dimensi kebebasan di dalam diri manusia.
Dalam hal ini, seperti konsep keheranan yang dimaksudkan Plato dan Aristoteles, rasa heran dalam khazanah pendidikan murni berintensi pada sikap teoretis- filosofis yang senantiasa terarah kepada kerinduan akan pengetahuan.
Konsekuensi logis dari rasa heran dalam aspek pendidikan kemudian semakin bertolak pada sikap yang selalu menimbulkan pertanyaan, sebab keheranan filosofis dalam pendidikan secara esensial lahir dari pertanyaan mengapa.
Manusia sering merasa heran dengan realitas; misalnya, ketika terjadi bencana alam, kematian, dan Covid-19, kita selalu bertanya mengapa terjadi demikian?
Aristoteles kemudian menjelaskan, pencarian jawaban atas semua kejadian, membawa kita ke persoalan sebab motoris atau sebab efisien, kemudian bermuara pada sebab final dari segala sesuatu.
Dengan kata lain, dalam dunia pendidikan untuk menemukan jawaban yang substansial dari segala sesuatu, kita harus bertanya agar kita dihantar masuk dan menyelam lebih dalam pada esensi sesuatu.
Namun, jika kita menilik perkembangan pendidikan dunia dewasa ini, khususnya dalam suasana pandemi Covid-19, ada banyak aspek yang menimbulkan sikap skeptis, apatis, dan minus nalar, serta kurangnya solidaritas kemanusiaan, sebagai akibat dari lumpuhnya konsep thaumazein atau rasa heran pada realitas serta menguatnya sikap malas berpikir untuk menyikapi realitas.
Secara sederhana, dalam kaca mata penulis, pendidikan dalam pandemi Covid-19 ini, menyebabkan minus nalar karena intensitas tatap muka dan bimbingan para pendidik yang kurang memadai.
Sehingga aspek mengasah para peserta didik untuk selalu bertanya dan berpikir kritis sebagai dasar dari pendidikan filosofis kurang berkembang, karena sudah jatuh dalam mental instan menyerap semua pengetahuan melalui media sosial sebagai konsekuensi logis belajar dari rumah (semua peserta didik memiliki handphone) lebih mengandalkan google, tanpa forum kelas tatap muka dan bimbingan langsung dari pendidik. Dalam kacamata penulis, fenomena ini muncul dari sikap malas berpikir terhadap realitas.
Pendidikan dan Covid-19
Secara etimologi, kata pendidikan berasal dari bahasa Latin yaitu ducere, berarti menuntun, mengarahkan, atau memimpin. Secara sederhana, pendidikan berarti kegiatan atau proses menuntun keluar, mengarahkan peserta didik untuk berpikir yang benar, logis, sistematis, dan runtut.
Pendidikan sering terjadi di bawah pengarahan dan bimbingan orang lain yakni guru, tetapi memungkinkan juga secara otodidak.
Menilik pelaku pendidikan, yakni dapat terjadi di bawah pengarahan dan bimbingan orang lain (guru), tetapi memungkinkan juga secara otodidak.
Dalam suasana pandemi Covid-19 ini, penulis masih prihatin dengan kegiatan belajar otodidak. Sebab dalam pemahaman penulis, peserta didik itu ibarat kertas putih, yang harus ditulis, dibimbing, diarahkan oleh guru agar dapat mengerti dengan benar dan bermoral sesuatu yang dipahami.
Sebab itu, proses belajar otodidak memiliki peluang besar bagi peserta didik untuk menelan bulat-bulat pengetahuan yang didapatinya, karena tidak adanya bimbingan dari orang lain.
Selain itu juga, dengan proses belajar otodidak sulit juga melihat efektivitas belajar dari peserta didik, karena kurangnya pengawasan dari guru dan orang tua.
Dengan melihat pengertian pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19, memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan dunia pendidikan.
Salah satu dampak negatif terhadap peserta didik dan pendidik, yakni dengan adanya kebijakan pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran daring terhadap perkembangan intelektualitas maupun karakter peserta didik.
Lebih miris proses pendidikan selama pandemi Covid-19 menjerumuskan pelaku pendidikan khususnya peserta didik dalam konteks malas berpikir menyikapi realitas.
Pertama, konsekuensi logis dari adanya kebijakan pembelajaran jarak jauh adalah penggunaan handphone. Namun, penguasaan teknologi yang masih rendah dan melek teknologi, terutama para guru generasi x (lahir tahun 1980 ke bawah), belum begitu masif dan menguasai. Kondisi demikian juga dialami oleh peserta didik. Tidak semua peserta didik menguasai teknologi.
Kedua, keterbatasan sarana dan prasarana kepemilikan perangkat pendukung teknologi juga menjadi problematika tersendiri. Hal ini disebabkan karena kesejahteraan guru yang masih rendah, sangat sulit untuk memenuhi barang kebutuhan sekunder (handphone). Sebab untuk memenuhi barang-barang kebutuhan primer saja masih sangat sulit. Hal tersebut juga dialami oleh para peserta didik, karena tidak semua orang tua mampu memberikan fasilitas teknologi kepada anaknya.
Bahkan yang lebih miris, jika para peserta didik memiliki fasilitas teknologi, namun dalam kenyataannya bimbingan dan pengawasan orang tua terhadap keberlangsungan proses pendidikan belum mumpuni.
Ketiga, efektivitas pembelajaran jarak jauh tidak bisa terlepas dari adanya jaringan internet. Dalam hal ini, tidak semua tempat dan sekolah terkoneksi dengan jaringan internet.
Jaringan internet yang kurang stabil menyebabkan pembelajaran daring kurang efektif bagi penyerapan ilmu pengetahuan.
Ditambah lagi biaya kouta internet yang melonjak drastis dan tidak sesuai dengan pendapatan orang tua siswa atau para guru menjadi masalah tersendiri dalam melihat ketidakefektifan kebijakan pembelajaran jarak jauh.
Keempat, Covid-19 dan pembelajaran daring membawa efek negatif terhadap pencapaian belajar siswa. Sebab kurangnya pengawasan dan bimbingan dari para pendidik memungkinkan siswa melakukan kegiatan lain di luar dunia pendidikan formal.
Kemudian, capaian peserta didik yang mentereng di atas kertas karena akumulasi nilai tugas selama pandemi, tidak secara final mencerminkan pengetahuan yang dimiliki.
Sebab dengan adanya gadget, terkadang penyelesaian tugas sekolah lebih banyak diselesaikan dengan google daripada analisis dan pengeksplorasian pengetahuan pribadi.
Kelima, tingginya angka putus sekolah. Perkembangan Covid-19 yang semakin marak dan kebijakan pembelajaran daring, memungkinkan banyak peserta didik berhenti sekolah, dengan alasan pendapatan orang tua yang berkurang karena pandemi.
Sehingga berdampak pada kesulitan ekonomi membayar uang sekolah. Jalan keluar yang kemudian diambil ialah para peserta didik memilih berhenti sekolah demi membantu orang tua bekerja dan memperbaiki kehidupan ekonomi.
Covid-19: Fenomena Malas Berpikir dalam Pendidikan
Seperti awasan dari Heidegger, “kita tidak harus berpikir apa itu pikiran, tetapi kita harus mulai berusaha untuk Berpikir”. Secara tersirat berpikir adalah suatu panggilan dan esensi dari manusia adalah berpikir.
Memang kita tidak pernah datang ke pikiran, tetapi pikiran itu datang kepada kita. Maka konsekuensi logis yang terjadi ialah keberadaan manusia di dunia memungkinkan untuk berpikir, manusia harus selalu membuka diri untuk berpikir, dan manusia bisa disebut pemikir sejauh ia dipanggil untuk berpikir. Secara sederhana, kita dipanggil untuk berpikir.
Konsep esensi dari manusia yang adalah berpikir. Sebagai makhluk berakal budi manusia secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir logis.
Namun, kemampuan berpikir logis secara alamiah ini sering tidak cukup membantu untuk menggunakan secara efektif dan kreatif, serta tidak cukup untuk menghindari kesesatan dalam berpikir.
Melihat kondisi seperti ini, kemudian dibutuhkan logika ilmiah yang mengembangkan dan mempertajam kemampuan berpikir manusia, sehingga pemikiran dapat teratur, serta dapat menilai secara kritis baik pemikiran sendiri maupun orang lain.
Dalam konteks membaca fenomena malas berpikir dalam pendidikan dari sudut pandang kacamata pandemi Covid-19, penulis lebih membahasakannya secara sederhana bahwa konsep ini lebih menjurus pada mental dan sikap malas untuk berpikir secara rasional dalam memandang realitas.
Sebab pada dasarnya manusia bisa disebut pemikir jika ia memberikan diri untuk berpikir. Dalam hal ini juga, konsep kebenaran dimulai dari pandangan keheranan dan keraguan, kurang tampak dalam dunia intelek peserta didik Indonesia sekarang ini.
Hal konkret yang terjadi misalnya dalam pemahaman penyebab Covid-19. Ada yang berpendapat bahwa pandemi Covid-19 adalah kutukan dari Tuhan, maka ada banyak pelanggaran terhadap protokol kesehatan yang dilakukan secara sengaja, dengan argumentasi bahwa jika pandemi Covid-19 adalah kutukan dari Tuhan maka mati dan hidup pasti di tangan Tuhan.
Sejenak, konsep berpikir seperti ini sebenarnya jatuh dalam konteks malas berpikir dan kurang kritis terhadap pemberitaan isu-isu global tentang penyebab Covid-19.
Sebab jika berpikir kritis dengan rajin berpikir, tentu akan ada argumen: jika Covid-19 adalah kutukan dari Tuhan, bukankah Ia membuka wawasan manusia untuk mencari jalan keluar dari pandemi ini, yakni melalui kehadiran orang lain para petugas medis yang menyerukan kebijakan protokol kesehatan?
Memang dalam hal ini penulis tidak bisa memastikan apakah Covid-19 adalah kutukan dari Tuhan. Sebab itu adalah ranah iman dan konsep orang beriman.
Namun jika secara rasional maka Covid-19 disebabkan oleh virus dari golongan coronavirus, yaitu SARS-CoV-2. Lebih miris lagi, kebanyakan informasi tersebut dipopulerkan oleh para peserta didik dalam proses interaksi dengan masyarakat di kampung-kampung.
Senada dengan Sokrates bahwa hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Penulis membaca fenomena malas berpikir sebagai dampak dari pandemi
Covid-19 terlihat dalam aspek penyelesaian tugas peserta didik yang mengandalkan google tanpa berpikir kritis terhadap pengetahuan yang didapat.
Fenomena mengandalkan google juga dalam pandangan penulis menyebabkan kelumpuhan sikap untuk menganalisis dari peserta didik, menggunakan rasio, atau menciptakan sikap malas berpikir.
Selain itu juga, pemberian tugas yang terlalu banyak dari para pendidik juga memunculkan sikap malas berpikir. Sebab, para pendidik kurang membaca realitas seperti ketersedian handphone para peserta didik, jaringan internet, dan kesulitan ekonomi dalam pengadaan perangkat pembelajaran jarak jauh lainnya.
Argumen ini tidak hendak memojokan para pendidik, tetapi dalam kacamata lain juga bisa dipersoalkan demikian. Dalam Bahasa yang sederhana kaitan pendapat Sokrates dan konsep malas berpikir adalah para pelaku pendidikan belum bisa mengerti hal yang mereka pikirkan, belum bisa membaca realitas, dan hanya asal buat dalam melakukan sesuatu tanpa terlebih dahulu membangun konsep berpikir, dan merefleksikan tindakan tersebut.
Konsep malas berpikir dalam pendidikan selama masa pandemi Covid-19 ini nampak juga dalam lunturnya membaca realitas nilai kemanusian dalam masyarakat.
Artinya, memang pemahaman pendidikan intelektual selama pandemi terus dilakukan, tetapi pendidikan karakter dirasa semakin tergerus oleh sikap individualitas dan mementingkan diri sendiri.
Artinya, ada pemahaman dalam masyarakat bahwa seseorang yang sakit identik dengan terjangkit virus corona. Maka konsekuensi logis yang terjadi adalah orang-orang sakit dalam masyarakat dipandang sebagai kaum terpinggirkan.
Hal ini terjadi karena proses sosialisasi yang mengeneralisasi oleh anak-anak muda sebagai pelaku pendidikan dalam proses interaksi dan memberi pemahaman dengan masyarakat.
Secara medis memang interaksi dengan orang sakit selama pandemi harus diwaspadai. Namun tidak dipahami sebagai harus membenci orang sakit.
Sebab pemahaman yang benar adalah harus menjunjung tinggi nilai kemanusian yakni membatasi diri untuk berinteraksi dengan orang sakit dengan mengutamakan protokol kesehatan, menghibur mereka dengan kata-kata penghiburan maupun bantuan sosial, serta bukan membunuh karakter secara sosial bahwa orang sakit adalah sumber virus corona.
Dengan membaca fenomena malas berpikir tersebut, maka menyambut new normal, dengan adanya pemberlakuan sekolah tatap muka, hendaknya para pelaku pendidikan khususnya para pendidik bisa menumbuhkan sikap berpikir kritis, sering bertanya sebagai konsekuensi logis dari konsep thaumazein, agar menghindari sikap malas berpikir dalam memandang realita.