Oleh: Arief Tandang, Anggota KMK dan Diskusi Filsafat Ledalero
Ruang demokrasi di Indonesia sedang tidak aman-aman saja. Sejumlah indikasi menunjukkan itu. Mulai dari dinamika kehidupan sosio-politis sehari-hari sampai pada event momental-seremonial pemilihan umum (pemilu), demokrasi semacam dipreteli sedemikian rupa.
Dalam laporan yang dirilis The Econimic Intelligence (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia 2020 menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3. Skor ini merupakan angka terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Alhasil, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat (detiknews, 4/2/2021).
Sekurang-sekurangnya ada lima indikator, sebagaimana dilaporkan detiknews, yang digunakan EIU dalam menentukan indeks demokrasi suatu negara, antara lain proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil. Di Indonesia, EIU memberikan skor 7.92 untuk proses pemilu dan pluralisme. Sementara itu, fungsi dan kinerja pemerintah dengan skor 7.50, partisipasi politik 6.11, budaya politik 4.38, dan kebebasan sipil dengan skor 5.59.
Dari laporan ini, dapat kita amati bahwa skor terendah berada pada dua indikator terakhir, yakni budaya politik dan kebebasan sipil. Proses pemilu dan pluralisme mendapat skor lebih tinggi – boleh jadi karena momentum itu terjadi hanya dalam lima tahunan, sehingga lebar kesempatan untuk “mendesain” demokrasi agar terlihat lebih elok; tentu serentak tidak bermaksud mengabaikan dinamika indikator-indikator lain yang turut memungkinkan pen-desain-an itu. Meski demikian, angka 7.92 itu fantastis dan tetap saja memprihatinkan.
Ketika rakyat mengikuti seremoni pemilu, negara tampak menyediakan ruang demokratis. Di sana ada suara yang serentak diklaim sebagai hak partisipatif. Akan tetapi, benarkah ruang yang negara ciptakan itu benar-benar demokratis? Usai pemilu, kenyataan “yang sebenarnya” akan tampak: bahwa memang rakyat hanya bisa memilih di kotak suara dan tidak pernah benar-benar punya (ber)suara.
Di luar momentum pemilu, yang kebanyakan orang menilai event seremonial itu semacam penanda mutlak demokrasi walau sebatas politik elektoral jangka pendek, hari-hari ini, senada dengan perankingan EIU, lanskap demokrasi sebenarnya dilumuri aktus-aktus berdimensi politis yang seakan-seakan demokratis. Artinya, demokrasi sebenarnya hanya selubung, yang di dalamnya “terkondisikan” oleh segelintir orang. Itulah mengapa kita perlu sangsi dan curiga dengan pejabat negara kita yang turun menemui rakyatnya. Alih-alih menampung aspirasi supaya terlihat demokratis, aksi yang kerap dadakan itu ternyata iklan belaka.
Ruang Demokrasi
Seiring peradaban teknologi jaringan (digital), ruang demokrasi tampak menemukan ruang (space) baru. Demokratisasi, antara penguasa dan rakyat; rakyat dengan rakyat, terjadi pula dalam ruang digital. Orang menyebutnya dengan cyberdemocracy, demokrasi siber atau demokrasi dunia maya. Namun, sungguhkah ruang digital demokratis?
Ruang digital, melalui media sosial, paling kurang punya dua sisi berlawanan. Pada satu sisi, ia menciptakan ranah politis-partisipatif antara negara dengan warga, warga dengan warga. Pengguna media sosial tidak dibatasi ketentuan gender dan usia. Artinya, menurut Yusrin Ahmad Tosepu pada kata pengantar bukunya Media Baru dalam Komunikasi Politik Komunikasi di Dunia Virtual) (2017), ruang ini memberi kontribusi besar bagi proses demokrasi karena membentuk ruang publik universal yang bisa diakses siapa saja. Ruang ini pula mengubah komunikasi politik yang selama ini cenderung top-down, menjadi bottom-up dan decentralized. Pemerintah semakin membuka ruang bagi masyarakat lewat program e-government, misalnya, untuk meningkatkan pelayanan publik.
Di sisi lain, penetrasi internet jutru merusak demokrasi. Semakin meningkatnya peredaran hoax, fake news, melubernya propaganda-propaganda politik rasial, hingga tak terbendungnya serangan ideologis terorisme, menjadi ancaman pemecah belah demokrasi. Belum lagi, polarisasi isu-isu politik kepentingan jelang pemilu mempercepat erosi ruang demokrasi.
Dalam bukunya, Demokrasi di Era Post Truth (2021), Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono mengatakan, karakter teknologi internet (digital) pada dasarnya sudah demokratis. Di antara teknologi yang sering disebutkan memiliki kaitan demokrasi adalah teknologi komunikasi. Mengutip Zizi A. Papacharissi, dalam buku A Private Sphere:Democracy in A Digital Age (2010), Gunawan dan Ratmono menyebutkan, teknologi yang menawarkan kemampuan ekspresif seperti teknologi komunikasi cenderung memicu munculnya narasi-narasi tentang kebebasan, otonomi, dan emansipasi di kalangan publik atau warga negara. Sementara demokrasi sendiri sebagai sebuah sistem pemerintahan menjamin adanya kesetaraan, kebebasan, dan kemungkinan partisipasi sipil.
Meskipun demikian, relasi teknologi dengan demokrasi, menurut Papacharissi, cenderung dibingkai dalam polarisasi perpektif antara kutub utopia dan distopia. Kedua kutub ini turut berpengaruh pada cara pandang pengguna media terhadap penggunaan ruang digital. Kutub utopia meyakini bahwa teknologi media baru memiliki karakter demokratis, sehingga kehadirannya dianggap positif dan fungsional bagi kehidupan demokrasi.
Sementara itu, kutub distopia beranggapan bahwa teknologi media baru memiliki karakter yang secara inheren tidak demokratis, sehingga kehadirannya cenderung membawa ancaman dan bersifat disfungsional bagi kehidupan demokrasi. Bagi mereka, teknologi internet justru membius dan mematikan daya kritis masyarakat. Lantas, yang terjadi bukan massa yang aktif berpartisipasi, melainkan massa yang pasif. Kalaupun aktif, mereka hanya aktif sebagai konsumen.
Ruang digital-teknologis memang memungkinkan partisipasi masyarakat lebih besar. Namun, tidak serta-merta tawaran platform media sosial otomatis meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Rupanya bingkai kutub distopia lebih dominan diminati ketimbang kutub utopia.
Peter Dahlgren (2013) berpendapat bahwa keterlibatan politis masyarakat dalam ruang virtual masih rendah. Menurutnya, warganet lebih cenderung mengonsumsi konten-konten yang berisi hiburan ketimbang mencari berita-berita politik. Ruang virtual juga cenderung menjadi semacam echo-chamber atau ruang yang bergema, penuh keriuhan, tapi tidak jelas ujung pangkalnya. (Gunawan dan Ratmono, 2021: 70).
Ruang Publik Baru
Platform media berbasis internet mesti menjadi ruang publik baru yang bisa memungkinan partisipasi politik warga. Tentu saja ini pekerjaan besar dan tidak cukup mudah. Warganet (netizen) perlu memakai ruang digital sebagai ranah yang membuka lebar corong kebebasan bertanggung jawab dan partisipatif secara politis.
Arah komunikasi politik yang selama ini top-down, menjadi bottom-up dan decentralized perlu dipertahankan secara argumentatif, bukan asal bicara berdalih partisipasi. Warga negara dalam ruang digital perlu terlibat, tidak hanya aktif tetapi juga mesti punya sumbangsih bagi peradaban demokrasi melalui penggunaan media sosial secara positif, tidak menyebarkan hoax, fake news, atau propaganda rasial.
Ruang publik baru dalam ranah digital perlu digencar, mengingat massa mulai beralih dari ruang korporeal-konvensional menuju ruang digital. Oleh karena itu, sangat beralasan merekonstruksi pola penggunaan ruang digital agar lebih partisipatif dan bertanggung jawab. Negara sebagai lembaga hegemonik perlu memberi pemahaman lebih kepada setiap penghuni ruang virtual dalam mendukung proses demokrasi kita di Indonesia.
Negara tidak boleh represif dalam setiap pengambilan kebijakan. Ruang digital (media sosial) adalah ruang diskursus bersama rakyat yang sedianya memengaruhi kebijakan negara. Kita tidak menghendaki negara menciptakan semacam kesadaran palsu: kondisi “massa” dibentengi agar tidak menemukan kebenaran dari situasi hidup mereka. Massa (rakyat), demkian Louis Althusser (1918-1990), “dibuat setuju” atas tindakan negara, termasuk tindakan represif. Negara mesti membidani terwujudnya ruang diskursus demokratis dalam ruang siber demokrasi itu.
Negara hendaknya tidak boleh menekan kebebasan sipil melalui beragam regulasi represif berdalih ketertiban. Kebebasan sipil dan budaya politik yang mendapat skor terendah dalam perankingan EIU, perlu mendapat atensi lebih dari negara. Kalau masyarakat sipil sebagai jantung demokrasi saja dikekang, ke mana demokrasi kita melangkah? Kita perlu berbenah, dan tidak berhenti di situ. Perlu langkah perubahan untuk kemajuan demokrasi pada setiap aspek (indikator).
Demokrasi ruang virtual perlu didesain agar lebih efektif menjangkau publik dan mesti menciptakan ruang diskursif yang lebih luas. Dengannya kita sedang menggunakan ruang publik baru secara positif.