Oleh: Fortunatus Hamsah Manah
Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai Provinsi NTT
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Undana
Akar korupsi adalah politik uang. Sayangnya, korupsi dan politik uang seringkali dipandang sebagai persoalan moralitas dan hukum semata. Benar bahwa koruptor itu pencuri dan karena itu secara moral itu sangat buruk dan melanggar hukum. Benar bahwa politik uang itu suatu kejahatan dalam pemilu dan melanggar hukum. Tentu saja secara moral itu buruk.
Namun analisis secara ekonomi, sosial dan politik mengantar kita untuk menganalisis bahwa korupsi dan politik uang bukan sekedar persoalan hukum dan moral tetapi lebih kepada persoalan sistemik. Bagaimana strategi mencegah praktik korupsi dalam konteks Pemilu? Hal itulah yang dibedah dalam tulisan ini.
Cyper Jehan Paju Dale (2013) dalam bukunya “Kuasa Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik” mengatakan korupsi bertumbuh subur dalam sistem kapitalistik, ketika akumulasi capital menjadi tujuan dan persaingan bebas menjadi mekanisme utamanya. Menurut hemat saya korupsi juga dilanggengkan oleh praktek politik uang dalam pemilu. Korupsi mengakar dalam praktik politik uang.
Korupsi sebagai bagian dari permasalahan kejahatan, telah menjadi suatu dagangan politik. Ketika berlangsungnya kampanye, peserta pemilu dan pilkada menjadikan korupsi sebagai sebuah tema dagangan kampanye yang seksi.
Mereka menyatakan “ayo lawan praktik korupsi sampai ke akar-akarnya, korupsi merusak pembangunan, dan korupsi melahirkan pemiskinan sistemik dan sebagainya”. Namun tanpa disadari, korupsi terjadi sesungguhnya karena proses terpilihnya pemimpin melalui biaya politik yang tinggi.
Biasanya dengan cara menyuap masyarakat atau yang populer disebut politik uang/money politic. Pola pencegahan korupsi biasanya dilihat dari sisi aspek kebijakan politik.
Tanpa disadari bahwa perilaku praktik politik uang saat proses pemilihan menyebabkan terpilihnya calon pemimpin yang korup. Maka perlu adanya pencegahan melalui pendidikan politik agar tidak terjadi korupsi politik saat proses pemilihan umum.
Fransiska Adelina (2019) menjelaskan bahwa salah satu penyebab atau potensi dari praktik korupsi politik ialah politik uang yang digunakan untuk praktik jual beli suara pemilih.
Mengutip pendapat Bumke (2014) bahwa selama ini memang tidak ada definisi baku tentang politik uang. Istilah politik uang digunakan untuk menyatakan korupsi politik, klientelisme hingga pembelian suara.
Robin Hodess (2004) mendefinisikan korupsi politik sebagai penyelewengan kekuasaan yang dilakukan politisi (political leaders or elected officials) untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan tujuan meningkatkan kekuasaan atau kekayaan. Dari sisi waktu, korupsi politik dapat terjadi sebelum, saat, dan setelah pelaku menjabat sebagai pejabat publik.
Politik uang merupakan salah satu praktik yang dapat menciptakan korupsi politik. Politik uang sebagai the mother of corruption adalah persoalan utama dan paling sering terjadi di Indonesia (Aspinall & Sukmajati, 2015).
Politik uang menjadi corong utama menciptakan seorang pemimpin yang pro terhadap kepentingan pribadi dan kelompok. Politik uang mengakibatkan biaya politik seorang pemimpin saat proses pemilihan menjadi mahal.
Tentu ketika seorang kandidat yang terpilih dengan proses suap menyuap, akan berpikir bagaimana modal yang dikeluarkan kembali dan bukan berpikiran untuk kepentingan rakyat.
Menurut Sarah Brich (2009) korupsi politik dalam pemilu biasanya dilakukan melalui praktik politik uang. Hal tersebut akan menghasilkan orang yang ‘salah’ sebagai pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang representatif dan akuntabel.
Alasannya karena politisi yang terpilih tidak akan mengutamakan kepentingan rakyat. Pada sisi lain, kepercayaan kepada mereka pun rendah. Selain itu, korupsi politik juga dapat mendorong korupsi di sektor-sektor lain.
Proses pemilihan seorang kandidat menjadi pejabat publik merupakan hal yang penting untuk diperhatikan bersama khususnya oleh masyarakat.
Masyarakat harus memiliki pemahaman yang cukup bahwa korupsi politik berbentuk praktik politik uang akan merugikan mereka. Hubungan antara pemimpin dan rakyat hanya sebatas hubungan klientelistik bukan good citizen.
Maka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat saat menjelang pemilihan umum sangatlah penting, agar masyarakat memiliki pengetahuan politik yang cukup.
Studi yang dilakukan oleh The Latin American Public Opinion Project (LAPOP) Americas Barometer, Afrobarometer, Money Politics Project di Asia Tenggara menunjukan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan praktik jual beli suara atau politik uang.
Indonesia hanya kalah bersaing dibanding Uganda dan Benin. Menurut Manzetti dan Wilson (2007), perilaku masyarakat yang cenderung lemah dalam mendapatkan informasi politik menjadi sasaran utama praktik politik uang.
Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan mengungkapkan hasil survei tahun 2020 kajian Litbang Kompas soal politik uang, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang. “Mayoritas masyarakat tidak melaporkan praktik politik uang kepada pihak berwenang,” ujar Bambang.
Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN). Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu.
Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu dengan tema Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diadakan oleh Bawaslu, di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021) lalu.
Menurut Burhanuddin dkk, (2019), jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%.
Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia.
Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain,
Pertama, 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut.
Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
(Komite Independen Sadar Pemilu, 2019) Praktik politik uang yang menciptakan korupsi politik ini telah menjadi budaya masyarakat Indonesia dalam setiap perhelatan pemilu/pilkada/pilkades.
Tentu, perlu adanya upaya untuk mencegah peraktik politik uang dan menyadarkan masyarakat bahwa praktik politik uang merupakan praktik yang merugikan masyarakat dalam jangka panjang. Selain itu, praktik politik uang ini menjadi corong utama penyebab munculnya pemimpin yang korup dan tidak pro terhadap rakyat.
Maka menyadarkan masyarakat untuk melakukan perlawanan politik uang ini sangat penting untuk memposisikan masyarakat sebagai good citizen. Serta memposisikan masyarakat sebagai kontrol roda pemerintahan. Dampak korupsi dalam pemilu sangat beragam.
Salah satu contohnya ialah ketika politisi yang terpilih dengan cara korup, maka dapat dipastikan akan melakukan praktik korupsi ketika berkuasa. Hal ini disebut sebagai investive corruption yaitu pemberian barang atau jasa yang biasa disebut dengan gratifikasi.
Hal yang menarik terjadi di Manggarai Provinsi NTT, upaya pendidikan yang dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten Manggarai untuk menanggulangi praktik politik uang yaitu dengan cara mendorong masyarakat sipil untuk melawan praktik politik uang dengan mendeklarasikan Kampung Anti-Politik Uang (APU), dengan menggandeng semua stakeholder yang konsen terhadap demokrasi seperti GMNI, PMKRI, BEM Unika Santu Paulus Ruteng, BEM STIE Karya Ruteng, BEM STIPAS Santu Paulus Ruteng, OMK, Remaja Masjid, LSM, tokoh masyarakat, dan aktor masyarakat setempat.
Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Manggarai, terdapat seluruh desa yang memiliki sejumlah anak kampung yang mendeklarasikan diri menjadi Kampung Anti-Politik Uang saat Pemilu 2019 lalu.
Bawaslu bersama berbagai stakeholder perlu terus menggalakkan pendidikan politik dan pemahaman kepada masyarakat bahwa praktik politik uang merupakan salah satu penyebab rusaknya demokrasi di Indonesia dan akan menciptakan korupsi politik.
Selain itu, gerakan ini perlu terus dilakukan dengan cara memberikan sosialisasi politik di setiap perkumpulan warga dengan berbagai cara baik secara langsung maupun melalui media digital.
Selanjutnya dilakukan juga upaya preventif dengan membuka posko pengaduan apabila mendapati sebuah praktik politik uang yang merupakan akar dari korupsi.
Selanjutnya gerakan antikorupsi harus terus digalakkan bersamaan dengan gerakan lawan politik uang.
Gerakan ini perlu dibangun tidak hanya oleh Bawaslu, tetapi dibangun secara bersama melibatkan kekuatan semesta rakyat Indonesia untuk merebut kembali kuasa rakyat dari tangan koruptor.
Karena itu pemberantasan korupsi adalah agenda penting transformasi sosial untuk keluar dari lingkaran kemiskinan sistemik. Caranya, ayo berantas korupsi dari akarnya dengan katakan tidak pada politik uang.