Labuan Bajo, Vox NTT- Pemerintah Indonesia saat ini mencanangkan 3 strategi untuk mengurangi emisi karbon Indonesia.
Pertama, pembangunan rendah karbon. Kedua, transfer energi dari energi tidak ramah lingkungan yaitu batu bara dan bahan bakar fosil menjadi energi bersih seperti panas bumi/geothermal, tenaga air, matahari dan angin. Ketiga, pengelolaan sampah untuk mengurangi karbon.
Di Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur berencana akan melaksanakan proyek eksplorasi panas bumi Wae Sano. Proyek tersebut akan digarap oleh PT Geo Dipa Energi.
Plt. Direktur PT Geo Dipa Energi Riki Firmandha Ibrahim mengklaim proyek itu adalah wujud nyata kerja untuk mengurangi emisi karbon Indonesia. Ia menyebut energi panas bumi/geothermal merupakan sumber energi bersih dan rendah karbon serta ramah lingkungan.
“Saya berharap dan mengimbau saudara-saudara kita di Wae Sano dan Pemda Manggarai Barat untuk mengambil peran aktif dalam mengatasi kenaikan suhu bumi menjadi 2 derajat akibat adanya perubahan iklim,” ujar Riki dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Kamis (16/12/2021).
Menurut dia, kenaikan suhu bumi ini dapat mengakibatkan bencana iklim dan kemanusiaan di seluruh belahan dunia.
Hal ini tentu saja berisiko pada meningkatnya penyakit berbasis lingkungan, kegagalan panen, cuaca ekstrem, dan yang paling berbahaya adalah suhu panas akan meningkat sampai lebih dari 50 derajat sehingga manusia sulit untuk bertahan hidup.
Belum Terealisasi
Lima tahun sudah terlewati, proyek pengembangan geothermal atau panas bumi Wae Sano tak kunjung terealisasi.
Padahal, Riki menyebut, sejumlah pihak telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU), baik antara perusahaan dengan pemerintah maupun perusahaan dengan Gereja Katolik Keuskupan Ruteng.
Terkatung-katungnya pelaksanaan proyek geothermal disinyalir akibat adanya sekelompok warga yang menolak kehadiran geothermal yang merupakan energi baru, rendah karbon dan ramah lingkungan.
“Kelompok penolak geothermal beralasan, kehadiran geothermal dapat mengganggu ruang hidup mereka,” terang Riki.
Ia menjelaskan, proyek eksplorasi Wae Sano adalah salah satu proyek pengembangan panas bumi yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Proyek ini dikenal dengan nama Proyek Pengeboran Pemerintah atau Government Drilling (GEUDPP) yang mendapat pendanaan dari pemberi dana internasional.
Proyek eksplorasi panas bumi Wae Sano pada awalnya merupakan penugasan kepada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian Keuangan PT SMI.
Sedangkan pada tahun 2021, penugasan ini dilanjutkan kepada PT Geo Dipa Energi (Persero).
“Kami melihat memang ada beberapa hal dan kajian yang harus dilakukan agar dapat mendukung kelancaran proyek, khususnya yang terkait dengan isu sosial,” ujar Riki.
Pada Juni 2020, jelas dia, Komite Panas Bumi Indonesia menerima sebuah surat yang ditujukkan Presiden Joko Widodo.
Surat yang ditulis oleh Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat ini intinya meminta agar proyek eksplorasi Wae Sano dihentikan karena dipandang mengganggu ruang hidup masyarakat di sana.
Menyikapi kondisi ini maka ada 3 pendekatan yang dilakukan oleh Komite Bersama Panas Bumi Indonesia.
Ketiganya, yakni membentuk kelembagaan bersama untuk proyek Wae Sano yang melibatkan semua unsur terkait seperti: Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, PT SMI dan PT Geo Dipa Energi.
Kemudian, melakukan analisis gap terhadap kajian yang telah dilakukan sebelumnya dan memperkuat kajian-kajian yang diperlukan bilamana belum pernah dilakukan.
Lalu, menyusun MoU untuk membangun kerja sama kemitraan bersama Keuskupan Ruteng untuk bersama-sama membantu mendengar dan mengatasi keberatan masyarakat penolak di Wae Sano.
Keberatan terutama dengan alasan proyek dinilai tidak memperhatikan pendekatan secara adat dan budaya dan mengganggu wilayah keramat dan tanah leluhur. Proyek dinilai tidak transparan dan banyak janji. Proyek dinilai menimbulkan rasa sakit hati bagi beberapa tokoh penolak. Proyek dinilai menimbulkan bencana dan membuat warga harus relokasi dan dapat menimbulkan Genocide atau mati masal sehingga warga terpaksa harus evakuasi.
Riki mengungkapkan sepanjang tahun 2020 sampai dengan tahun 2021, proyek telah melakukan pengelolaan bidang sosial di antaranya adalah: Untuk masyarakat adat Wae Sano, melakukan Free Prior Inform Concern (FPIC).
Hal ini agar proyek dapat diterima secara menyeluruh oleh masyarakat adat Desa Wae Sano dan dapat bekerja sama untuk melaksanakan rencana aksi yang tertuang dalam CDP.
Kemudian, melaksanakan rencana aksi dalam Community Development Plan (CDP) masyarakat adat dengan proyek. Selanjutnya, optimalisasi peran panitia kampung untuk menyampaikan keluhan kepada proyek dalam kerangka GRM dan memonitor perubahan-perubahan sikap masyarakat sebagai bagian dari proses evaluasi stakeholder engagement.
Tidak hanya itu, dibangun pula pusat informasi di tingkat desa. Mendirikan dan mengelola pusat informasi tentang kegiatan eksplorasi panas bumi di Desa Wae Sano.
Sementara itu untuk Stakeholder di luar masyarakat adat dilakukan: Diseminasi informasi kepada pemangku kepentingan lain di luar kelompok masyarakat adat. Kegiatan yang dilakukan antara lain sirkulasi informasi tentang kegiatan eksplorasi panas bumi, mitigasi risiko, pengelolaan sosial dan lingkungan, pelaksanaan CDP dan dampaknya bagi livelihood masyarakat. Bentuk diseminasi antara lain: workshop, pembuatan poster, leaflet, spanduk. Pemanfaatan media sosial untuk diseminasi informasi panas bumi Wae Sano.
Lalu, mengajak keterlibatan (involve) dan berkolaborasi dengan Keuskupan Ruteng dalam pelaksanaan CDP. Melibatkan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat sebagai mitra diseminasi informasi mengenai kinerja proyek bagi pemangku kepentingan.
Menurut Riki, keseluruhan pendekatan pengelolaan bidang sosial ini dilakukan secara sinergis dan terpadu melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dan tentunya ini memerlukan waktu serta tenaga agar dapat terlaksana dengan baik.
Kendala Utama
Riki menjelaskan, setelah menyelesaikan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL Tahap 1) di tahun 2020 maka pada tahun 2021 ini, proyek eksplorasi geothermal Wae Sano memasuki periode pelaksanaan RKTL tahap 2 yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang lebih panjang daripada RTKL 1.
Apalagi yang dilaksanakan adalah pendekatan pengelolaan sosial. Semua perlu dilakukan secara partisipatif dengan mendengarkan masukan dan pendapat dari berbagai pihak.
“Kami menyadari bahwa pengelolaan sosial ini memerlukan dialog dan diskusi yang tidak sederhana dan tidak singkat dan harus dilaksanakan dengan prinsip pelibatan bermakna dari semua pihak dalam arti bahwa proyek perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, dengan terus memperhatikan standar yang diberlakukan oleh Bank Dunia (World Bank),” terang Riki.
Ia melanjutkan, pemahaman dan kesadaran mengenai perlunya panas bumi dijalankan di Indonesia adalah dalam rangka mengurangi emisi karbon negara ini dan dalam rangka mencapai target Net Zero Emission untuk membantu mencegah semakin memburuknya perubahan iklim dunia.
Panas bumi merupakan energi bersih yang bila digunakan dapat membantu Indonesia mengatasi dan mencegah semakin buruknya efek gas rumah kaca yang diperkirakan dapat meningkatkan suhu bumi sampai sebesar 2 derajat, dan ini akan berdampak mengerikan bagi umat manusia seperti penyakit berbasis lingkungan semakin banyak, kekeringan dan gagal panen di banyak bagian di dunia serta beberapa negara dan wilayah pesisir akan tenggelam karena naiknya permukaan air laut.
Tampaknya, lanjut Riki, kesadaran dan pemahaman akan hal ini perlu dibangun di antara masyarakat agar semua dapat saling bahu membahu menjaga bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim dalam beberapa tahun mendatang.
“Beberapa waktu lalu Pemerintah Manggarai Barat sudah meneken MoU dengan Dirjen ESDM tentang rencana pengembangan geothermal,” imbuh Riki.
Ia menambahkan, sejak PT Geo Dipa Energi dilibatkan di lapangan eksplorasi Wae Sano sudah bekerja bersama Komite Bersama Panas Bumi Indonesia.
Kerja sama ini untuk melakukan pengelolaan baik bidang sosial maupun bidang teknis. Dalam pelaksanaannya pun PT Geo Dipa Energi mengikuti standard safeguard yang merupakan ketentuan dari Bank Dunia untuk semua pengelolaan dana pinjaman kepada bank dunia di mana melibatkan proses berdialog dan berkonsultasi bersama masyarakat Desa Wae Sano.
“Proses pengelolaan sosial ini memang memerlukan investasi waktu untuk memastikan bahwa proyek telah menerapkan dan melaksanakan apa yang telah digariskan di dalam ESMP (Environment and Social Management Plan),” katanya.
Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Sekretaris Komite Bersama Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi telah menyampaikan klarifikasi secara detail terhadap alasan yang disampaikan oleh warga yang menolak geothermal.
Poin- poin klarifikasi tersebut sudah disosialisasikan pulsa kepada masyarakat. Namun, segelintir warga masih tetap menolak geothermal dengan alasan bahwa titik pengeboran berada terlalu dekat dengan pemukiman warga atau ruang kehidupan warga.
Menurut Riki, proyek eksplorasi geothermal Wae Sano secara teknis telah melakukan perubahan pada desain teknis, di mana titik pengeboran tidak lagi dimulai dari titik pengeboran well pad B di Dusun Nunang dikarenakan adanya keberatan masyarakat Dusun Nunang mengenai rencana pemboran yang dirasakan terlalu dekat dengan pemukiman warga.
Proyek eksplorasi akan dimulai dari titik pengeboran/well pad A yang berjarak cukup jauh dari pemukiman warga dan sedianya titik pengeboran B akan dimanfaatkan untuk Demo Plot percontohan kegiatan pertanian sebagai bagian dari Benefit Sharing Program atau program berbagi manfaat untuk warga Wae Sano.
Dengan dipindahkannya titik pengeboran ke well pad A, maka titik pengeboran berada di dusun di luar Nunang dan berada jauh dari pemukiman.
Riki menegaskan, seharusnya warga tidak lagi menolak geothermal dikarenakan sekarang jaraknya sudah jauh dari pemukiman dan wilayah yang diprotes masyarakat akan digunakan untuk area percontohan pemberdayaan masyarakat. Karena proyek geothermal tidak hanya mendatangkan manfaat untuk pergantian dari sumber energi yang tidak ramah lingkungan seperti batu bara menjadi energi bersih seperti panas bumi/geothermal namun juga proyek eksplorasi Wae Sano juga mendatangkan manfaat lain melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Riki pun menjamin proyek eksplorasi Wae Sano tidak ada relokasi warga dikarenakan proyek telah melakukan penyesuaian desain teknis dengan memindahkan titik pengeboran menjauh dari wilayah pemukiman warga sehingga tidak perlu ada relokasi.
Proyek ini tunduk pada standar pengelolaan lingkungan dan sosial yang digariskan oleh Bank Dunia, di mana secara ketat proyek harus melaksanakan berbagai kajian mengenai dampak pengeboran dan kegiatan eksplorasi geothermal di Wae Sano dan melakukan mitigasi terhadap dampak tersebut baik secara lingkungan maupun sosial.
Apabila proyek melakukan pelanggaran maka pendanaan akan dihentikan oleh pihak bank. Dengan demikian, maka proyek sangat berhati-hati dalam menjalankan kegiatan pengeborannya karena berkaitan langsung dengan keberlanjutan pendanaan proyek.
Sehingga kegiatan yang akan dikerjakan di Kampung Lempe tentunya akan sangat aman dan menjaga kelestarian lingkungan serta menjaga ruang hidup masyarakat kampung tersebut.
“Adapun seperti yang telah disampaikan di jawaban pertanyaan sebelumnya maka untuk Kampung Nunang areanya akan dimanfaatkan untuk kebutuhan yang lain termasuk untuk kegiatan pemberdayaan pertanian masyarakat,” imbuh Riki.
Sumber Pendanaan Proyek Geothermal dan Skema Pemanfaatannya
Riki menjelaskan, sumber pendanaan proyek geothermal Wae Sano adalah dari dana hibah Bank Dunia.
Berdasarkan data 3G yang ada, hasil perhitungan sumber daya hipotesis tim Geo Dipa didapatkan perkiraan sumber daya panas bumi yang bisa dimanfaatkan dari lapangan Wae Sano berkisar 44MW (P50).
Keterjangkauan energi listrik tentunya bergantung pada program PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di wilayah NTT dan sekitarnya.
Namun, berdasarkan informasi yang ada baik dari PLN dan Pemerintah Daerah Manggarai Barat, program penyediaan tenaga listrik ini sangat diharapkan dalam waktu dekat untuk menunjang program wisata premium di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Riki menambahkan, program ini berlangsung sampai dengan tanggal 31 Desember 2025.
Sebagaimana saat ini, semua negara di dunia sedang berjuang untuk menghadapi perubahan iklim akibat adanya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, maka Indonesia pun sedang berupaya keras untuk mengurangi emisi karbonnya.
Pemerintah, kata dia, serius melakukan perubahan energi dari energi yang menghasilkan karbon dan merusak lingkungan seperti energi batu bara yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara menjadi energi bersih, di mana salah satunya adalah panas bumi/geothermal.
Kegagalan negara-negara dalam berjuang mengurangi emisi gas rumah kaca akan berakibat kepada meningkatnya suhu bumi di tahun yang akan datang dan menyebabkan bencana bagi banyak belahan dunia.
Riki menjelaskan, Indonesia memiliki target untuk segera mengalihkan energi dari batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi energi hijau/bersih, di mana salah satunya dihasilkan oleh panas bumi/geothermal melalui PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi).
“Keputusan untuk tetap meneruskan proyek ini, tentunya juga dengan mempertimbangkan unsur strategis kepentingan seluruh umat manusia dalam upaya menghadapi perubahan iklim melalui peralihan energi dari energi kotor menjadi energi bersih,” terang dia.
Riki pun berharap agar semua pihak benar-benar menyadari betapa pentingnya upaya menghadapi perubahan iklim ini. Pemanasan global, perubahan iklim yang ekstrem, banjir dan kekeringan yang ekstrem serta semakin sulitnya pertanian untuk berproduksi menghasilkan bahan pangan untuk umat manusia tentu harus menjadi landasan berpijak dalam melihat persoalan ini.
Penulis: Ardy Abba