Mbay, Vox NTT- Aksi telanjang dada ibu-ibu kembali terulang dilakukan kelompok penolak pembangunan waduk Lambo, Kabupaten Nagekeo. Meski perempuan dari kelompok penolak ini mengaku sebagai wanita adat, namun aksi telanjang dada bertentangan dengan pengakuan mereka.
Lukas Mbulang, tokoh masyarakat adat Nagekeo mengatakan, bertelanjang bukan simbol perlawanan wanita Nagekeo karena tidak pernah dia dengar dan saksikan dalam kultur masyarakat adat di Nagekeo.
Karena bila ditinjau dari aspek budaya, warga Nagekeo sangat menghormati martabat dan kehormatan wanita.
“Kehormatan wanita dipandang sebagai sesuatu yang sakral karena dari sana sumber kehidupan manusia tercipta,” kata Lukas kepada VoxNtt.com, Jumat (17/12/2021).
Dia menyesalkan aksi telanjang dada yang dilakoni di Rendu Butowe tersebut.
Apalagi yang merekam aksi tersebut adalah anak-anak mereka sendiri, lalu kemudian disebarkan dengan bebas ke media sosial bahkan tidak disensor atau diblur.
“Andaikan yang membuka pakayan mereka adalah aparat atau petugas, saya akan berada di baris terdepan untuk melawan. Mati pun saya rela. Tapi ini, mereka buka sendiri lalu pertontonkan didepan umum dan kemudian viral. Budaya dari mana ini? ” tukas Lukas.
Pengacara LBH Nurani Nagekeo ini bahkan mengutuk keras pihak-pihak yang berada di balik aksi telanjang para wanita ini.
Siapa pun yang berada di balik aksi telanjang ini, kata Lukas, telah berkontribusi besar menurunkan derajat kehormatan wanita Nagekeo dengan memberi ajaran-ajaran budaya yang dia sebut adalah budaya sesat.
Sementara, Bupati Nagekeo Yohanes Don Bosco Do menyampaikan rasa keperihatiannya yang mendalam terhadap aksi tersebut.
Dalam jumpa pers di Aula Setda Nagekeo, Jumat (17/12/2021), Bupati Don berujar, aksi telanjang dada ibu-ibu di Rendu Butowe ini adalah gambaran tentang tergerusnya literasi budaya dan kewarganegaraan Indonesia akibat adanya campur tangan pihak lain.
Oleh Bupati Don, mereka yang memperkeruh situasi di Rendu Butowe disebutnya sebagai penumpang gelap yang sedang mencari panggung dengan memanfaatkan situasi masyarakat setempat untuk menggagalkan proyek tersebut.
“Ada banyak pihak yang menginginkan project ini jangan jadi,” kata Bupati Don.
Dalam penjelasan Bupati Don, aksi eksibisionisme yang terjadi di Rendu Butowe bukan merupakan suatu bagian dari kebiasaan masayarakat Nagekeo.
Aksi telanjang dada, ibu-ibu di Desa Rendu Butowe ini diduga telah melewati proses panjang melalui proses doktrinasi sehingga para wanita Nagekeo ini kemudian kehilangan budaya malu.
Untuk mengatasi situasi ini, pemerintah akan melakukan terobosan pendampingan agar para wanita yang terlibat dalam aksi “telanjang dada” itu dapat segera kembali mendapat jati diri mereka sebagai masyarakat Nagekeo yang berbudaya.
Penulis: Patrick Romeo Djawa
Editor: Ardy Abba