Oleh: Dr. Yohanes Bernando Seran, SH., M.Hum
Persoalan batas maritim di seluruh dunia dan dari zaman ke zaman selalu menjadi terminologi yang kontradiktif dan menimbulkan masalah untuk semua Negara yang saling berbatasan di laut.
Hal ini disebabkan selain karena hal batas maritim adalah aspek hukum laut internasional yang sangat “sophisticated” dalam penerapan hukumnya juga karena secara geografis dunia ini dikelilingi luas lautan yang sangat besar yang dibagi dalam 3 samudra yaitu Samudra Pasifik, Samudra Atlantik dan Samudra Hindia.
Secara historis, sejak zaman Romawi sampai kehidupan modern sekarang ini, masalah batas maritim juga menjadi perdebatan yang panjang dan bahkan telah menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam hubungan antarNegara.
Seperti pada zaman Romawi muncul paham “Res Communis Omnium” yang memberikan keleluasaan dalam pemanfaatan laut bebas bagi semua orang yang dihadapkan pada paham “Res Nullius” yang memberikan kebebasan pada semua orang juga untuk menguasai laut dengan cara pendudukannya (occupation).
Paham terhadap laut tersebut telah turut membuat penetapan batas maritim antara satu Negara dengan Negara lain mengalami hambatan yang besar.
Klaim atas laut juga mengalami perdebatan yang sangat serius dalam hal kepemilikan atas laut (dominium ownership) dan kedaulatan atas laut (sovereignity) yang dibahas Pontanus dalam bukunya Discussiones Historicae, Quibus More Clausum Yohanni Seldini Propius Inspicitur Expenditurque, 1635, 1750.
Diskursus tentang terminologi tersebut di atas mengalami titik kulminasi perdebatannya pada penetapan batas maritim terkait batas territorial, Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE dan batas landas kontinen sebagaimana telah diatur secara limitative dalam ketentuan hukum laut internasional modern yaitu dalam United Nations Convention of The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.
Dalam konteks batas maritim di Indonesia sebagai Negara kepulauan (archipelagic state), setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 khususnya setelah keluarnya Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957, maka batas maritim NKRI yang sebelumnya dihitung 3 mil laut berubah menjadi 12 mil laut yang berimplikasi pada penambahan atau perubahan luas laut.
Selain itu, Deklarasi Juanda juga merubah cara penilaian garis pangkal laut territorial dan garis pangkal normal (normal baseline) menjadi garis pangkal lurus (straight baseline fron point to point) (baca Endy Purwangsih, Perlindungan Terhadap Batas Wilayah Negara Kepulauan, hal. 4).
Perjuangan untuk meyakinkan dunia internasional tentang konsep Wawasan Nusantara dalam Deklarasi Juanda tersebut mengalami tantangan dan hambatan karena tidak diakui oleh negara-negara besar seperti Amerika, Australia, Inggris dan New Zealand.
Kendati demikian setelah 25 tahun akhirnya konsep besar Wawasan Nusantara yang melihat wilayah darat dan lautan sebagai suatu kesatuan akhirnya diterima dan diakui oleh negara-negara dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS) yang diratifikasi oleh Indonesia dalam UU nomor 17 tahun 1985.
Dengan UNCLOS tersebut, Indonesia dapat membagi dan menetapkan batas maritim dengan negara-negara tetangga seperti Australia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, India, Vietnam, PNG dan Timor Leste.
Dalam tulisan berikut ini akan dipaparkan tentang batas maritim di Laut Timor kaitannya dengan klaim atas potensi minyak yang besar di Timor Gap.
Ada beberapa catatan hukum internasional khususnya hukum laut internasional yang dapat diinterpretasi dalam paparan berikut ini guna mendapatkan suatu gambaran yang ilmiah dan rasional tentang eksistensi “Timor Gap” kaitannya dengan batas maritim antara Indonesia, Timor Leste dan Australia.
Sebelum Timor Leste berdiri sebagai Negara berdaulat melalui referendum 30 November 1999, batas maritim Indonesia – Australia khususnya batas di zona Timor Gap telah diatur dalam Timor Gap Treaty, 11 Desember 1989.
Penandatanganan perjanjian tersebut dilakukan di atas pesawat Boeing 737 RAAF antara Menlu Indonesia Ali Alatas dengan Menlu Australia Gareth Evans.
Akan tetapi pascakemerdekaan RDTL, timbulah akibat hukum internasional seperti diperlukan pembahasan ulang tentang batas maritim di laut Timor, setidaknya untuk kepentingan 3 negara yaitu Indonesia, Australia dan Timor Leste.
Batas maritim dimaksud terkait batas territorial, Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE dan batas landas kontinen. Diperlukan penetapan batas-batas dimaksud karena perairan Indonesia dan Australia yang terbentang luas lebih dari 2.100 mil laut dari Selat Torres sampai perairan pulau Christmas adalah juga telah menjadi wilayah yang ada batasan dengan Negara RDTL.
Tentunya batas territorial, ZEE dan landas kontinen masing-masing Negara berpedomankan pada UNCLOS dapat dibuatkan perjanjian internasional yang bersifat Treaty Contract untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun Law Making Treaty untuk persoalan-persoalan jangka panjang.
Akan tetapi berkaitan dengan klaim kepemilikan “Celah Timor” oleh tiga Negara tersebut di atas diperlukan pembahasan ulang agar dapat dibuatkan perjanjian internasional berkaitan dengan pembagian wilayah atas zona A, B dan C berdasarkan geografi maritim yang ada juga berkaitan dengan kedaultan dan hak-hak berdaulat 3 negara tersebut berdasarkan UNCLOS 82.
Klaim kepemilikan atas Timor Gap yang dibagi dengan Timor Gap Treaty, 11 Desember 1989 dengan sendirinya dianggap tidak dapat berlaku lagi ketika Timor Leste berdiri sebagai Negara merdeka dihadapkan pada konsep successor state dan predesor state.
Terjadinya suksesi Negara Timor Leste memberikan akibat hukum internasional setidaknya untuk beberapa aspek fundamental seperti pembagian ulang wilayah di Timor Gap, tata cara eksplorasi dan eksploitasi di zona kerja sama, penyelesaian sengketa dan jangka waktu berlakunya suatu perjanjian internasional (Yanto, M.P. Ekon, SH, M.Hum, Pemisahan Timor Timur Dari Indonesia dan Akibatnya Terhadap Timor Gap Treaty).
Dengan konsep pembagian ulang batas laut di Laut Timor akan memberikan kepastian akan kepemilikan maritim juga memberikan keadilan kepemilikan wilayah laut sehingga kecemasan akan kerugian yang dialami Indonesia yang disampaikan Prof. Herman Johanes tentang pembagian zona A, B dan C dapat diatasi.
Merdekanya Timor Leste sebagai Negara berdaulat mengakibatkan adanya konfigurasi kepulauan Indonesia. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian yang berkaitan dengan hukum laut yaitu, penyesuaian titik dasar untuk garis pangkal, alur-alur laut kepulauan, penyesuaian perjanjian batas maritim (Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2000, hal. 363-364).
Dalam terminologi tersebut, kondisi mutakhir sekarang ini adalah diperlukan pembagian ulang secara menyeluruh terhadap batas maritim tiga Negara dimaksud sesuai dengan perubahan geografis dan geologis wilayah laut setelah Timor Leste merdeka berdasarkan ketentuan hukum internasional UNCLOS 1982.
Dengan demikian wilayah Timor Gap yang menjadi perebutan tiga Negara harus tunduk pada ketentuan primer batas maritim laut teritorial, ZEE dan landas kontinen.
Prinsip yang digunakan dalam pembagian batas maritim tersebut juga harus disepakati yaitu apakah menggunakan pembagian dengan sistem median line berdasarkan Konvensi Jenewa 1982 ataukah dengan sistem bathymetric axis line.
Persoalan dasarnya adalah kesepakatan bersama antara Indonesia, Australia dan Timor Leste untuk melihat Laut Timor dan isinya serta kekayaannya sebagai potensi yang harus digarap dan digunakan untuk kepentingan umat manusia.
Hukum dalam konteks ini harus dilihat sebagai syarat sekunder karena pada hakekatnya hukum internasional itu bukanlah hukum dalam arti yang sesungguhnya tetapi lebih banyak memuat tentang moral bangsa untuk mengatur kepentingan bangsa-bangsa secara universal.