(Sebuah refleksi)
Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, bhk, M. Pd
Ka SMPK Frateran Ndao
“Kita mengubah dunia bukan dengan apa yang kita katakan atau lakukan, tetapi sebagai konsekuensi dari telah menjadi apa kita.”… David R. Hawkins
Sudah dua tahun kita merayakan tahun baru di tengah suasana pandemi Covid-19. Euforia menyongsong detik-detik pergantian tahun lama ke tahun baru terasa berbeda saat sebelum pandemi Covid-19.
Sebelum pandemi Covid-19, gegap gempita bunyi petasan dan kembang api menghiasi atmosfer bumi saat jelang pergantian tahun. Namun, saat seperti sekarang ini, hura-hura tidak ada lagi, namun tidak mengurangi makna tahun baru bagi kita.
Sebab, makna tahun baru tidak terletak pada ritus atau seremonial belaka, melainkan pada perubahan mindset. Dengan lain kata, bahwa tahun baru hanya akan bermakna, manakala setiap kita dilahirkan secara baru, sebagai manusia baru yang memiliki hati dan budi yang baru, atau kepribadian yang baru (sikap, perilaku, tutur kata dan perbuatan) yang mencirikan manusia baru yang berbeda dari sebelumnya secara positif.
Namun, yang perlu digaris bawahi, bahwa manusia baru di sini harus dikaitkan dengan peristiwa Natal. Artinya peristiwa Natal, harus dimaknai bukan hanya memperingati hari raya kelahiran Yesus, tetapi, harus menjadi Natal kita secara rohani, yakni kita dilahirkan secara baru, dengan menanggalkan cara hidup manusia lama, dan mengenakan manusia baru dengan cara hidup yang baru.
Atau dengan kata lain, peristiwa Natal, harus melahirkan suatu komitmen untuk kita berubah, tidak hanya dalam bentuk narasi, melainkan dalam bentuk aksi nyata, yakni pertobatan.
Jadi, peristiwa Nataru memiliki garis linear dengan pertobatan. Inilah makna Nataru yang sesungguhnya. Artinya peristiwa Natal sebagai peristiwa kelahiran bagi kita, harus mampu mengantar kita untuk hidup sebagai manusia baru di tahun yang baru.
Dengan demikian, kita hidup di tahun baru sebagai pribadi yang bertobat atau lahir sebagai manusia baru. Dan sebaliknya, jika kita tidak bertobat, maka peristiwa Nataru, hanyalah upacara atau ritus tahunan tanpa makna.
Kalau demikian adanya, layakkah kita hidup di tahun baru? Sebab, sesungguhnya makna tahun baru adalah kita manusia dilahirkan secara baru, berkat peristiwa Natal. Dengan demikian, sesungguhnya tahun baru hanya akan bermakna, jika kita hidup secara baru, melalui peristiwa Natal.
Itu artinya pula, jika Natal tidak bermakna dalam hidup kita, maka tahun baru pun demikian. Memang untuk menjadi manusia baru bukan hal yang mudah untuk dilakukan, melainkan perlu dilakukan pembaharuan diri terus menerus atau metanoia, dalam cara hidup dan cara berpikir.
Oleh karena itu, maka tahun baru, harus menjadi momentum untuk kita introspeksi diri, agar di tahun yang baru, di tengah pandemi Covid-19 kita tampil sebagai manusia baru, yang saling peduli, saling memperhatikan, bergerak dan tergerak hati oleh belas kasihan kepada sesama sebagai saudara.
Itu artinya pula bahwa pengejawantahan sebagai manusia baru ditahun baru dapat terlihat dengan menjadi ada bagi sesame di tengah situasi yang melanda bangsa kita saat ini.
Melalui gerakan ada untuk sesama sebagai saudara, berarti kita telah mewujudkan tema Natal tahun 2021, yakni Cinta Kasih Kristus yang menggerakkan persaudaraan. Oleh karena itu, tahun baru harus dapat melahirkan persaudaraan yang baru yang dilandasi oleh Cinta Kasih Kristus.
Hal ini sesuai dengan ajaran dan perintah baru yang diberikan Yesus kepada para muridNya, yakni untuk saling mengasihi (Yoh. 13: 34 – 35). Dan sudah tentu, bahwa saling mengasihi bukan hanya sekedar narasi, melainkan dalam bentuk aksi nyata melalui perbuatan baik kita, kepada sesama saudara kita yang mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19.
Dan bisa jadi, pandemi covid-19 ini, sebagai sarana yang dipakai Tuhan untuk mengasah dan mempertajam rasa kemanusiaan kita kepada sesama. “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu, yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40).
Namun, tahun baru hendaknya tidak hanya mengasah dan mempertajam rasa kemanusiaan kita, melainkan juga mengasah dan mempertajam akal budi dan hati nurani kita, sehingga lisan kita membuahkan kata-kata yang bernas, manis, menyejukan, damai, menenteramkan, menyenangkan, dan bukan kata-kata yang provokatif, kata-kata yang menghasut, menghujat, menghina, merendahkan sesama hanya karena kita tidak suka, dan bisa jadi karena kita iri hati.
Maka di tahun baru, kita harus memberikan makna baru bagi diri kita, dengan suatu kesadaran baru bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak gelar, titel, semakin banyak ilmu, semakin terhormat, harusnya juga semakin rendah hati, semakin bersahaja dan semakin bijak, dalam mengkritisi sesuatu.
Siapapun boleh mengkritik, asal berdasarkan data, dan etika dalam berkomunikasi harus dijunjung tinggi. Demikian juga dengan pilihan kata atau diksi harus tepat, jangan asal bunyi, dan harus ada solusi serta bukan kritik hanya untuk kepuasan pribadi.
Sebab apa gunanya menyandang status akademisi, imam, ustadz, pendakwah, tetapi tidak bisa memberikan teladan hidup yang baik dan benar, sebagai seorang tokoh, dalam bersikap, dalam berperilaku, dalam bertutur kata dan dalam bertindak?
Oleh karena itu, setiap tokoh publik, saat perform di TV, harus bisa memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat, dan bukan mempertontonkan kualitas diri yang rendah. Untuk itu, jika, kita sungguh-sungguh mau berubah di tahun baru, tidak hanya narasi, tetapi diikuti dengan aksi dalam bentuk resolusi tahun baru, yakni janji yang dibuat pada diri sendiri, untuk memulai sesuatu yang baik dan menghentikan kebiasaan yang buruk, mulai dari hari pertama di tahun baru.
Andai kata setiap orang membuat resolusi ini di akhir tahun sebelum memasuki tahun baru, sebagai gerakan bersama, maka hidup kita seperti negeri di awan, sebagaimana yang dinyanyikan oleh Katon Bagaskara, di mana kedamaian menjadi istananya.
Pertanyaannya adalah maukah kita berkomitmen untuk melakukan resolusi bagi setiap kita di tahun baru 2022 ini? Jika, kita mau dan mampu melakukan itu, berarti kita sedang mengubah “dunia” diri kita, niscaya kita mampu mengubah dunia yang luas di sekitar kita.
Seperti sebuah cerita berikut, yang mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kita. Konon, cerita ini diketahui tertulis di makam seorang Uskup Anglikan di Westminster Abbey, sekitar 1100 AD. tentang seorang pria yang ingin mengubah dunia, sbb:
“Ketika aku masih muda, aku ingin mengubah seluruh dunia. Lalu aku sadari, betapa sulit mengubah seluruh dunia ini. Maka aku putuskan untuk mengubah negaraku saja.
Ketika aku sadari bahwa aku tidak bisa mengubah negaraku, aku mulai berusaha mengubah kotaku. Ketika aku semakin tua, aku sadari tidak mudah mengubah kotaku. Maka aku mulai mengubah keluargaku.
Kini aku semakin renta, aku pun tak bisa mengubah keluargaku. Ternyata aku sadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri.
Tiba-tiba aku tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti bisa mengubah keluargaku dan kotaku. Pada akhirnya aku akan mengubah negaraku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia in”.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah, jangan pernah bermimpi yang muluk-muluk, yang spektakuler atau melakukan hal-hal yang besar, luar biasa, melainkan mulailah dengan melakukan hal-hal yang realistis, sederhana dan kecil yang bisa dilakukan dan diwujudkan dengan tindakan nyata.
Bunda Teresa dari Kalkuta pernah menulis “dalam hidup ini, barangkali kita tidak bisa melakukan banyak hal yang besar, namun kita bisa melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar”.
Sekali lagi, untuk mewujudkan mimpi ini, maka kita harus mulai mengubah diri kita, mindset atau cara berpikir kita. Jangan pernah berharap bahwa kita bisa mengubah diri orang lain tanpa terlebih dahulu mengubah diri kita sendiri.
Sebagaimana yang diucapkan oleh Plato bahwa “sumber setiap perilaku adalah pikiran. Dengan pikiran kita bisa maju atau mundur, dengan pikiran kita bisa bahagia atau sengsara”.
Karena itu, “Plato” sekali lagi menegaskan ”ubah pikiran anda, niscaya kehidupan anda berubah”. Andaikan ini yang terjadi, maka damailah Indonesiaku, damailah Negeriku bagai negeri di awan.
Ingat, Indonesia adalah kita semua yang hidup di bumi pertiwi Indonesia dan ini bukan hanya milik sekelompok orang, suku, agama, budaya atau ras tertentu. Kita semua lahir dari rahim yang sama ibu pertiwi Indonesia.
Namun, hal ini hanya akan menjadi sebuah retorika belaka, manakala kita secara pribadi, tidak dapat mengubah mindset atau cara pikir kita tentang sesama, tentang kelompok, tentang suku, tentang agama, dan tentang budaya atau ras tertentu, maka cita-cita dan semboyan Bhineka Tunggal Ika hanya akan tetap menjadi sebuah slogan.
Akhirnya kalau kita sungguh merenungkan hakikat kita sebagai manusia yang diciptakan secitra dengan Allah, maka kita tidak perlu sombong. Mengapa? Karena kita yang namanya manusia di hadapan Allah sama.
Yang membedakan kita adalah sikap kita atau karakter kita. Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (sangsekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain), namun tidak dalam arti menjadi serigala bagi manusia lain (homo homini lupus).
Secara umum manusia adalah makhluk sosial (zoon politikon) yang senantiasa membutuhkan orang lain, sebagai teman (homo homini socius). Dan justru dengan kita hidup bersama dengan manusia yang lain, maka kita disebut sebagai manusia.
Dan tentunya, dalam berinteraksi, manusia yang berakal budi harus bisa mengontrol dirinya, emosinya, dalam bersikap, berperilaku, bertutur kata dan bertindak. Itulah hakikat manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk mulia yang berakal budi, yang memiliki kehendak dan hati nurani, yang membedakan kita dengan hewan atau binatang. Jangan sampai hewan atau binatang jauh lebih beradab dari kita manusia.
Oleh karena itu, agar kita manusia lebih beradab dari binatang kata kuncinya ada pada resolusi di tahun 2022. Semoga kita sudah menyiapkan resolusi kita masing-masing sehingga kita siap menyongsong tahun baru sebagai manusia baru yang memiliki hati dan budi yang baru.
Seorang ilmuwan bernama “Pascal” berujar “kemuliaan manusia terletak pada pikirannya”. Hal ini, sesuai dengan kodrat manusia yang diciptakan sebagai makhluk mulia oleh Tuhan, karena manusia dikaruniai akal budi atau pikiran.
Oleh karena itu, “Socrates” berkata “dengan pikiran seseorang bisa menjadi bebunga-bunga atau berduri-duri”. Semoga di tahun baru ini, kita semua menjadi bunga-bunga yang indah nan segar, semerbak aromanya yang menghiasi “dunia” di sekitar kita.
Indah bumiku Indonesia, lestari bangsaku, damai hatiku, hatimu. Dengan demikian kita adalah Indonesia, kita adalah Pancasila. Hanya dengan begitu, tahun baru akan bermakna bagi saya, anda dan kita…happy new year 2022…mari kita beresolusi di tahun 2022… be a new man.