Oleh: P. Avent Saur, SVD
Pendiri Kelompok Kasih Insanis, Peduli Sehat Jiwa NTT
Akhir Tahun 2021, saya rayakan bersama umat di Kapel Ndenasangi. Itu wilayah Gereja Paroki Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Keuskupan Agung Ende, Flores.
Jadwal perayaan pukul 17.00 Wita diundur ke 18.30 lantaran hujan lebat mengguyur wilayah itu sejak pukul 16.00. Suasana sejuk. Sunyi. Belum ada bebunyian musik dan teriakan sukacita jelang menyambut tahun baru. Apalagi kembang api.
Merayakan tutup tahun dalam kerangka agama, setidaknya itu adalah tanda nyata bahwa kita yakin tiada hari yang kita lewati tanpa penyertaan Tuhan. Kita bersyukur atas pengalaman-pengalaman. Kita mohon ampun atas dosa-dosa. Kita mohon pembaruan diri atas kekeliruan-kekeliruan. Ya agar masuk tahun baru, kita membawa komitmen diri yang baru.
Malam itu, ada banyak hal yang direfleksikan. Salah satunya, disadari bahwa kita masih ada kini atau tidak, hari ini tetap ada. Hari besok tetap ada. Kita mau namakan hari ini Jumat atau besok Sabtu, waktu akan tetap ada. Kita mau namakan ini akhir tahun 2021, beberapa jam lagi tahun 2022, waktu tetap ada.
Artinya waktu itu abadi. Kita rapuh, fana. Kita rapuh dalam waktu yang abadi. Dalam 2021, ada anggota keluarga atau kenalan kita yang pergi selamanya. Tak pernah pulang. Pergi tinggal cerita. Tak menikmati akhir tahun. Tak menikmati suasana awal tahun 2022.
Dan waktu yang abadi itu adalah Tuhan, Sang Pencipta. Tuhan itu Sang Waktu, abadi. Dari pada-Nya kita berasal, kepada-Nya kita pergi.
Yang perlu kita lakukan semasih berada dalam waktu adalah ingat dan lakukan apa perintah-Nya, jauhi larangan-Nya. Ingat dan lakukan kasih, jauhi benci dan permusuhan. Berdoa, bekerja. Relasi baik, berbuat baik. Berpikir baik, berkata baik. Juga berikan respons yang baik dalam menghadapi keadaan apa pun. Cukup!
***
Usai perayaan tutup tahun, saya diajak oleh Bapak-Bapak dan para pemuda untuk duduk-duduk di bawah tenda terpal. Bercerita. Dengar musik. Tawa ria. Itu ditemani kopi dan kue.
Ini Kampung Kolija, tak jauh dari Ndenasangi di mana rumah ibadah terletak. Malam itu, semua warga kampung, 250 jiwa, 60-an kepala keluarga, duduk berkumpul dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Satu dusun, dua komunitas umat basis.
Mungkin ada yang tak sempat bergabung, itu tidak terlalu kentara. Ya termasuk dia, seorang pemuda, yang kini sudah memasuki tahun ke-12 hidup dalam kayu pasungan.
Malam itu, bukan hanya musik yang kami nikmati. Bukan juga cuma cerita dan tawaria.
Pemandu acara mempersilakan kepala desa untuk berkata-kata buat rakyatnya. Juga tetua adat dan ketua komunitas umat basis. Yang terakhir, saya.
Tampak sekali, kehidupan sosial yang kental di kampung itu. Saling meneguhkan, saling mendukung, saling mengoreksi.
Dan saya, tentu dukung semua hal baik. Selebihnya, saya berikan satu dua pengetahuan tentang kesehatan jiwa. Edukasi kesehatan jiwa.
Bahwa hidup kita bukan hanya soal mencari makan dan memakan, lalu kenyang. Hidup kita mengandung aneka aspek, aneka fungsi. Fungsi kerja, fungsi rohani, fungsi sosial, fungsi budaya, fungsi rawat diri. Yang utama adalah fungsi berpikir, fungsi perasaan, dan fungsi perilaku.
Kalau semua fungsi ini, kurang lebih, berjalan baik, maka kesehatan jiwa kita terjaga. Kalau kurang berjalan baik, maka kita sesungguhnya pernah mengalami masalah kesehatan jiwa. Dan kita manusia, semua, tanpa kecuali, bukan hanya pernah mengalami sakit fisik, melainkan juga mengalami masalah kejiwaan.
“Artinya kita semua pernah gangguan jiwa?” umat bertanya. “Bukan!” tegas saya.
Masalah kejiwaan itu adalah hal umum dalam dunia kesehatan jiwa, sedangkan gangguan jiwa itu adalah sakit terkait kesehatan jiwa yang mesti dibereskan. Sebagaimana fisik kita sakit, harus segera dibereskan.
Selanjutnya, saya jelaskan apa itu gangguan jiwa? Apa itu gila? Bagaimana mengatasi gangguan jiwa? Apa yang kita lakukan supaya tidak mengalami sakit jiwa?
Lainnya lagi, apa itu dukun? Apa itu pendoa? Jangan ke dukun! Jangan ke pendoa! Dan kenapa orang bisa mabuk setelah mengonsumsi minuman keras?
***
Dan di kampung itu, ada seorang warga, usia 40-an tahun, tak menikah, menderita gangguan jiwa sejak usia remaja. Ia berulang kali dipasung. Dan pasungan yang hingga kini ia alami, itu dimulai sejak 2008 atau 2009. Sudah sekitar 12 atau 13 tahun. Ini pasungan terlama sepanjang sejarah sakitnya, entah hingga kapan.
Seingat saya, namanya pernah tercatat di pusat data Kelompok Kasih Insanis (KKI). Namun ketika dicari, namanya tak ditemukan, entah kenapa.
Malam itu, bersama kepala desa, kita buat rencana sederhana untuk mengunjungi korban pasung itu pada Sabtu, 1 Januari 2022, seusai perayaan di rumah ibadah. Ini kegiatan sosial pertama relawan KKI pada tahun yang baru, 2022.
Siang itu, saya ditemani seorang pemuda, menyambangi rumah orangtua dari korban pasung. Ada banyak kisah di balik perjuangan orang tua untuk merengkuh keadaan pulih buat anaknya. Ke aneka dukun dan aneka pendoa, itu semua sudah mereka lalui.
Bahkan momen penyembuhan massal yang dilakukan seorang tokoh agama tertentu baik di Ende, Ibukota Kabupaten Ende, maupun di Mbay, Ibukota Kabupaten Nagekeo, beberapa tahun silam, mereka tidak sia-siakan. Namun hasilnya, sia-sia belaka.
Sejak dipasung 2008-2009 lalu, orangtua tidak berbuat banyak hal lagi buat anaknya, selain hanya memberikan makanan dan minuman. Kebutuhan ekonomi. Kebutuhan kesehatan tidak sama sekali.
Sepanjang obrolan itu, mata orangtua itu berkaca-kaca. Beberapa pertanyaan kunci tentang kehidupan dan iman pun muncul bertubi-tubi: Tuhan, apa salah kami? Apa salah anak saya? Kenapa bisa terjadi begini? Kenapa upaya-upaya kami tidak berbuah kesembuhan? Dan sebagainya.
Semuanya tidak begitu mudah dijawab hanya dengan beberapa menit perjumpaan.
***
Sesaat usai obrol, saya mendekati korban pasung, di sebuah rumah usang yang sudah lama ditinggalkan. Rumah reyot. Tak berdinding. Atap berlubang sana sini.
Rumah berbentuk panggung, kolong, dengan kayu-kayu bambu yang sudah lapuk, termakan anai-anai. Pada banyak titik ada sarang tawon. Menyeramkan. Pada kolong, banyak sampah, termasuk kotoran dari korban pasung.
Saat ditemui, ia tak berbusana sedikit pun. Tubuhnya yang kurus itu hanya ditutupi selembar kain lusuh, tercabik-cabik. Rambut panjang tak terurus. Demikian juga wajah, berjenggot, cukup panjang, tak terurus. Belasan tahun tubuhnya tak pernah dibilas air sedikit pun. Kulit kaki terpasung mulai terkelupas. Luka.
Bicaranya cukup nyambung saat obrol. Yang ia minta pertama saat obrol adalah air dan rokok. Kita penuhi.
“Bantu saya, Pater. Saya sakit!” pintanya.
“Ya, saya datang untuk bantu. Apa yang bisa saya bantu?” tanya saya.
“Kepala saya pusing. Susah tidur,” tuturnya.
“Ok. Nanti saya bawa dokter dan perawat ke sini. Kalau mereka berikan vitamin, Anda harus minum. Rutin,” respons saya.
“Ok. Baik. Saya mau,” tegasnya.
Sambungnya lagi, “nanti gunting rambut saya. Mandi juga. Bawa juga pakaian buat saya. Saya mau pakai pakaian.”
“Ok. Saya bisa bantu. Yang penting Anda mau. Ya supaya segera sehat,” tutur saya dalam obrolan inti saat itu.
Tentu bukan cuma kali ini saya dan para relawan Kelompok Kasih Insanis menyaksikan korban pasung dengan kondisi memprihatinkan. Bagi siapa pun yang tak tahan iba menatap kondisi ini, biasanya mata kita berkaca-kaca. Prihatin. Bahkan kasihan.
Namun korban pasung sama sekali tidak membutuhkan belaskasihan kita. Mereka membutuhkan bantuan berupa gerakan solutif yang membawa dia keluar dari penderitaan yang dialaminya. Apalagi kalau penderitaan itu sudah dialami belasan tahun, bahkan dua puluhan tahun.
Untuk korban pasung yang kita tatap pada awal tahun 2022 ini, betapa kita berharap, kemudian segera bergerak untuk membantu. Apakah dia akan terbantu? Apakah dia akan pulih? Bahkan apakah dia akan sembuh? Itu semua bukan hal inti dari bantuan yang bakal diberikan.
Lalu apa intinya? Intinya adalah dia memiliki hak untuk (1) mendapat layanan kesehatan jiwa, (2) mendapat layanan sosial, (3) mendapat layanan ekonomi. Lebih dari itu, apakah dia akan pulih atau tidak, itu bagian dari proses-proses yang bakal dilewati. Proses yang baik pasti berbuah baik. “Tanam jagung, panen jagung” (bukan panen padi), begitu bunyi pepatah adat di Manggarai, Flores.
***
Ya kita sudah melewati tahun 2021. Kita sudah memasuki tahun 2022. Kita baru pada tahun baru. Namun Saudara kita itu, hari berganti hari, keadaannya tetap sama. Sakit. Tahun lama berganti tahun baru, keadaannya tetap sama. Sakit.
Dan sesungguhnya, kita hanya mungkin membawa diri baru pada tahun baru jika memberikan kesaksian hidup baru di hadapan Saudara kita yang terpasung itu.
Kalau kita boleh bertutur dengan mengacu pada keyakinan agama, khususnya Katolik, kita semua tentu berharap, “penderitaannya yang sudah lama didera, kiranya menjadi kepingan salib Tuhan,” agar penderitaan itu bermakna buat penebusan bagi dirinya dan bagi banyak orang yang dengan sukacita melakukan dosa dan kesalahan tanpa sedikit pun komitmen untuk bertobat.
Salah tobat kita pada tahun baru adalah tobat dari kelalaian menaruh kasih pada korban pasung itu. Ya kalau bisa seperti itu!
Selamat tahun baru, 2022.
Dan masihkah pemangku agama terus bergelut dengan ritus di rumah ibadah tanpa menjangkau Saudara ini? Masihkah pemangku pemerintahan terus bergelut dengan politik mutasi dan pembangunan hitung-hitungan? Entahlah!