Oleh: Epi Muda
Dalam dunia kerja tidak asing lagi terjadi gender shaming. Gender shaming menjadi perbincangan yang hangat di dunia tempat kerja adalah kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasaan yang dilakukan terhadap perempuan ditempat kerja merupakan suatu bentuk ketidakadilan dan pelanggaraan HAM. Persoalan mengenai ketiakadilan dan pelanggaran HAM ini bukan hal baru tetapi sudah mengakar dalam kehidupan manusia.
Tindakan ini perlu disikapi sedini mungkin agar tidak tedapat perkara yang berkepanjangn.
Gender shaming yang dilakukan terhadap perempuan di tempat kerja juga melahirkan adanya ketidakpedulian atas status sosial seorang perempuan dalam dunia kerja.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan “Adanya perilaku ini menyebabkan perempuan seringkali diremehkan di tempat kerja, dianggap sebagai penghambat dan memiliki produktivitas lebih rendah.
Hal ini kontraproduktif dengan tujuan kita semua, untuk terus meningkatkan pemberdayaan perempuan di dunia kerja agar bisa memberikan dampak positif pada perekonomian dari level individu, keluarga hingga negara” (Suara.com, diakses 21 Januari 2022).
Gender Shaming
Dalam pengertian yang sederhana gender merupakan perbedaan (distingsi), bukan pembedaan (diskriminasi) antara laki-laki dengan perempuan, misalnya dalam aspek biologis, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang selanjutnya bersifat komplementer.
Dalam cakupan yang lebih luas, konsep gender tidak semata merujuk kepada jenis kelamin tertentu. Akan tetapi lebih jauh dapat dipahami bahwa gender merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan peran dan relasi sosial laki-laki dan perempuan.
Shaming berasal dari kata bahasa Inggris yang artinya rasa malu. Definisi rasa malu menurut KBBI V adalah merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan dan sebagainya).
Shaming yang dilakukan seseorang kepada orang lain merupakan kekerasan verbal yang dapat melukai psikologis seseorang.
Gender shaming atau biasa disebut seksisme merupakan perilaku diskriminasi atau merendahkan orang lain berdasarkan gender yang dimiliki.
Perilaku ini rupanya juga rentan ditemukan di dalam lingkungan kerja yang didmoninasi oleh laki-laki (Koran Media Indonesia, 20 Januari 2022).
Perlakuan terhadap perempuan di tempat kerja dengan tindakan yang tidak terpuji akan meminimalisasi kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan itu sederajat. Tanpa adanya kesadaraan yang ideal sebagai seorang pria dengan sendirinya melahirkan ketimpangan gender.
Gender Shaming di Tempat Kerja
Dalam webinar CSR PLN bersama salah satu televisi swasta di Jakarta bertajuk Gender Shaming di dunia kerja pada Rabu (19/01/22), Menaker Ida Fauziyah menegaskan, salah satu faktor yang ikut menghambat adalah masih adanya gender shaming alias stereotip dan seksisme yang menjadi akar diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan (Gatra.com, diakses 21 Januari 2022).
Gender shaming alias stereotip dan seksisme merupakan perilaku diskriminasi atau merendahkan orang lain berdasarkan gender yang dimiliki.
Gender Shaming lebih berkaitan dengan kekerasaan dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja. Perbuataan ini sering dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap perempua dalam dunia kerja.
Persoalan dasarnya adalah masih adanya anggapan bahwa pribadi perempuan itu lemah dan tidak berdaya. Perempuan tidak boleh merambah pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki.
Selain itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) menambahkan, data ketimpangan bagi perempuan juga sudah terlihat dalam aspek pendidikan yang menjadi modal dasar untuk berdaya di dunia kerja.
Persentase angkatan kerja perempuan yang berpendidikan rendah (SMP ke bawah), lebih besar dibandingkan laki-laki. Sedangkan untuk angkatan kerja dengan tingkat pendidikan menengah (SMA dan SMK), persentase perempuan justru lebih rendah dibandingkan laki-laki (ibid.,).
Persolan mengenai pendidikan tentunya menjadi prioritas tetapi pendidikan belum tentu menjamin seseorang untuk bekerja secara maksimal. Sangat diagungkan adalah skil dalam bekerja.
Pendidikan juga belum tentu menjamin akhlak seseorang untuk mengerti dan memahami keadaan setiap pribadi manusia lainnya.
Justru kaum laki-laki yang memiliki persentase rasio yang lebih dapat mengarahkan perempuan dalam setiap pekerjaan mereka bukan menjadi biangkerok terjadinya kekerasaan dan pelecehan terhadap perempuan.
Munculnya tindakan kekerasaan dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja merupakan suatu bentuk tindakan tidak adil yang sangat radikal.
Kekerasaan yang dilakukan terhadap perempuan ditempat kerja merupakan suatu bentuk pelanggaraan HAM. Persoalan mengenai pelanggaran HAM ini bukan hal baru tetapi sudah mengakar dalam kehidupan manusia.
Gender shaming yang dilakukan terhadap perempuan di tempat kerja juga melahirkan adanya ketidakpedulian atas status sosial seorang perempuan dalam dunia kerja. Lantaran masih ada tindakan distingsi atau perbedaan terhadap kodratnya kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam dunia kerja.
Mengatasi Gender Shaming di Tempat Kerja
Suatu perbuatan atau masalah yang dilakukan tentunya mengharapkan adanya pengambilan jalan tengah untuk mengatasinya. Suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan entah itu verbal maupun non-verbal tidak bisa dilepasakan begitu saja.
Sangat diharapkan adanya kepedulian mengambil langkah untuk mengatasinya. Tujuan supaya tidak terjadi kesalapahaman dan perluasan masalah yang lebih jauh serta tidak mengulangi hal yang telah terjadi.
Maka dari itu, untuk mengatasi gender shaming di tempat kerja terutama kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan oleh pihak laki-laki.
Pertama, adanya kesadaran dari pihak laki-laki untuk mendalami konsep tentang keterkaitan satu sama lain yang selalu mengharapkan adanya citra dan kiprah seorang perempuan dalam membantu memperlancarkan pekerjaan laki-laki.
Alasanya, antara laki-laki dan perempuan pasti memiliki sisi kelemahan dan itu membutuhkan kerjasama untuk memenuhinya.
Kedua, dalam suatu lingkungan tempat kerja pasti memiliki aturan (rule). Aturan-aturan yang ada tentunya mengharapkan tidak ada terjadinya kekerasan verbal maupun non-verbal terhadap sesama baik itu perempuan maupun laki-laki.
Untuk itu, sistem kerja yang baik dan berjalan lancar diharapkan adanya kesadaran diri untuk membaca dengan detail peraturan di setiap tempat kerja.
Ketiga, kerendahan hati. Untuk mengatasi terjadinya gender shaming di tempat kerja terkhususnya terhadap perempuan dianjurkan untuk seorang laki-laki harus rendah hati untuk menghargai perempuan.
Keempat, ingat HAM. Setiap manusia yang hidup di dunia ini memiliki hak untuk hidup. Untuk itu, tidak ada pihak manapun mengganggu bahkan memangkas hak hidup seseorang dengan cara apapun.
Terutama memangkas hak hidup bagi perempuan di tempat kerja oleh pihak laki-laki.
Gender shaming atau biasa disebut seksisme merupakan perilaku diskriminasi atau merendahkan orang lain berdasarkan gender yang dimiliki. Gender Shaming lebih berkaitan dengan kekerasaan dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja. Karena itu,gender tidak lagi dilihat sebagai peran dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan, melainkan dijadikan suatu obyek diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Hal praksis yang dapat dilihat atas ketimpangan gender dalam hal ini ialah pembagian kerja dan pembuatan keputusan yang telah mengakibatkan kurangnya kesempatan dan rendahnya status sosial perempuan dibandingkan laki-laki.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyoroti bahwa masih banyak hambatan yang dialami perempuan di dunia kerja, termasuk stereotipe dan seksisme yang menjadi akar diskriminasi berbasis gender sehingga pemerintah terus berusaha memastikan perlindungan dan pemenuhan hak kerja perempuan (ibid., 20 Januari 2022). Untuk itu, dianjurkan penerapan nilai sosial sebagai bentuk mengatasi perbuatan yang melahirkan istilah gender shaming di tempat kerja khususnya terhadap pribadi perempuan.
Penulis adalah Mahasiswa tingkat II -STFK Ledalero-Maumere. Penulis sekarang berdomisili di biara Unit Agustinus. Akun Facebook; Tiber Moeda.