Oleh: Oncak Animing
(Tinggal di Ritapiret, Maumere)
Ini negeri yang umatnya berjuta-juta. Tapi tak pernah membaca. Tanya mengapa? Ini negeri yang mencintai paha dan dada ketimbang buku dan sastra. Tanya mengapa? Ini negeri yang mengelu-elukan selebritis ketimbang penulis. Jangan tanya mengapa!
Indonesia adalah negeri yang berjuta-juta, tetapi rendah akan budaya literasi. Tanya mengapa? Puisi karya penyair Ahmadi Sofyan tersebut menjadi inspirasi sekaligus alasan dasar untuk menganalisis kondisi Indonesia dalam bingkai perkembangan budaya populer (dunia perfilman dan selebritis) sekarang ini.
Dalam sebuah analisis fenomena yang penulis lakukan terhadap beberapa postingan dunia maya seperti Facebook, WhatsApp, maupun beranda tik-tok dan bukan penelitian sosial dengan terjun langsung ke lapangan atau kehidupan nyata masyarakat.
Ada hal yang mencolok sekarang ini yakni kecintaan kaum muda Indonesia terhadap selebritis seperti Black Pink dan artis-artis tanah air maupun film drama Korea daripada informasi tentang dunia literasi dan penulis buku.
Para selebritis, maupun film drama korea tersebut memang banyak menampilkan pesan-pesan inspiratif maupun isu-isu HAM akan nilai kemanusiaan.
Namun fenomena kaum muda sekarang bukan terletak pada film, drama Korea atau dunia selebritis akan nilai-nilai HAM dan pesan-pesan inspiratif, tetapi lebih pada kepopuleran selebritis karena tampilan wajah dan fisik semata.
Para penulis jarang diupload dalam unggahan Facebook, WhatsApp dan Tik-Tok. Jangan tanya mengapa! Mari kita berliterasi.
Pada awal pemerintahan Presiden Jokowi, ada sebuah cita-cita bersama untuk membaharui rakyat Indonesia khususnya kaum muda dalam seruan dan kerja nyata ‘revolusi mental’.
Inti dasar dari revolusi mental adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang beradab, berkemanusiaan, berakhlak secara matang dalam mental afeksi dan rasio.
Dalam analisis penulis, sebenarnya proses revolusi mental ini dalam masyarakat Indonesia dapat ditempuh dengan matang secara agama dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika dan matang dalam ilmu pengetahuan.
Kata matang beragama dan ilmu pengetahuan hendak merunjuk pada konteks beragama dan berilmu pengetahuan yang benar, berakhlak, beradab, dan berkemanusiaan.
Maka konsekuensi logis untuk mencapai kematang kedua hal tersebut adalah haus akan kebenaran dengan mempertebal budaya literasi, agar menjauhkan masyarakat Indonesia dari pemahaman tertentu yang sempit.
Anne Morrow Lindbergh dalam bukunya Loked Rooms and Open Doors, mengatakan: “I must write it all out. Writing is thinking. It is more than living, for it is being conscious of living”.
Dalam saduran bebas, kutipan ini berbunyi: “saya harus menulis dengan segenap karsa. Menulis adalah berpikir.
Menulis itu lebih dari hidup, karena dengan menulis saya sadar akan hidup ’’.
Dalam kacamata penulis, kegiatan menulis bukan hanya sekadar tulisan di atas kertas kosong, tetapi harus berlandaskan pemikiran yang matang (berpikir sebelum menulis), dan menulis dengan segenap karsa (kekuatan/daya jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak).
Hal itu agar realitas kehidupan bisa dibahasakan secara tepat dan adanya kepekaan terhadap realitas hidup itu sendiri.
Dengan kata lain, proses menulis adalah kegiatan menuangkan ide berpikir dan kedalaman refleksi dalam menyikapi sebuah realitas dan menerima hidup itu apa adanya.
Senada dengan Anne Morrow Lindbergh tentang “Menulis adalah berpikir”, Rocky Gerung pernah mengatakan: “ijazah adalah tanda seseorang pernah mengenyam pendidikan dan bukan tanda seorang pernah berpikir”.
Hemat penulis, pendapat dari Rocky Gerung tersebut sangatlah relevan dengan realita masyarakat berpendidikan saat ini; yang bermental instan mengenyam pendidikan hanya untuk mendapatkan ijazah tanpa mendalami proses pendidikan dalam bentuk budaya literasi yang kuat, salah satunya budaya menulis.
Chairil Anwar dalam buku puisi Aku Ini Binatang Jalang dengan judul “Aku”, bersajak ‘aku ingin hidup seribu tahun lagi’ .
Dalam kacamata penulis, makna kalimat tersebut bila dianalisis lebih jauh hendak menegaskan pentingnya budaya literasi yakni menulis sebagai cara memperpanjang usia; dengan argumentasi dasar badan manusia pasti akan hancur oleh kematian, tetapi usia tulisan dan nama seorang penulis akan tetap abadi dikenang.
Namun, fenomena rendahnya budaya literasi Indonesia dan menguatnya kecintaan kaum muda terhadap selebritis daripada penulis masih menjadi persoalan besar dalam menjadikan budaya literasi sebagai budaya yang mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Mengapa?
Indonesia: Negeri yang Lebih Mencintai Selebritis daripada Penulis
Perkembangan budaya populer dan kaum muda sekarang ini berbanding terbalik dengan kemajuan budaya literasi dalam dunia pendidikan.
Selebritis dan drama Korea semakin membanjiri perbincangan kaum muda zaman sekarang, setidaknya dalam unggahan Facebook, WhatsApp, dan Tik-Tok.
Lebih miris, kekaguman pada budaya populer tersebut hanya mengarah pada kekaguman tampilan fisik semata dan bukan berdiskusi serta menganalisis perkembangan budaya populer (drama Korea) tersebut menjadi sebuah tulisan dengan memandang dari segi ekonomi, sosial, budaya, religius, dan politik.
Perspektif kaum muda Indonesia sekarang juga akan kata ‘berpengetahuan luas’ juga dipersempit dalam golongan sudah update drama korea atau belum.
Orang yang sibuk dengan membaca buku, atau hanya mengetahui sebagian alur cerita dengan membaca informasi film, tetapi belum menonton habis drama Korea tersebut terkadang dipandang kurang update.
Selebritis yang menjadi idola kaum muda seturut unggahan dalam setiap beranda media sosial yang penulis temukan ialah artis K-pop seperti black pink dan actor/aktris film Korea, Anya Geraldine serta selebritis Indonesia lainnya.
Penulis sendiri jarang menemukan unggahan tulisan para pemikir atau tentang penulis buku dalam dunia maya jika dibandingkan dengan unggahan tentang selebritis dan dunia perfilman.
Hanya Rocky Gerung saja yang lumayan mengisi beranda Tik-Tok dari golongan para pemikir intelektual.
Jika mengingat kembali materi Abdur Arsyad sang komika asal Larantuka, NTT, tentang dunia pendidikan dalam Stand-up Suci 4, permintaan dari siswa yang ingin mengganti Albert Einstein dengan Ariel Noah dalam lembaran soal untuk menganalisis soal yang rumit dalam khayalan mimpi yang sempurna, sejenak alasan sederhana kaum muda Indonesia lebih mencintai selebritis daripada penulis terletak pada penilaian tampilan fisik cantik dan ganteng.
Dengan argumentasi kebanyakan penulis tidak seganteng atau secantik selebritis.
Selain itu juga, faktor ketersediaan handphone atau media sosial menjadi faktor tersendiri kemunduran dalam mencintai para penulis buku.
Hal ini terjadi karena hampir semua waktu dihabiskan dengan handphone dan media sosial daripada mengunjungi perpustakaan.
Memang dalam handphone telah tersedia aplikasi pendukung dunia pendidikan, seperti Google dan lain-lain, tetapi aplikasi dunia maya/sosial lebih menghibur, menarik, dan memanjakan kaum muda.
Seorang pakar Pendidikan mengenai efek samping tayangan televisi terhadap otak, Jane M. Healy Ph. D, dalam jurnal AAP News mengemukakan bahwa “Higher levels of television viewing correlate with lowered academic performance especially reading scores.”
Maksudnya, kuatnya anak memelototi televisi berhubungan erat dengan merosotnya prestasi akademik anak, khususnya nilai membaca.
Salah satu sebabnya, anak yang terbiasa menonton televisi, otaknya cenderung banyak istirahat .
Dalam kacamata penulis, efek yang sama juga didapatkan oleh kaum muda yang cenderung menghabiskan waktunya di media sosial.
Alasan lebih mencintai televisi dan media sosial menurut penulis karena tampilan yang menarik dan sering memanjakan mata dan otak karena kelambanan berpikir kritis akibat otak yang beristirahat.
Kemunduran dalam dunia pendidikan kaum muda Indonesia zaman sekarang juga tidak terlepas dari peran lembaga pendidikan formal dalam mengakrabkan budaya literasi dengan para peserta didik.
Alasannya sederhana saja, budaya literasi akan menggurita dalam masyarakat Indonesia jika dimulai dari kebiasaan, dan lembaga pendidikan formal mempunyai kewajiban yang besar dalam menciptakan hal tersebut selain peran lingkungan keluarga.
Ini negeri yang umatnya berjuta-juta. Tetapi lebih mengelu-elukan selebritis ketimbang penulis.
Jangan tanya mengapa! Memang jawaban yang pasti adalah jangan tanya kenapa, tetapi lebih pada tindakan nyata dengan semakin mengakrabkan diri dengan budaya literasi agar kita mengetahui sendiri jawabannya. Budaya literasi adalah pintu dunia.
Indonesia: Negeri yang Mencintai Paha dan Dada ketimbang Buku dan Sastra
Indonesia adalah negeri yang umatnya berjuta-juta. Ini negeri yang mencintai paha dan dada ketimbang buku dan sastra.
Tanya mengapa? Menarik juga menganalisis fenomena ini dalam keterkaitan dengan alasan lemahnya mencintai dunia tulisan jika dibandingkan dengan selebritis dan dunia perfilman.
Hampir sebagian unggahan video dalam beranda Tik-Tok sekarang ini adalah video goyang yang terkadang maupun video kegiatan lain yang semata-mata menampilkan sisi aurat dan kemolekan tubuh sebagai wallpaper utama demi mendapatkan kepopuleran dan like dari netizen.
Sejenak dalam analisis penulis, fenomena ini juga menampilkan minat atau pola pikir dari kaum muda Indonesia sekarang yang terlalu mendewakan kepopuleran hingga mengorbankan tubuh, norma kesopanan, dan harga diri.
Masyarakat Indonesia lebih memilih aktivitas yang memanjakan mata ketimbang membaca buku demi menggairahkan perkembangan otak dan pola pikir.
Selain itu juga, alasan rendahnya kecintaan masyarakat terhadap dunia tulisan dan sastra adalah mental masyarakat Indonesia yang kurang berminat pada kegiatan yang lebih merangsang otak untuk berpikir.
Masyarakat Indonesia kurang mencintai proses tetapi cenderung bermental easygoing, sehingga untuk membaca buku atau menjadi penulis dan menganalisis sastra dinilai membosankan, membutuhkan proses dan waktu yang lama, serta lumayan sulit dalam membaca maksud puisi, seperti kata Subagio Sastrowardoyo ‘Tugasku hanya ingin menerjemah gerak daun yang letih di ujung ranting’.
Mencintai penulis buku dan mengerti dunia sastra membutuhkan pengetahuan yang luas serta kedalaman refleksi.
Mirisnya, masyarakat Indonesia kurang pengetahuan dan kedalaman refleksi karena lebih mendewakan selebritis, dunia perfilman karena tampilan fisik dan kepopuleran semata.
Semua ingin menjadi cantik dan ganteng karena framing media, daripada cantik dan ganteng secara moral dan pengetahuan.
Mari berliterasi; cintai dunia tulisan dan penulis buku dengan menjadi penulis.