(Tulisan ini dibuat dalam memperingati Ulang Tahun Bawaslu ke 14, 09 April 2022)
Oleh: Fortunatus Hamsah Manah
Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai
Pada awalnya Indonesia tidak memiliki lembaga yang khusus bertugas mengawasi proses tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Pemilu yang pertama kali dilakukan Indonesia di tahun 1955 belum dikenal lembaga pengawasan Pemilu.
Lembaga yang khusus melakukan pengawasan Pemilu baru muncul di Indonesia pada Pemilu 1982, yang disebut Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu).
Selama Pemilu era Orde Baru sejak tahun 1982 sampai Pemilu 1997 Panwaslak selalu dibentuk untuk mengawal Pemilu sekaligus menjadi legitimasi Orde Baru bahwa Pemilu yang dilaksanakan merupakan Pemilu demokratis di bawah pengawasan Panwaslak.
Runtuhnya rezim Orde Baru tidak serta merta menunjukkan niat untuk membubarkan Panwaslak, namun Panwaslak bertransformasi menjadi Panwaslu pada Pemilu 1999. Kemudian, pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014 berubah menjadi Bawaslu.
Panwaslak di Era Orde Baru
Kelahiran lembaga pengawas pemilu di Mauritania memiliki kesamaan latar belakang sejarah dengan kelahiran lembaga pengawas pemilu di Indonesia.
Keduanya lahir dari tuntutan masyarakat yang sedang disekap dalam kekuasaan rezim militer yang kontra dengan demokrasi.
Pasca-tumbangnya Soekarno dengan Orde Lamanya, menjadi penanda lahirnya era baru yang disebut sebagai Orde Baru dengan Soeharto sebagai ikon era baru Indonesia tersebut.
Dengan platform stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan, Soeharto memaksa partai-partai politik untuk berfusi ke dalam dua partai; partai yang berhaluan nasionalisme-sekuler berfusi ke Partai Demokrasi Indonesia, sedangkan partai yang berhaluan nasionalisme-religius berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan.
Sedangkan Golongan Karya adalah tempatnya para masyarakat yang non-partai.
Alhasil skenario stabilitas politik Orde baru berdiri di atas fondasi penyederhanaan partai dengan menempuh jalan yang tidak demokratis.
Orde Baru waktu itu meyakini kemiskinan yang berlarut-larut yang dialami masyarakat Indonesia disebabkan oleh instabilitas politik yang ditandai oleh carut marutnya politik.
Menurut Soeharto, demokrasi dengan mengafirmasi multi-partai, menjadi penyebab instabilitas politik tersebut, sehingga langkah penyederhanaan partai politik harus dilakukan dengan cara apapun.
Dengan dukungan solid ABRI dan Birokrasi, hal tersebut bukanlah menjadi hal sulit.
Hasilnya pada Pemilu 1971 peserta pemilu menjadi tiga, yakni dua dari unsur partai politik PDI dan PPP, serta satu dari unsur non partai yaitu Golkar.
Golkar tidak disebut sebagai Partai Politik karena Orde Baru mengkambing-hitamkan partai.
Akan tetapi dari kaca mata Ilmu Politik, Golkar tidak berbeda dengan PDI dan PPP.
Meskipun usianya masih sangat muda, Golkar pada Pemilu 1971 mampu meraup sukses yang luar biasa.
Hal ini ditandai dengan suara Golkar secara nasional mampu meraup lebih dari separuh suara pemilih (voters turnout).
Golkar mendapatkan 62,80% suara. Kemenangan Golkar yang fantastis pada pemilu 1971 tidak terlepas dari kecurangan sistematis yang dilakukan oleh Golkar melalui Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang saat ini kita kenal sebagai KPU.
LPU terdiri dari Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II), Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Sedangkan yang menjadi anggota kepanitiaan Pemilu dari LPU sampai PPS adalah mereka pegawai negeri sipil sesuai dengan tingkat dan kepangkatannya.
Di sisi lain semua PNS adalah anggota dari Golkar, alhasil loyalitas para penyelenggara pemilu waktu itu ada pada Golkar.
Keberhasilan LPU untuk memenangkan Golkar pada Pemilu 1971 kemudian direplikasi pada Pemilu berikutnya.
Hasilnya pada Pemilu 1977 Golkar kembali meraup separuh lebih suara pemilih. Golkar berhasil mendapatkan 62,11% suara.
Kemenangan Golkar yang di luar nalar membuat masyarakat tergerak untuk menggugat hasil Pemilu 1977.
Dengan dukungan masyarakat yang dimotori oleh gerakan mahasiswa, PDI dan PPP terus melakukan protes dan tekanan kepada Pemerintah untuk memperbaiki proses penyelenggaran Pemilu.
Sebagai upaya untuk meredam aksi protes tersebut, pemerintah dan DPR yang tidak lain didominasi Golkar dan ABRI, merespon dengan membentuk lembaga baru dalam struktur kepanitiaan Pemilu.
Lembaga baru tersebut ditetapkan dengan UU No. 2/1980. Lembaga baru tersebut bernama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslak), yang memiliki tugas untuk mengawasi pelaksanaan pemilu, atau dengan kata lain Panwaslak mengawasi LPU dan jajarannya yang sejak awal diduga menjadi kaki tangan Golkar untuk melakukan manipulasi suara.
Skema keanggotaan Panwaslak memungkinkan masuknya partai politik untuk masuk dalam kepanitiaan Pemilu.
Keanggotaan Panwaslak untuk tingkat nasional terdiri dari satu ketua dan lima wakil ketua merangkap anggota; Ketua Panwaslak adalah Jaksa Agung, lima wakil ketua terdiri unsur Depdagri, ABRI, Golkar, PDI, dan PPP.
Sedangkan keanggotaan untuk tingkatan di bawah mengikuti susunan keanggotaan di pusat.
Sedangkan pertanggungjawaban Panwaslak secara horizontal kepada LPU, begitu seterusnya sampai tingkat terendah. Panwaslak daerah bertanggung jawab pada PPD setingkat.
Pemerintah Orde Baru memang terkesan akomodatif dengan tuntutan masyarakat dan seolah-olah memiliki itikad yang sungguh-sungguh untuk menciptakan pemilu yang demokratis ketika memutuskan untuk membentuk panwaslak, namun jika dilihat kompoisisi keanggotaan dan skema pertanggungjawaban Panwaslak, kebijakan pembentukan Panwaslak hanya terkesan lip-services.
Keanggotaan Panwaslak dari pusat sampai ke daerah jika dilihat dari komposisinya merupakan aparatur pemerintah yang memiliki loyalitas tunggal yakni pada Golkar, terlebih komposisi tersebut diperkuat dengan kehadiran PNS (Birokrasi), ABRI, dan Golkar dalam Panwaslak yang bisa dikatakan kekuatan yang manunggal untuk mendukung kekuasaan pemerintah Orde Baru dan Golkar.
Alhasil ketika Panwaslak membahas tentang dugaan manipulasi suara, dugaan tersebut akan “mental” sejak awal di dalam pembahasan internal Panwaslak sendiri.
Karena secara jumlah kekuatan suara yang pro pemerintah Orba jauh lebih banyak, yakni terdiri dari 4 kekuatan, kejaksaan, Depdagri, ABRI, dan Golkar.
Bandingkan dengan kekuatan yang kontra hanya terdiri dari 2, PDI dan PPP. Maka jika diperlukan voting, jelas kalah jumlah suara.
Kedua, berkaitan dengan skema pertanggungjawaban Panwaslak yang secara horizontal kepada LPU secara terang benderang merupakan sebuah paradoks.
Bagaimana bisa sebuah lembaga dibentuk untuk mengawasi lembaga lain, sedangkan lembaga yang mengawasi tersebut bertanggungjawab kepada lembaga yang diawasi.
Sudah bisa ditebak, sejak awal pengawasan yang dilakukan Panwaslak hanyalah lipservice saja. Panwaslak yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengembalikan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis, pada praktiknya berubah menjadi lembaga yang turut memperkuat posisi pemerintah Orba dan Golkar dalam Pemilu.
Panwaslak hanya dijadikan lembaga yang melegitimasi bahwa Pemilu yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan LPU telah demokratis, karena telah mampu memproses keberatan dan kasus pelanggaran pemilu sesuai prosedur.
Bertanggung jawab, menurut Orde Baru, dimaksudkan sebagai bentuk garis komando yang hirarkis. Jika Panwaslak bertanggung jawab kepada LPU, berarti yang dimaksud di sini adalah garis komdando Panwaslak ada di bawah LPU, begitu seterusnyasampai tingkatan yang terendah.
Reformasi dan Transformasi Lembaga Pengawas Pemilu
Panwaslu 1999
Reformasi di tahun 1998 menandai runtuhnya rezim Orde Baru. Kekuatan mahasiswa dan aliansi sipil kelas menengah Indonesia telah mampu memaksa Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden.
Hampir semua simbol-simbol yang terkait dengan Soeharto ditolak oleh masyarakat.
Pembakaran dealer mobil nasional Timor dan Bimantara Cakra juga terjadi di hampir seluruh pelosok negeri, yang notabene merupakan milik dari dua putra dari Soeharto, yaitu Hutomo Mandala Putra dan Bambang Tri.
Begitu pula dengan Golkar, slogan bubarkan Golkar sempat menjadi isu yang kuat di tahun 1998-1999.
Namun, tidak seperti Golkar, meskipun Panwaslak juga bagian dari produk Orba dan menjadi salah satu kekuatan pemenangan Pemilu yang efektif, Panwaslak bebas dari sentimen pembubaran.
Walau ada peluang besar untuk membubarkan Panwaslak pada waktu itu, akan tetapi kalangan cendekia masih memilih untuk mempertahankannya.
Posisi Panwaslak masih dianggap strategis sebagai lembaga yang mampu menghadirkan Pemilu yang Demokratis, melalui mekanisme pengawasan yang melekat terhadap proses tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Penguatan kelembagaan, organisasi, fungsi, keanggotaan dan kewenangan dari Panwaslak menjadi pilihan utama pada waktu itu, dan nama Panwaslak pun berganti menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Upaya untuk memperkuat Panwaslu terlihat pada UU No. 3/1999 yang telah mengatur secara lebih jelas kelembagaan Panwaslu, organisasi, keanggotaan, serta tugas dan fungsinya.
Untuk mencegah penyelewengan wewenang Panwaslu seperti yang terjadi semasa Orba, maka komposisi keanggotaan Panwaslu menjadi hal yang penting untuk dirombak.
Berkaca dari Panwaslak era Orba yang berisi simpatisan Golkar dan Partai Politik, Panwaslu 1999 di tingkat nasional sampai kabupaten/kota berdasarkan amanat UU No. 3/1999 beranggotakan unsur hakim, perguruan tinggi, dan masyarakat.
Susunan keanggotaan Panwaslu ditetapkan oleh pengadilan, untuk Panwaslu nasional ditetapkan oleh Ketua MA, Panwaslu Provinsi ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi, sedangkan Panwaslu kabupaten/kota dan Kecamatan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Seorang dari Mahkamah Agung sebagai Ketua dan seorang lagi dari MA sebagai Kepala Sekretariat; dari Pendidikan Tinggi terdapat unsur dosen (seperti Satya Arinanto dari FH-UI dan Ramlan Surbakti dari FISIP UNAIR) dan mahasiswa (seperti Titi Anggraini Dari FH-UI), dan dari masyarakat terdapat kalangan aktivis LSM (Mulyana Kusuma dan Todung Mulya Lubis), peminpin Organisasi Kemasyarakatan, tokoh agama (seperti Zainuddin MZ, Siti Murdaya) dan intelektual (seperti Arief Rachman).
UU No 3/1999 juga telah mengatur tugas dan fungsi Panwaslu, yang terdiri dari; 1) Mengawasi semua tahapan penyelenggaran pemilu; 2) Menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu; 3) Menindaklanjuti temuan, sengketa dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi penegak hukum.
Berkebalikan dari upaya awal untuk menguatkan Panwaslu, para komisioner Panwaslu Pemilu 1999 malah berpendapat semua tugas, fungsi dan kewenangan yang diberikan tidak cukup untuk dijadikan dasar bertindak sebagai penegak hukum Pemilu.
Bahkan dalam laporan resmi dari Panwaslu menuliskan bahwa Panwaslu tidak efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum peraturan pemilu.
Kewenangan Panwaslu hanya sebatas menyampaikan peringatan tertulis, rekomendasi, meneruskan temuan kepada instansi penegak hukum, atau bertindak sebagai mediator jika diminta.
Selain itu, sebagian besar kasus pelanggaran yang berhasil ditemukan oleh Panwaslu tidak bisa ditindaklanjuti, dikarenakan adanya perbedaan pemahaman, persepsi, maupun standarisasi pelaporan kasus antara Panwaslu, kepolisian, dan kejaksaan.
Akibatnya banyak kasus yang tidak mampu diteruskan ke pengadilan dan diproses secara hukum.
Panwaslu 2004
Pada Pemilu 2004 ada upaya yang lebih serius untuk memperkuat kelembagaan Panwaslu sekali lagi. Pengaturan kelembagaan Panwaslu tersebut tertuang pada UU No 12/2003 dan juga diatur dalam UU No. 23/2003, di mana kedua UU tersebut menegaskan pembentukan Panwaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam).
Tugas dan fungsi Panwaslu yang diamanatkan oleh UU No. 12/2003, yaitu: 1) mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu; (2) menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu; (3) menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilu; dan (4) meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.
Uraian tugas dan hubungan kerja antarpengawas pemilu diatur oleh Panwas Pemilu.
Berdasarkan UU No. 12/2003, Panwaslu dibentuk Oleh KPU dan bertanggung jawab pada KPU, Panwaslu Provinsi dibentuk oleh Panwaslu dan bertanggungjawab pada Panwaslu, Panwaslu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwaslu Provinsi dan bertanggungjawab kepada Panwaslu Provinsi, Panwascam dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota dan bertanggungjawab kepada Panwaslu kabupaten/kota.
Susunan keanggotaan Panwaslu menurut UU No. 12/2003 yakni: Untuk Panwaslu terdiri dari sebanyak-banyaknya 9 orang; Panwaslu Provinsi sebanyak-banyaknya 7 orang; Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak-banyaknya 7 orang; Panwascam sebanyak-banyaknya 5 orang. Keanggotaan Panwaslu sampai Panwaslu Kabupaten/Kota juga diatur terdiri dari unsur Kepolisian Negara, Kejaksaan, Pendidikan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers.
Masuknya unsur kejaksaan dan kepolisian dalam susunan keanggotaan Panwaslu, sebagai upaya penguatan kelembagaan Panwaslu.
Berdasarkan refleksi terhadap banyaknya kasus pelanggaran pemilu 1999 yang tidak bisa ditindak dan diteruskan ke pengadilan dikarenakan adanya perbedaan pemahaman, persepsi, dan standar pelaporan yang berkaitan dengan syarat terpenuhinya bukti-bukti yang memadahi antara Panwaslu, kepolisian, dan kejaksaan.
Dengan memasukan unsur kepolisian dan kejaksaan diharapkan agar ketiga lembaga penegak peraturan hukum Pemilu tersebut memiliki frekuensi yang sama, dengan kata lain memiliki pemahaman, persepsi, dan standar yang sama dalam menangani kasus pelanggaran Pemilu.
Penguatan kelembagaan Panwaslu juga terlihat dari aspek kemadirian organisasi. Panwaslu sudah memiliki wewenang untuk merekrut dan mengangkat sendiri jajaran Panwaslu dari tingkat Provinsi sampai tingkat Kecamatan.
Akan tetapi kemandirian tersebut tidak tampak di level nasional dimana Panwaslu diangkat oleh KPU.
Tentu hal tersebut mengingatkan kita pada kesalahan posisi kelembagaan Panwaslak di era Orba, dimana garis pertanggungjawaban Panwaslak ada di LPU.
Panwaslu memiliki kewenangan untuk mengkoreksi KPU dan jajarannya dalam setiap proses tahapan Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU, jika Panwaslu menemukan hal-hal yang menyimpang dari peraturan pemilu mulai dari pengaturan yang dilakukan oleh KPU, persiapan Pemilu, pelaksanaan Pemilu, sampai penetapan hasil Pemilu.
Koreksi tersebut dilakukan dengan menuliskan surat resmi kepada KPU dan jajarannya dan melalui pers.
Koreksi tersebut akan “bergigi” jika dilakukan oleh lembaga yang memiliki kedudukan yang setara atau disertai dengan konsekuensi jika koreksi tersebut tidak ditindaklanjuti, namun yang terjadi di sana-sini masih banyak ditemukan koreksi yang dilakukan oleh Panwaslu tidak digubris oleh KPU.
Bisa jadi hal tersebut dikarenakan Panwaslu sendiri sejak awal sudah tidak setara dengan KPU, terlebih kesekretariatan. Panwaslu diberbagai tingkatan tata kerjanya diatur oleh KPU.
KPU membuka pendaftaran kepada umum untuk menjadi anggota Panwaslu. Mereka yang lulus seleksi (latar belakang keahlian dan pengalaman kemasyarakatan) kemudian ditetapkan oleh KPU sebagai anggota Panwaslu.
Ketua Panwaslu dipilih dari dan oleh anggota Panwaslu. Kesekretariatan adalah unsur pegawai negeri dalam organisasi Panwaslu.
Tugas dari kesekretariatan Panwaslu tersebut membantu komisioner Panwaslu dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Panwaslu terkait penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran pemilu, juga diperkuat. Panwaslu menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menerima laporan, menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kajian terhadap laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu untuk memastikan apakah hal tersebut benar-benar mengandung pelanggaran.
Bila terjadi pelanggaran administrasi maka Pengawas Pemilu merekomendasikan kepada KPU/KPUD untuk dikenakan sanksi administratif kepada pelanggar, sedangkan bila laporan tersebut mengandung unsur pelanggaran pidana maka Pengawas Pemilu meneruskannya kepada penyidik kepolisian.
Kewenangan di atas seolah-olah Panwaslu memonopoli kasus-kasus pelanggaran Pemilu.
Kasus dugaan pelanggaran Pemilu haruslah melalui filterisasi Panwaslu, partisipasi masyarakat untuk turut aktif melakukan pengawasan dan melaporkan kasus dugaan pelanggaran Pemilu, menjadi terkanalisasi oleh Panwaslu.
Lebih dari itu, dengan menjadi kanal pelaporan kasus-kasus dugaan pelanggaran Pemilu, menjadikan Panwaslu tak ubahnya “kantor pos” yang bertugas untuk mengantar kasus ke KPU/KPUD atau ke kepolisian. Ditambah, rekomendasi Panwaslu terhadap tindak lanjut kasus-kasus dugaan pelanggaran Pemilu juga tidak memiliki konsekuensi apapun jika tidak dijalankan.
Panwaslu tidak bisa berbuat apa-apa jika rekomendasi berkaitan dengan pelanggaran administrasi tidak ditindaklanjuti oleh KPU/KPUD.
Panwaslu 2009
Menjelang Pemilu 2009 DPR mempersiapakan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penyelenggara Pemilu.
Sempat mengemuka wacana di DPR untuk tidak memasukan Panwaslu dalam RUU tersebut, dengan sendirinya jika Panwaslu tidak diatur dalam UU keberadaan Panwaslu dihapuskan dalam hiruk pikuk Pemilu.
Wacana tersebut berdasarkan argumentasi bahwa keberadaan Panwaslu tidak memiliki kontribusi yang besar dalam penyelenggaran pemilu, serta tidak sebanding dengan dana publik yang besar yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Bagi pendukung argumentasi tersebut lebih memilih untuk mengembalikan fungsi pengawasan proses tahapan penyelenggaran Pemilu dikembalikan kepada masyarakat, pemantau, pengamat, peserta pemilu dan pemilih.
Di pihak lain ada yang mendukung wacana untuk tetap mempertahankan keberadaan Panwaslu.
Wacana tersebut berdiri di atas argumentasi bahwa kontribusi yang tidak signifikan yang diberikan oleh Panwaslu dikarenakan “Panwaslu ompong”, sedangkan ompongnya Panwaslu dikarenakan lemahnya kelembagaan Panwaslu itu sendiri, dalam hal posisi organisasi, tugas dan fungsi, serta kewenangan yang dimiliki.
Setelah perdebatan yang panjang, DPR lebih memilih untuk tetap mempertahankan Panwaslu, karena Panwaslu dinilai memiliki posisi dan peran strategis dalam upaya pengawasan pelaksanaan pemilu sesuai aturan perundangundangan yang berlaku terutama menegakkan asas pemilu yang luber dan jurdil, serta dalam upaya menciptakan Pemilu yang demokratis.
Keyakinan para pembuat Undang-undang tersebut dapat kita temukan dalam penjelasan umum UndangUndang No. 22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa: “Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan”.
Tidak hanya dipertahankan, Panwaslu pun diperkuat kelembagaannya. Sekali lagi upaya untuk menguatkan kelembagaan Panwaslu dilakukan.
Bisa dikatakan UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu merupakan langkah besar yang dilakukan para pembuat UU untuk memperkuat kelembagaan Panwaslu.
Penguatan kelembagaan Panwaslu meliputi beberapa aspek yakni; pertama, secara organisasi, Pengawas Pemilu tingkat nasional bersifat tetap dan kini memiliki jaringan sampai ke desa/kelurahan.
Konsekuensi sifatnya yang tetap tersebut Panwaslu berganti nama menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Hal ini bisa dianggap sebagai sebuah lompatan besar karena sejak era Orba sampai pemilu 2004 Panwaslu bersifat tidak permanen atau adhoc.
Berubahnya Panwaslu menjadi Bawaslu membuat kedudukan organisasi Bawaslu menjadi setara dengan KPU, Bawaslu tidak menjadi subordinat dari KPU lagi seperti pada Panwaslu Pemilu 2004; Kedua, berangkat dari problem integritas, netralitas, profesionalitas penyelenggara Pemilu, kewenangan baru didesain untuk Bawaslu yakni mengawasi jajaran KPU/KPUD dan petugas-petugas pemilu di bawahnya agar ketika menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan Pemilu.
Bawaslu berwenang memberikan rekomendasi untuk memberhentikan anggota KPU dan KPU daerah yang dinilai melanggar peraturan perundang-undangan pemilu, dengan begitu Bawaslu mampu melakukan kontrol yang efektif terhadap penyelenggara Pemilu. Ketiga, fungsi Bawaslu yang mengantarkan kasus ke KPU/KPUD dan ke kepolisian layaknya “kantor pos”, seperti pada pemilu 2004 tersebut, ditingkatkan dengan memberikan konsekuensi hukum bagi KPU/KPUD jika tidak mereka tidak menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu.
Konsekuensi hukum tersebut berupa kemampuan Bawaslu untuk menuntut secara pidana bagi anggota KPU maupun KPUD yang tidak menindaklanjuti laporan atau rekomendasi Pengawas Pemilu.
Ketentuan ini terjabarkan secara jelas dan tegas di dalam Undang Undang No. 10 Tahun 2008 pada BAB XXI Ketentuan Pidana, pada Bab ini setidaknya terdapat terdapat 5 (lima) pasal (pasal 263, pasal 264, pasal 267, pasal 268, pasal 275) yang mengancam hukuman pidana bagi KPU/KPUD yang tidak menindaklanjuti rekomendasi Pengawas Pemilu.
Bawaslu 2014
Perdebatan apakah Bawaslu harus diperkuat atau di bentuk sebagai lembaga adhoc yang terjadi pada saat menjelang pemilu 2009 kembali terulang pada saat menjelang Pemilu 2014.
Perdebatan tersebut tidak terlepas dari kinerja Bawaslu yang tidak efektif pada pemilu 2009.
Sehingga upaya penguatan yang dilakukan pada Pemilu 2009, sekali lagi berujung pada kegagalan.
Menjelang Pemilu 2014, DPR membahas RUU Penyelenggara Pemilu. Pada pembahasan tersebut lagi-lagi memunculkan dua kutub wacana perihal status Bawaslu.
Perdebatan yang terjadi dalam Pansus RUU Penyelenggara Pemilu mengerucut pada dua alternatif yakni, pertama: kedudukan Bawaslu bukan menjadi subordinasi dari KPU, kedudukannya setara dengan KPU. Kedudukan Bawaslu harus bersifat “permanen”.
Kedudukan Bawaslu dianggap penting untuk diperkuat eksistensinya, karena dengan menguatnya Bawaslu maka akan tercipta pengawasan yang melekat kepada penyelenggaran Pemilu.
Alternatif kedua: berpijak pada argumentasi bahwa kedudukan Bawaslu adalah bagian dari KPU dan struktur Bawaslu tidak bersifat “permanen” melainkan “ad hoc”.
Pendapat tersebut merujuk pada UUD 45 yang memang mengatur KPU sebagai penyelenggara Pemilu, sedangkan Bawaslu adalah bagian yang integral dari penyelenggaran Pemilu, oleh sebab itu tidak mungkin bagi Bawaslu setara atau bahkan melampaui kewenangan KPU yang pembentukannya telah diamanatkan oleh UUD 45.
Berikutnya pansus yang mendukung alternatif ini, juga menganggap membuat Bawaslu menjadi lembaga permanen adalah hal yang tidak realistis, karena memiliki konsekuensi anggaran yang besar, di sisi lain kinerjanya terbukti tidak maksimal dari Pemilu ke Pemilu.
Setelah perdebatan yang panjang dalam pansus RUU Penyelenggara Pemilu, keputusan politik yang dihasilkan oleh Pansus cukup mengejutkan.
Keputusan politik tersebut tidak saja telah berhasil mempertahankan bentuk Bawaslu yang permanen, lebih dari itu Pansus RUU penyelenggaran Pemilu juga semakin memperkuat kelembagaan Bawaslu.
Upaya untuk memperkuat Bawaslu masuk pada babak selanjutnya, yakni setelah berhasil menjadi lembaga yang bersifat permanen dan mandiri di tingkat nasional, pada Pemilu 2014 Bawaslu menjadi semakin kuat dengan diperkuatnya Panwaslu propinsi yang pada awalnya bersifat ad hoc menjadi permanen berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sehingga Panwaslu Provinsi berubah menjadi Bawaslu Provinsi.
Bawaslu 2019
Pasca-pelaksanaan pemilu 2014, desain kelembagaan Bawaslu kembali memasuki babak baru.
Pemicu awalnya adalah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-IX/2013 yang mengamanatkan perubahan waktu pelaksanaan pemilu eksekutif (pemilu presiden dan wakil presiden) dan pemilu legislative (DPR, DPD dan DPRD), yang sebelumnya dilaksanakan secara terpisah menjadi dilakukan secara serentak.
Untuk mengakomodasi perubahan tersebut, MK mengamanatkan kepada pembentuk Undang-undang untuk menyusun peraturan kepemiluan yang baru yang bisa menjawab tuntutan komplesitas persoalan pemilu serentak.
Amanat inilah yang kemudian memicu lahirnya UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Penyusunan kedua Undang-undang tersebut kemudian menjadi momentum bagi pembuat Undang-undang untuk memuat berbagai teroboson baru dalam memperkuat Bawaslu.
Penguatan terhadap Bawaslu tampak pada pada pertama penguatan kelembagaan, dan kedua penguatan dari sisi tugas dan kewenangan.
Dari sisi kelembagaan, penguatan terhadap Bawaslu dilakukan pada struktur organisasi dan jumlah anggotanya pada masing-masing tingkatan.
Dari sisi struktur organisasi, UU Nomor 7/2017 mengamanatkan Panwaslu Kabupaten/Kota yang sebelumnya bersifat sementara (ad hoc), diubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat permanen. Berdasarkan Undang-undang sebelumnya, Panwaslu Kabupaten/Kota dibentuk satu bulan sebelum tahapan Pemilu legislative dan berakhir dua bulan setelah berlangsungnya penyelenggaraan Pemilu.
Hal itu berdampak pada keterlambatan atau kurang efektifnya proses pengawasan di setiap tahapan Pemilu. sebagai lembaga yang menangani laporan dan temuan dugaan pelanggaran Pemilu, dengan masa kerja yang singkat itu, terdapat laporan yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Panwaslu sendiri karena membutuhkan waktu yang panjang.
Langkah membuat permanen struktur organisasi tersebut juga dipandang penting untuk membuat setara struktur Bawaslu dan KPU yang telah terlebih dahulu permanen hingga tingkat kabupaten/kota.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 secara tegas menyebut status Bawaslu sebagai suatu lembaga mandiri, selayaknya KPU. Secara kelembagaan posisi Bawaslu bersifat sejajar dengan KPU, sama-sama sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diamanatkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.
Selain funsi pengawasan, transformasi paling krusial yang dilakukan pembentuk Undang-undang terhadap Bawaslu adalah penambahan fungsi adjudikasi.
Penambahan kewenangan ini membuat Bawaslu tidak lagi sekedar lembaga pemberi rekomendasi, melainkan pula sebagai lembaga pemutus perkara.
Berdasarkan Undang-undang sebelumnya, terhadap laporan yang diterima, Bawaslu akan melakukan rapat kajian tentang ada atau tidaknya pelanggaran administrasi.
Jika ada, maka Bawaslu akan merekomendasikan kepada KPU untuk menuntaskan pelanggaran itu.
Singkatnya Bawaslu hanya ditempatkan sebagai bagian dari proses penyelesaian pelanggaran pemilu, sedangkan penuntasnya adalah KPU.
Berdasarkan UU No. 7/2017, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk memeriksa, mempertimbangkan, dan bahkan memutus pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran politik uang yang bersifat TSM, serta sengketa proses pemilu.
Tentu di usia Bawaslu yang ke 14 pada tanggal 09 April 2022 ini, ada harapan besar yang diberikan masyarakat kepada Bawaslu agar dengan transformasi kelembagaan yang semakin maju dan mandiri, dan kewenangan yang semakin besar, kiranya demokrasi di Indonesia semakin maju.
Selamat Ulang Tahun ke 14 Bawaslu, semoga jaya selalu dan terus mengawasi untuk demokrasi maju.