Oleh: Feliks Hatam
Peminat Studi Agama dan Sosial-Budaya, Pegiat Media. Tenaga Kependidikan Unika Santu Paulus Ruteng
Pluralistik dan heterogen Indonesia adalah realitas. Kemajukan Indonesia adalah kenyaatan sejak dahulu kala hingga sekarang.
Plural society Indonesia adalah murni kehendak Tuhan dan tidak dapat dintervensi manusia. Sebaliknya manusia melalui relasinya, diarahkan membangun hubungan damai, saling menerima dan mengkui.
Walaupun setiap orang berbeda secara ras, suku, agama, budaya, bahasa, adat istiadat, di bawah Merah Putih dan Pancasila, kita satu warna, yakni Indonesia.
Masing-masing identitas yang melekat dalam setiap rakyat Indonesia membentuk kesatuan bangsa dan mendorong kesadaran nasionalisme.
Menariknya sesama umat beragama dan atarumat beragama di Indonesia hidup berdampingan. Ini menujukan praktek moderasi beragama relatif membaik, meski beberapa persoalan perlu diselesaikan.
Agama dan penganutnya adalah kebenaran absolut. Kedamain, keadilan, ketertraman, keharmonisan dalah keniscayaan. Maka moderasi beragama dengan prinsip saling menerima, mengakui, dan mencitai kedamaian, ketentram, serta berusaha untuk tidak melakukan kekacaun sangat dibutuhkan di Indonesia.
Sehingga penting bagi kita, bahwa membumikan moderasi beragama, bukan saja tanggung jawab sebagai makhluk religius dan sosial. Tetapi juga ibadah dan merayakan kemerdekaan setiap saat dalam relasi dan intraksi inter dan antarkeyakinan.
Tolerasi Partisipatif
Oto Gusti Madung (2017:47—55) menjelaskan dua tingkatan toleransi yakni, toleransi pasif dan aktif (parisipatif).
Menurut Oto Gusti, toleransi pasif dipahami sebagai toleransi klasik yang secara paksa membiarkan yang lain hidup karena realitas sosial yang plural.
Artinya, peguasa memberikan kebebasan kepada kelompok minoritas hidup sesuai keyakinan yang berbeda dangan keyakinan mayoritas.
Jadi, toleranasi pasif adalah hadiah dari penguasa untuk minoritas, dan dicabut apabila melanggar ketentuan berlaku. Toleransi pasif sesungguhnya adalah “pelecehan terhadap kebebasan individu”.
Sebaliknya tolerasi aktif yang juga dikenal dengan toleransi respek (respect Toleranz) mengakui hak hidup dan membiarkan yang lain berkembang.
Toleransi respek bersifat horizontal, karena berkaitan langsung dengan sikap seseorang dengan yang lain.
Prinsip toleransi ini sejalan dengan kanyataan masyarakat demokratis dan plural kotenporer yang rawan konflik.
Dari kedua tingkatan tolerasi itu, yang sejalan dengan konteks keberagaman Indonesia adalah tolerasi aktif, disebut juga tolerasi aktif partisipatif.
Toleransi semacam ini mestinya melekat dalam diri sebagai pribadi, anggota masyarakat, umat beragama, dan pribadi berbudaya.
Niscaya kebajikan agama menemukan jalannya untuk dipresentasikan dalam relasi inter dan antarkeyakinan.
Toleransi partisipatif dapat diwujudkan, apabila memiliki sikap respek dan peka dengan realitas. Dari simpati (syampateheia: syn) bersama-sama; pathos penderitaan) bertumbuh empati, lalu bersikap (action) saling menerima dan menghargai, disertai membiarkan orang lain menjalankan kenyakinannya.
Sehinga, menjadi pribadi yang merdeka dan ikut menciptakan kenyamanan orang lain dalam menerapkan nilai-nilai kasih.
Tanggung jawab ini terjadi apabila setiap orang memiliki literasi agama yang cukup.
Dr. Abdul Ghaffar (Ghufron; Komapas.id, 12/4/2017) menjelaskan ada tiga aspek yang diperlukan dalam literasi agama, yaitu Pertama, memiliki pemahaman terhadap agama yang dipeluk. Kedua, memiliki pemahaman konteks relasional antara satu agama yang dipeluk dan agama-agama yang lain. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang konteks evolusi setiap agama.
Upaya kontekstualisasi sebagai jalan toleransi partisipatif sangat dibutukahkan di Indonesia.
Sehingga, tidak terbatas membangun pemahaman beragama untuk mejadi pribadi moderat. Sebaliknya disertai perbuatan konkret, sebagi panggilan (vocation) dan aksi (action) .
Penting, karena semua masyarakat Indonesia beragama, harapannya kebajikan agama dilebur dalam relasi dengan orang lain seturut budaya.
Toleransi partipatif bergerak dari kedalaman batin, diekspresikan dalam tindakan nyata, dan ikut menciptakan keamanan diri, seama agama, serta antarpenganut agama melalui tindakan konkret.
Sehingga, toleransi tidak berhenti pada konsep, namun berlanjut pada partisipasi kehidupan sosial yang berimbang dan adil.
Latihan Rohani dan Nasionalisme
Penting bagi kita membangung toleransi partisipatif. Sebab, tujuan moderasi adalah menciptkan kerukunan, harmonis, nyaman, adil dan berimbang.
Maka, sikap dan gerakkan toleransi adalah jalannya. Moderasi berawal dari pikiran, lalu gerakan disertai tindakan. Maka, sangatlah perlu untuk menguatkan literasi agama.
Memiliki pemahaman agama yang kuat dan diekspresikan secara berimbang dan adil dalam mewujudkan Indonesia yang hamrmonis.
Dengan demikian moderasi agama tidak saja menjadi cita-cita pemimpin negara ini.
Sebaliknya, menjadi perjuangan bersama melalui gerakan dan tindakan toleransi partisipatif.
Moderasi pemikiran, disertai tindakan melalui perjumpaan teks dan konteks adalah keharusan.
Untuk membangun habitus harmonis bangsa ini sepanjang masa. Kata Persiden Soekarno “….Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama..”.
Moderasi beragama melalui tindakan toleransi adalah upaya mencegah egoisme inter dan antarpenganut agama. Indikator majunya moderasi di Indonesia, apabila setiap umat bergama menjadikan toleransi sebagai budaya dan kebajikan bangsa.
Bila kasih menjadi kebajikan agama, maka toleransi adalah kebajikan bangsa. Mengespresikan nilai-nilai kasih adalah latihan rohani secara terus menurus.
Mengaktualisasikan nilai-nilai kasih kepada sesama (inclusive) dan (exlusive) adalah sikap dan gerakan kasih partisipatif.
Melaksanakan prinsip kasih, bukan saja didasarkan oleh sikap berbelaskasihan.
Sebaliknya sebagai bentuk tanggung jawab moral keberadaan setiap peribadi sebagai makhluk beriman dan sosial.
Halnya melakukan nilai-nilai tolerasi merupakan latihan menjadi pribadi yang nasionalis.
Menjadi 100 persen beragama, 100 persen Indonesia dengan sejumlah keberagamannya adalah perjuangan terus menerus membentuk kesatuan bangsa dan mendorong kesadaran nasionalisme.
Sehingga dibutuhkan pembiasaan melalui latihan-latihan konkret kapan dan di mana saja serta dengan siapapun.
Oleh karena itu, pemenuhan literasi agama, disertai konkretisasi nilai kasih dan sikap nasionalisme bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan tokoh agama.
Sebaliknya, lingkungan keluarga, masyarakat, dan pendidikan dari PAUD hingga Pendidikan Tinggi.
Dengan moderasi beragama melalui toleransi partisipatif yang berakar pada kearifan lokal dan adat-istidat menjamin keberadaan keberagaman dan selalu beridiri teguh, di bahwa kibaran Berdera Merah Putih.
Ini akan menghantar Indonesia sebagai laborotirium moderasi beragama di dunia.
Akhirnya Ir. Soekarno, mengajak kita semua untuk meneruskan perjuanganya, agar dalam menjalan ajaran agama dengan cara berkeadaban, serta tegak lurus pada nilai Pancasila dan UUD 1945 “…. Marilah kita amalkan, jalankan agama,…dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain..” Ir. Soekarno.