(Oleh: Emilianus Dani, XII IPA)
Pendidikan indonesia hingga tahap ini belum mencapai titik terang. Buktinya, tercatat 10 kali terjadi pergantian kurikulum sejak 1947.
Cukup banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, selain karena kemajuan, pembangunan yang tersendat-sendat, juga dikarenakan literasi dan minat baca yang sangat minim.
Pada 2019, Program International for Student Assessment (PISA) menyatakan bahwa minat baca Indonesia berada pada peringkat ke-62 dari 70 negara, atau termasuk 10 negara terbawah.
Sementara UNESCO mencatat bahwa indeks baca orang Indonesia adalah 0,001 persen atau 1 dari 1000 orang.
Sementara, dilansir dari Kompasiana.com, The World’ Most Literary Nations menyebutkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara.
Education Index oleh Human Development Reports 2017 mengemukakan bahwa Indonesia berada di posisi ke 7 di ASEAN dengan nilai yang diperoleh 0,622.
Indonesia berada di bawah Singapura (0,832), Malaysia (0,719), Brunei Darussalam (0,704), Filipina (0,661), dan beberapa negara lainnya.
Global Talent Competitioness Index (GTCI) juga menyebutkan Indonesia berada pada posisi rendah di ASEAN, dengan perinciannya adalah Singapura(77,27), Malaysia (58,62), Brunei Darussalam (49,91), Filipina (40,94), dan Indonesia (38,61).
GTCI adalah pemeringkatan daya saing berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu negara.
Beberapa indikatornya adalah infrastruktur, teknologi komputer, lingkungan, dan sebagainya termasuk pendidikan (Tirto.id).
Serangkaian fakta di atas menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia masih belum cukup rendah.
Pendidikan Indonesia, dalam perjalanannya selama beberapa puluh tahun, dapat dikatakan belum berhasil dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, belum mampu menggapai tujuan nasionalnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 alinea ke-empat.
Tentunya pencapaian pendidikan Indonesia ini menjadi PR besar bagi pemerintah. Namun, apakah dengan dikeluarkannya kurikulum ‘Merdeka Belajar’ sebagai salah satu langkah solutif pemerintah, mampu membawa pendidikan Indonesia pada titik terang?
Merdeka Belajar
Pada Februari 2021 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem A. Makarim, mengeluarkan konsep baru dalam wajah pendidikan Indonesia, yaitu kurikulum ‘Merdeka Belajar’.
‘Merdeka Belajar’ adalah sebuah program yang bertujuan agar siswa dapat mendalami minat atau basicnya masing-masing.
Kurikulum ‘Merdeka Belajar’ cukup baik diterapkan dalam pendidikan Indonesia karena siswa tidak harus menanggung nilai yang cukup untuk semua mata pelajaran.
Jika dibandingkan dengan model pendidikan-pendidikan sebelumnya, siswa cukup dimanjakan dengan model yang baru ini.
Selain itu, materi yang dipelajari juga berbeda dengan pelajaran-pelajaran sebelumnya yang penuh dengan teori- teori.
Pada kurikulum ini siswa hanya mempelajari materi penerapan tanpa harus menguasai semua teori- teori yang ada, yang tentunya sangat menyita waktu dan tenaga.
Dari materi-materi tersebut, siswa kemudian dituntut membuat proyek dengan menerapkan materi-materi yang sudah didapatkan dari proses belajar mereka.
Pembelajaran siswa lebih efektif, karena mempelajari materi-materi yang dapat langsung diterapkan dalam proyek-proyek yang mereka lakukan, dengan kata lain, siswa belajar dua kali, pada proses kegiatan belajar-mengajar, juga dalam proses penerapan materi-materi tersebut dalam rupa proyek.
Pendidikan model baru ini juga membuka pola pikir baru para praktisi pendidikan, khususnya guru, yang terbiasa dengan model pendidikan sebelum-sebelumnya. Seorang guru mesti mempelajari semua minat dan basic dari masing-masing siswa.
Selain itu, Tugas seorang guru mejadi lebih rumit karena dihadapkan dengan minat dan basic siswa secara perorangan, bukan lagi secara umum yang dapat dengan mudah dikontrol.
Seorang guru dituntut untuk mampu memahami keinginan dan minat dari masing-masing siswa, cara belajarnya, materi yang mudah dipahaminya, dan sebagainya yang sangat merumitkan tugas seorang guru.
Jika dalam satu kelas terdapat lima kelompok siswa dengan minat yang berbeda, maka guru mesti membuat lima model soal yang berbeda pada saat ujian atau ulangan.
Merdeka Siswa dan Bahaya Teknologi
Cukup banyak hal yang ditakutkan dari program ‘Merdeka Belajar’ ini, salah satunya adalah siswa lebih merdeka dan bebas atau katakan saja merdeka siswa.
Merdeka siswa yang dimaksudkan di sini lain halnya dengan merdeka belajar.
Merdeka belajar menenkankan keinginan untuk belajar apa saja.
Sementara merdeka siswa lebih ditekankan pada diri siswa, kemauannya untuk belajar, atau bebas mau belajar atau tidak.
Merdeka siswa ini adalah sikap ketergantungan siswa, yaitu jika nilai suatu pelajaran kurang, maka itu bukan basicnya.
Berkaca pada indeks literasi dan minat baca masyarakat Indonesia, sikap ketergantungan ini, jika tidak mempunyai minat baca yang cukup, maka seorang siswa bisa saja mendapat nilai yang kurang di banyak mata pelajaran, dan tentunya akan membawa siswa kembali pada penurunan intelektual dan tentunya pula terbawa pada kualitas sumber daya manusianya.
Sikap ketergantungan atau merdeka siswa jika tidak diikuti minat baca yang cukup, maka hasilnya nol, siswa tidak mendapat apa-apa. Basic seorang siswa tidak tumbuh tanpa adanya kemauan untuk belajar.
Di sisi lain, kurikulum ‘Merdeka Belajar’ juga memaksimalkan penggunaan teknologi, khususnya gadget, dalam pembelajaran.
Realitas menegaskan bahwa kemajuan teknologi berjalan lebih masif ketimbang pendidikan Indonesia.
Akibatnya, terjadi tumpang tindih antar keduanya. Serentaknya penggunaan teknologi dalam diri para siswa, berdampak pada mudah terserangnya siswa oleh hoaks, radikalisme terorisme atau sebagainya yang sekarang lebih giat dalam teknologi.
Sebagaimana yang dikutip Haryono (2021:8-9) dari Nasional.kompas.com, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, dengan mengutip pada data yang dikeluarkan oleh BIN, menyebutkan bahwa 85% generasi milenial rentan terpapar radikalisme yang mana media sosial menjadi inkubator penyebarannya.
Hal ini didukung juga dengan pernyataan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyatakan bahwa sorang anak muda hanya butuh lima menit saja terpengaruh oleh propaganda radikalisme (Detik.com).
Siswa, yang adalah generasi muda dengan literasi yang minim, dapat menelan bulat-bulat hoaks dan sebagainya yang beredar melalui internet, tanpa dicerna dengan moralitas dan berpikir kritis.
Beberapa fakta di atas mengindikasikan bahwa sumber daya manusia, dalam hal ini generasi muda, kurang berkualitas.
Di sini, pendidikan yang berperan penuh dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas, menghadirkan gadget dalam programnya yang justru memberi porsi yang cukup banyak untuk kerusakan yang terjadi dalam diri peserta didik.
Pendidikan menjadi sebuah bidang yang berperan penuh dalam pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
Pendidikan menghadirkan bermacam-macam cara untuk membantu meningkatkan kualitas para peserta didik Indonesia, termasuk kurikulum yang terus mengalami pergantian, salah satunya yang kita hadapi sekarang adalah ‘Merdeka Belajar’.
Namun, hal utama yang mesti diperhatikan pemerintah adalah peningkatan literasi dan minat baca para peserta didik, yang merupakan fundasi yang memperkokoh dan melancarkan pendidikan ‘Merdeka Belajar’ tersebut.
Tentunya pula peningkatan literasi dan minat baca peserta didik dapat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di mata dunia.
Pemerintah harus mampu membangun literasi dan minat baca manusia Indonesia, terlebih khusus peserta didik, selain mengimbangi kemajuan teknologi yang masif, juga yang terpenting adalah kemajuan dan kelancaran pendidikan Indonesia, termasuk kurikulum ‘Merdeka Belajar’.
Peningkatan literasi dan minat baca dapat dilakukan dengan menanamkan budaya membaca, menulis,dan sebagainya dalam dunia pendidikan, semisal pengadaan lomba menulis atau semacamnya yang dapat membantu meningkatkan literasi dan minat baca para peserta didik.
Dengan demikian, pendidikan yang baik dengan literasi dan minat baca yang cukup, mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.