Oleh: Wili Kuntam
Tenaga Ahli DPR RI Komisi III
Judul berita Media Indonesia beberapa hari yang lalu sangat menarik perhatian. Begini judulnya: untuk mendapatkan proyek, kontraktor wajib stor ke istri bupati Manggarai (Media Indonesia, 01/09/22).
Media massa yang lain pun membuat berita yang sama. Publik menanggapinya beragam. Ada yang bilang bahwa ini adalah berita bohong yang baru. Hemat saya, mengatakan ini sebagai berita bohong adalah langkah buru-buru.
Sebagaimana pula mengatakan berita ini benar adalah tindakan gegabah. Perkara benar dan bohong adalah urusan hukum, seandainya hukum mau menindaklanjutinya. Soal penegakan hukum, tak ada yang bisa memberi kepastian.
Namun, satu yang pasti bahwa akal sehat publik tak bisa berhenti untuk berandai-andai. Pengandaianya kira-kira begini: para pihak yang disebutkan terbukti melakukan tindak pidana.
Persoalan ini bukanlah baru. Hampir setiap daerah mengalami persoalan serupa. Apa ini berarti publik apatis dan membiarkan ini terjadi? Tentu tidak.
Membiarkannya adalah tindakan cacat moral yang serius. Lantas, mengapa orang bisa menduga orang lain melakukan tindakan pidana? Sebab hukum mengatur siapa saja boleh menduga.
Inilah asas praduga tak bersalah dalam hukum. Artinya orang bisa dianggap bersalah sampai ada keputusan hukum berkuatan hukum tetap.
Atas dasar itu, kita pun boleh menduga-duga ada pelaku tindak pidana dalam masalah ini. Namun, apa yang melatari dugaan ini?
Alasannya begini: de facto, banyak bupati dan wakil bupati di negeri ini, termasuk NTT, yang tersandung tindakan pidana, misalnya korupsi, sekalipun pelakunya menyangkal.
Penyangkalan biasa dibuat kepala daerah dan pendukungnya. Klaim bahwa kepala daerah terpilih sangat pro rakyat, bersih, dan pelaku perubahan adalah alasan klise. Apa ini omong kosong? Tidak juga.
Bolehlah Anda membuka kembali file seputar penanganan masalah tindak pidana oleh penegak hukum seperti KPK.
Di sana pasti ditemukan banyak file yang berisi tindak pidana penyuapan dan grativikasi dan sebagainya. Aktornya beragam seperti kader partai politik, pengusaha dan birokrat.
Tindak pidana penyuapan, grativikasi dan sebagainya sudah menjadi bahan kajian banyak orang, baik dalam maupun luar negeri. Bolehlah sejenak publik mengkaji persoalan krusial ini dalam kaitannya dengan fenomena bosisme lokal.
Bosisme Lokal
Fenomena bosisme lokal menjadi satu persoalan mendasar di era otonomi daerah seperti sekarang. Aktornya sangat beragam, seperti partai politik, birokrat, pelaku usaha, kontraktor, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan seterusnya.
Praktik bosisme lokal begitu banyak pula. Yang sering terjadi adalah para aktor mengatur proyek pemerintah daerah.
Selain itu, mereka menentukan pejabat eselon pada instansi pemerintah daerah. Rupanya apa yang dikatakan ini membutuhkan contoh sederhana berikut.
Seorang kepala daerah dan tim sukses di kota A telah menang kontestasi politik pemilukada serentak. Mereka mempunyai otoritas penuh terkait pembagian jatah proyek pembanguan daerah.
Untuk itu, bupati atau wakil bupati dan timses menempatkan kepala dinas pada instansi tertentu yang mendukungnya pada musim pemilu serentak. Kepala dinas tersebut mengatur jalannya pembagian kue pembangunan seturut kemauan bos-bos ini.
Situasi seperti ini rawan dengan perilaku korupsi terutama karena ongkos politik pemilukada yang sangat besar. Apakah ongkos demokrasi yang mahal menjadi penyebab korupsi. Jawabannya ya.
Semakin besar ongkos demokrasi maka semakin besar pula peluang korupsi. Ini tak berarti bahwa demokrasi lahir gratis, taken for granted.
Besarnya dana yang dikeluarkan kepada daerah dan timses saat pemilukada adalah satu sebab orang melakukan korupsi. Ini bukan mengada-ada. Menteri Dalam Negeri pun sudah mengakuinya pada tahun 2018 (Kompascom, 12/01/2018).
Untuk menutupi ongkos demokrasi terutama dana yang dikeluarkan selama pemilukada serentak, para bos lokal akan memonopoli pengerjaan proyek daerah.
Modusnya tergolong klasik, yaitu proyek daerah dijual kepada pihak kontraktor dengan fee tertentu. Besaran fee menentukan besaran nilai proyek.
Jual beli proyek bertujuan untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan selama pemikukada serentak. Sampai kapan ini berakhir? Ini pertanyaan selalu muncul. Jawabannya tergantung mental politisi lokal.
Revolusi Mental Politisi
Saya meyakini bahwa kemajuan demokrasi lokal bukan semata ditentukan sistem politik tapi oleh mental politisi.
Demokrasi sebagai sistem politik mesti berjalan seiring dengan demokrasi sebagai etos politik.
Perilaku politisi terutama yang bercokol pada partai politik mesti sesuai aturan main demokratis. Ini adalah kunci utama.
Karena kepala daerah dipilih oleh rakyat melalui pemilu, maka salahkan rakyat yang memilih? Jawabannya ya. Di sini, saya teringat kata “dungu” dari Socrates.
Ia pernah bilang bahwa demokrasi akan menghasilkan pemimpin yang dungu. Ini penyataan terkesan kasar namun masuk akal. Bagaimana ini dipahami, mungkin butuh penjelasan sederhana berikut.
Dalam kontestasi pemilukada serentak, kepala daerah yang mendapatkan mayoritas suara adalah pemenang.
Persoalannya adalah siapa yang bisa memberi jaminan bahwa suara mayoritas itu adalah suara orang yang berakal sehat.
Nyatanya, tidak begitu. Banyak masyarakat memilih kepala daerah karena politik uang. Uang menjadi faktor dominan. Ini sudah menjadi persoalan klasik setiap musim pemilukada serentak.
Untuk konteks lokal Manggarai, apakah publik sudah mendapatkan pemimpin sesuai harapan? Rupanya, berapa tahun yang telah berlalu, begitu banyak narasi kegagalan muncul di ruang publik media massa dan media sosial.
Meski begitu, pemilukada sudah usai. Kepala daerah sudah terpilih. Narasi kegagalan itu adalah kisah masa lalu yang mesti dikenang saat ini.
Ke depannya, situasi Manggarai bisa berubah tapi dengan syarat “perbaiki mutu sumber daya manusia dan kurangi masalah kemiskinan”.
Mengapa? Tak ada demokrasi lokal yang terkonsolidasi dengan baik saat masyarakat lagi bodoh dan perutnya lapar.
Masyarakat yang cerdas dan sejahtera tidak bakal salah memilih pemimpinnya sekalipun ia ditawari dengan uang oleh para bos-bos lokal.
Karenanya, narasi buruk soal bosisme lokal, mungkin termasuk Manggarai, hanyalah dongeng seandainya masyarakat semakin terdidik dan tak lagi kelaparan meski kita menyadari bahwa ini penantian yang panjang dan melelahkan.