Ruteng, Vox NTT- Praktisi hukum Edi Hardum turut menyoroti kasus dugaan suap proyek APBD Manggarai yang menyeret nama istri Bupati Meldiyanti Hagur Marcelina Nabit.
Menurut Edi, istri Bupati Manggarai itu bisa dijerat dengan menggunakan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Ia menjelaskan, dalam Pasal (1) ayat (2) dalam UU Nomor 28 tahun 1999 menyebutkan, kolusi ada permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat atau negara.
“Pertama begini, saya minta Polres Manggarai jangan hanya mau cari popularitas saja untuk menyelidiki kasus ini. Tetapi harus benar-benar profesional bahwa dia serius bahwa kasus ini adalah kasus dugaan tindak pidana,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (20/09/2022).
Menurut Edi, untuk mengusut dugaan tindak pidana tersebut, bukti-bukti yang dipakai adalah asas pembuktian materil, bukan pembuktian formil.
Bila melakukan pembuktian formil artinya ada hitam di atas putih, ada bukti-bukti tertulis, seperti tanda tangan dan segala macam. Asas pembuktian materil itu, kata dia, berdasarkan pengakuan saksi-saksi.
“Siapa yang melihat dan siapa yang mendengar. Oleh karena itu, polisi harus menggali pembuktian materil. Siapa yang bisa ditemukan dalam pembuktian materil ini? Yang pertama adalah Rio Senta dan kontraktor Adrianus Fridus. Kontraktor itu kan sudah mengatakan bersedia akan menjadi whistleblower atau peniup peluit, begitu juga Rio. Gali ada nggak saksi-saksi selain mereka itu,” tegas dia.
Advokat Peradi itu menegaskan, ada dua tindak pidana dalam kasus ini. Bahkan dirinya tidak sepakat bila ada pihak yang menyebut kasus dugaan jual beli proyek APBD Manggarai ini tidak ada tindak pidananya.
Edi meyakini bahwa ada perbuatan tindak pidana dalam kasus yang menyeret istri orang nomor satu di Kabupaten Manggarai itu.
“Jadi di sini, penyelenggara negaranya siapa? Istri Bupati bisa. Kemudian yang dirugikan siapa di sini? Karena ada yang mengatakan tidak ada kerugian negaranya. Nah kerugian bagi orang lain, masyarakat? Ini yang harus didefinisikan, kerugiannya itu apa? Yaitu menipu masyarakat itu. Di sini ada unsur barang siapanya siapa,” pungkas Edi.
Edi mengungkapkan unsur barang siapanya adalah patut diduga Rio Senta, kontraktor Adrianus Fridus dan istri Bupati Manggarai Meldyanti Hagur.
“Patut diduga ya, itu untuk unsur barang siapa. Nah, terus unsur melakukan kolusi. Unsur melakukan kolusinya ialah mereka mengadakan pertemuan dan mengatakan janji-janji itu,” beber Edi lagi.
Jadi, dalam kasus ini, lanjut dia, unsur barang siapanya sudah terpenuhi dan unsur melakukan kolusinya juga sudah terpenuhi.
Untuk itu, pihaknya meminta polisi harus mengusut tuntas kasus dugaan jual beli proyek tersebut. Akan tetapi harus mencari asas dengan pembuktian materil.
“Nah, Pasal (1) ayat (5) UU tersebut yaitu nepotisme,” tegas dia.
Edi menerangkan nepotisme ialah perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Di sana, ada unsur nepotisme bila ditarik lebih jauh nanti.
“Nah, Pasal (5) ayat (4) setiap warga negara berkewajiban tidak melakukan perbuatan KKN. Hanya di sini, diperdebatkan bahwa mereka ini masuk dalam penyelenggara negara atau tidak. Itu si THL itu, THL itu bisa dipakai, karena dia bekerja di Kantor Bupati. Ini bisa ditarik dia,” kata dia.
Masih menurut Edi, adapun unsur pidana dalam dugaan kolusi ini adalah itu ada pada Pasal 21.
Pasal 21 itu hukumannya adalah 2 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta. Bila polisi tidak bisa menemukan pembuktian materil itu bahwa tidak ada unsur tindak kolusi di sini.
“Pengakuan berubah-ubah seperti itu, yang kedua adalah tindak pidana pencemaran nama baik. Di sini yang dirugikan adalah istri bupati sendiri. Itulah dari awal saya katakan kepada bupati, suruh istrinya itu, penjarakan si Rio itu yang menyebut-nyebut nama dia kalau dia memang merasa tidak ada dalam persekongkolan itu,” imbuhnya
Lebih lanjut Edi mengungkapkan ada dua tindak pidana dalam kasus ini. Pertama, kolusi bisa menyeret istri bupati Manggarai. Tetapi kalau ini tidak bisa ditemukan, yang paling telak itu adalah tindak pidana pencemaran nama baik. Bahkan istri bupati sudah dicemarkan namanya dengan diberi gelar ratu kemiri.
“Jadi sebenarnya istri bupati yang melapor di sini. Ini delik aduan sebenarnya. Istri bupati sebenarnya kalau dipanggil begini, dia segera lapor balik. Lapor si Rio sama kontraktor itu, si Anus. Ini delik aduan. Itu telak, pasalnya tidak bisa elak itu, pasal pencemaran nama baik, itu merugikan,” cetus Edi.
Di samping itu, kata dia, bisa juga mereka dirugikan dengan pasal 14 UU No.1 tahun 1946 tentang Aturan Tindak Pidana mencemarkan orang lewat media massa, bahkan sudah membuat provokasi. Akhirnya orang Manggarai membuat mosi tidak percaya, hilang kepercayaan terhadap Bupati Nabit, karena istrinya diduga kuat ikut terlibat.
“Orang akan menduga bahwa duit itu untuk menebus kerugian dia ketika sampai tiga kali maju bupati baru menang kan. Nah kalau itu tidak benar, istri bupati harus lapor dong. Saya tunggu-tunggu selama ini mana ini istri bupati lapor. Jangan-jangan beliau benar ini persekongkolan ini. Kalau ini benar ya dia harus dijerat dengan UU penyelenggaraan negara tadi,” tukas dia.
Ia mengaku tidak sepakat dengan komentar ahli hukum atau pengamat hukum yang lain yang mengatakan bahwa tidak ada unsur tindak pidana dalam kasus ini. Ia juga mengakui ada perbuatan tindak pidana dalam kasus jual beli proyek APBD Manggarai.
“Mungkin tindak pidana korupsinya masih samar-samar. Tetapi yang paling telak di sini adalah tindak pidana mencemarkan nama baik, mencemarkan istri bupati Manggarai. Itu yang paling telak. Yang kedua adalah dugaan tindak pidana kolusi itu,” tutup Edi. [VoN]