Oleh: S. Edi Hardum
Doktor dalam Ilmu Hukum, praktisi hukum di Jakarta, asal Manggarai, NTT
EMANUEL Son (50 tahun) harus mendekam di ruang tahanan Polsek Reok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) selama enam hari pada pertengahan Oktober 2021. Warga Desa Ruis, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT ini dilepas dari jeruji besi setelah korban penganiayaan yang dilakukannya yakni RR (35) dan RN (33) istri dari RR memaafkan Emanuel Son.
Dua korban memafaatkannya dengan syarat Emanuel Son menerima denda Ela Wase Lima (babi besar) dan uang sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Emanuel menganiayani suami dan istri itu dengan alasan keduanya menyantet anak gadisnya. Padahal anak gadisnya diduga stres karena ditinggal pergi pacarnya dalam keadaan berbadan dua (Topvoxpopuli.com 24 Oktober 2021).
Kasus serupa dialami satu keluarga di kampung Ngiring, Desa Nanga Kantor Timur, Kecamatan Macang Pacar, Manggarai Barat, NTT.
Stefanus Darlin (35) dan istrinya, Hendrika Hemi, dua anak mereka, serta Carolus Muju (orangtua Stefanus Darlin) diusir dari rumah mereka, Jumat (13/3/2015).
Mereka diusir oleh belasan orang yang diduga didalangi kepala desa setempat dan Tu’a Golo (Kepala Kampung) dengan tuduhan dukun santet atas kematian salah satu warga setempat.
Stefanus dan keluarganya kabur ke rumah saudaranya di Desa Rego, Manggarai Barat.
Ketika akan bergegas kabur ke Rego yang jaraknya kurang lebih 50 KM dari Ngiring, rumah serta kios dan gudang padi milik mereka juga dibakar warga.
Sesampai di Rego waktu itu, Stefanus melalui telepon mengatakan kepada penulis, mereka harus kabur dari kampung halaman karena akan dibunuh oleh sejumlah orang, dengan alasan telah menyantet sejumlah orang di kampung mereka hingga meninggal dunia.
Atas arahan penulis, Stefanus melaporkan kasus tersebut kepada Polres Manggarai Barat di Labuan Bajo.
Walaupun terkesan lamban penyelidikannya akhirnya Polres Manggarai Barat menangkap dan menahan tujuh orang pelaku lapangan yakni Kanis Ndehong, Yohanes Hasbin, Ardianus Karno, Bonefasius Haru, Hubertus Juko, Julianus Manus, Maksimus Aki.
Ketujuh pelaku ini sudah divonis bersalah majelis hakim dan perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.
Tindakan serupa juga terjadi terhadap Alo Bambang dan keluarganya di Golo Momang, Desa Sambi, Reok Barat, Manggarai, NTT, tahun 2003. Alo Bambang dan keluarga diusir dari kampung mereka serta rumah mereka dibakar massa.
Atas arahan penulis Alo Bambang dkk melaporkan kasus ini ke Polres Manggarai.
Atas laporan ini Polres Manggarai menangkap dan menahan 12 orang pelaku lapangan.
Tindakan penghakiman massa dan atau tindakan main sendiri di masyarakat dengan tuduhan dukun santet sudah terjadi sejak lama di Manggarai.
Dalam catatan penulis, sekitar tahun 1950-an di sebuah kampung di Kecamatan Kuwus, seorang bapak dan anaknya sudah dewasa dituduh sebagai dukun santet oleh warga kampung.
Oleh warga Kampung bapak dan anak ini dibunuh di Compang (Mesbah) yang berada di depan rumah adat (Lumpung).
Lebih sadisnya, sang bapak yang dituduh dukun santet dibunuh anaknya yang juga dituduh dukun santet. Setelah bapaknya tidak bernyawa lalu beberapa warga membunuh anaknya. Kejam!
Dalam catatan penulis bentuk hukuman lain dari massa terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet adalah adalah orang yang dituduh dukun santet itu disuruh pikul lesung (alat untuk menumbuk padi, jagung dan lain-lain) berjalan keliling kampung, disuruh makan kotoran hewan dan manusia serta meminum air kencing manusia.
Yang mengkoordinasi penghukuman kejam dan tidak manusiawi ini biasanya kepala kampung atau seorang dukun yang memastikan bahwa seseorang itu memang memiliki ilmu santet.
Hukum Kebiasaan (Hukum Adat) lain orang Manggarai (sekitar tahun 1950-an ke belakang) adalah menghukum orang yang melakukan perkawinan inses (jurak bahasa Manggarai) seperti ayah meniduri putri kandungnya, atau anak lelaki meniduri ibu kandungnya maka baik anak maupun ibu atau bapaknya dihukum dengan dibunuh di atas Compang (Mesbah) di Rumah Adat (Gendang atau Lumpung).
Setelah keduanya dibunuh selanjutnya diadakan acara adat dengan mengurbankan (sacrifice) anjing kecil yang masih belum bisa melihat (buta) dan setelah anjing itu dikurban (disembelih) dibuang ke jurang yang ada airnya (cunca).
Itu dilakukan sebagai simbol membuang sial besar atau aib besar sebuah keluarga dan kampung.
Hukuman yang kejam terhadap orang yang dituduh dukun santet seperti di juga terjadi di daerah lain di NTT bahkan sejumlah daerah di Indonesia, seperti Banyuwangi.
Pembunuhan dukun santet sebanyak 104 orang di Banyuwangi tahun 1998 sungguh menggemparkan dunia.
Hanya pembunuhan massal itu bukan dilakukan dengan atas nama adat tetapi didalangi kepentingan politik Soeharto waktu itu dengan cara mengadu-domba warga NU (BBC.Com, 23 Mei 2023).
Dalam catatan penulis, tuduhan dukun santet di Manggarai sampai tahun 1990-an umumnya dihembuskan orang berpengaruh di satu kampung atau desa terhadap seseorang yang mengkritisi sikap dan tindakan otoriter atau feodalnya.
Orang berpengaruh ini mengalang sejumlah orang untuk mengerahkan massa untuk melaksanakan hukuman kejam dan sadis kepada orang yang tidak disukainya dengan hukuman makan kutoran manusia serta meminum air kencing manusia, lari keliling kampung sambil pikul lesung.
Hukum Adat?
Di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi societas ibi ius). Manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon) dalam hidup bersama pasti terjadi bentrokan kepentingan (conflict of interest) di antara mereka.
Konflik yang terjadi antara manusia menimbulkan kerugian. Konflik seperti itu biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain.
Konflik-konflik seperti itu harus diselesaikan dan sarana hukumlah untuk menyelesaikannya.
Tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.
Ada dua jenis hukum, yakni hukum tertulis (Undang-undang) dan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan (Kansil, 2016:12).
Dari segi usia, hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaanlah lebih dulu lahir, kemudian baru hukum tertulis termasuk perundang-undangan.
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dan berulang. Sehingga merupakan pola tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim, dan normal/perilaku yang diulang yang mnimbulkan kesadaran bahwa perbuatan itu baik.
Kebiasaan yang tetap dan lazim inilah selanjutnya disebut sebagai hukum adat atau hukum kebiasaan, di mana aturan dibuat dari tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan berkembang sehingga menjadi sebuah hukum yang ditaati walaupun tidak tertulis.
Sebelum tahun 1800 SM, sebagian besar hukum yang digunakan pada saat itu adalah hukum kebiasaan (Kansil, 2016:14).
Hukum tertulis lahir ketika manusia atau masyarakat bisa membaca dan menulis. Sedangkan hukum berupa Undang-undang tatkala dalam masyarakat itu telah terbentuk negara dan disusun badan perundang-undangannya walaupun masih bersifat sederhana sekali.
Hukum tertulis untuk pertama kalinya yang dikenal dalam sejarah adalah Undang-undang Hamurabi, pada zaman Kerajaan Babilonia, sekitar tahun 1750 SM.
Namun, hukum tertulis dan undang-undang yang sempurna dan terkodifikasi serta hukum sebagai ilmu berawal dari Bangsa Romawi. Hukum Romawi-lah menjadi dasar perkembangan hukum di hampir semua negara di dunia.
Hukum tertulis di Indonesia menganut Sistem Eropa Kontinental atau Civil Law dari Belanda, Belanda dipengaruhi Perancis dan Perancis akarnya dari Romawi.
Tesis dasar dari Hukum Civil Law adalah kepastian hukum (kepatuhan kepada perundang-undangan). Selain sistem hukum Civil Law ada Sistem Hukum Common Law yang dipelopori Inggris dan diikuti AS serta negara-negara lainnya. Tesis dasar dari sistem hukum Common Law adalah keadilan.
Hukum Tertulis Indonesia
Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. Sehari setelah Indonesia merdeka maka disahkan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara yang merupakan sumber dasar hukum tertulis dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, dibuatlah beberapa aturan yang dimuat dalam UUD 1945, salah satunya mengenai hukum adat.
Hal ini diatur dalam pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”.
Undang-undang yang mengatur tindak pidana Indonesia secara materil adalah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Peraturan Perundang-undangan di Luar KUHP, seperti UU Lingkungan Hidup, dan sebagainya.
Namun, hukum acara atau hukum formil adalah UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP dan UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
KUHP merupakan Hukum Belanda yang dipakai Indonesia dengan Wetboek van Strafrecht. KUHP bernama asli Wetboek van Strafrecht for Nederlandsch-Indie (WVSNI). (bandingkan Elvi Danil dalam Hakristuti Hakrisnowo, 2020: 79).
KUHAP mengatur bahwa seseorang dihukum harus melalui proses peradilan. Peradilan adalah segala bentuk yang berkaitan dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum, in conreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum material dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal (Basan dalam Kadir, 2018:96).
Seseorang ditetapkan menjadi tersangka karena diduga melakukan tindak pidana minimal dua alat bukti.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan ada empat alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 menetapkan rekaman elektronik juga merupakan alat bukti.
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP inilah sejak lama “dugaan tindak pidana santet” tidak bisa diproses hukum.
Namun dari waktu ke waktu sebagian masyarakat bahkan pakar hukum meminta agar dugaan tindak pidana santet diatur dalam KUHP. Maka karena itulah Pasal 252 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP mengatur soal pidana santet yang berbungi,” (1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV atau sanksi 1,5 tahun penjara. (2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga)”.
Penjelasan Pasal 252 KUHP Baru tersebut yakni, ”Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga terhadap seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan mampu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain”.
Jadi dari penjelasan ini menegaskan bahwa kalau seseorang diduga mempunyai ilmu santet dan melaukan penyantetan terhadap orang lain kalau dia tidak mengaku bahwa tidak mempunyai ilmu santet maka tidak bisa dihukum atau tidak bisa diproses hukum.
Bukan Hukum Adat
Dari penjelasan di atas penulis berkesimpulan dan tegaskan bahwa penghukuman terhadap orang yang diduga dukun santet atau melakukan tindak pidana menyantet bukan merupakan hukum adat atau hukum kebiasaan yang harus ditiadakan atau tidak boleh diakui sebagai Hukum Adat.
Pasalnya, Pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa hukum adat diakui negara sepanjang sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tertera dalam Undang-undang (UU).
Berarti yang tidak sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tertera dalam UU tidak diakui atau dilarang.
Prinsip dalam penegakan hukum Indonesia sesuai dengan KUHAP, UU Kekuasaan Kehakim dan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah, pertama, seseorang yang diduga melakukan tindak pidana harus diproses melalui peradilan untuk menentukan bahwa orang bersangkutan benar-benar bersalah.
Kedua, seseorang ditetap menjadi tersangka dan/atau ditahan harus minimal dua alat bukti. Dalam hukum ada prinsip, ”Lebih baik lepas 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.
Ketiga, seseorang ditetapkan menjadi tersangka karena diduga melakukan tindak pidana bahkan sudah diputus bersalah oleh pengadilan tingkat pertama selama perkaranya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht) harus dianggap belum bersalah.
Di sinilah pentingnya asas hukum yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), yang diatur dalam KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman dan UU HAM.
Dalam KUHAP, asas praduga tidak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP yaitu “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Selanjutnya, pasal asas praduga tidak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi, ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Selain itu, Pasal 18 ayat (1) UU HAM, yang berbunyi,”Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Saran
Sampai saat ini di Manggarai Raya, di NTT umumnya dan tentu termasuk di banyak daerah di Indonesia masih begitu banyak masyarakat ketika mengalami sakit karena penyakit, stress bahkan kecelakaan menuduh ada orang yang menyantet.
Masih banyaknya masyarakat menuduh orang lain menyantet dan melakukan tindakan kejam di luar hukum karena negara tidak hadir.
Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 yang disyahkan sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan itu ditegaskan salah satu tujuannya adalah membentuk negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk melindungi dari tuduhan santet.
Kata-kata “melindungi segenap bangsa Indonesia” artinya Indonesia sebagai negara hukum maka hukum harus ditegakkan.
Semoga tidak ada lagi tuduhan dan penghukuman terhadap siapa pun di Bumi Indonesia dengan alasan dukun santet! Semoga!
[Tulisan ini dibuat juga dalam rangka menyambut terbitnya Eksiklopedia Manggarai 10 Jilid di bawah koordinasi Save Dagun, intelektual asal Manggarai].